Tradisi ngamplop ini merupakan salah satu bentuk gotong royong, saling membantu dalam suka cita.
Mubadalah.id – Setiap pagi, selepas Salat Shubuh, Pondok Pesantren Luhur Manhajiy Fahmina rutin menggelar diskusi yang diikuti oleh seluruh mahasantriwa, baik laki-laki maupun perempuan.
Kitab yang kami diskusikan kali ini adalah Matan Taqrib karya Imam Abu Syuja’ yang dipandu langsung oleh pengasuh pesantren, KH. Marzuki Wahid, atau yang akrab kami panggil Abi Marzuki. Beliau selalu memberi ruang bagi para santri untuk bertanya, berpendapat, bahkan berdebat secara sehat.
Adapun pembahasan pada kali ini adalah tentang bab walimah, yang dipresentasikan kelompok Sayyidah Khadijah, beranggotakan Sukma, Yazid, Rinrin, Bibah, Najlah, Dila, dan saya sendiri.
Diskusi ini ternyata membuka banyak pengalaman personal terkait tradisi yang sudah mengakar di masyarakat yaitu membawa amplop saat menghadiri pesta pernikahan.
Asal-usul Tradisi Ngamplop
Dalam catatan RRI (rri.co.id), tradisi “ngamplop” sejatinya berakar dari kebiasaan “nyumbang” atau memberi bantuan. Di mana tamu undangan membawa bahan makanan atau hasil bumi untuk membantu tuan rumah menggelar pesta.
Seiring berjalannya waktu, bentuk bantuan itu berubah menjadi uang tunai dalam amplop, namun maknanya tetap yaitu sebagai wujud dukungan dan doa restu bagi pasangan pengantin.
Sayangnya, dalam praktiknya hari ini, tradisi ini kerap bergeser menjadi semacam kewajiban, bahkan dianggap hutang yang harus dibayar. Hal inilah yang muncul dalam diskusi kami.
Salah seorang teman, Rukoya, menceritakan pengalamannya di kampung halaman. “Teman saya pernah tidak datang ke pernikahan karena tidak punya uang untuk mengamplop. Tapi beberapa waktu kemudian, si pengantin malah menagih amplopnya, menganggap itu hutang,” ujarnya.
Saya sendiri pun pernah merasakannya. Beberapa kali, saya menolak hadir ke undangan pernikahan teman hanya karena malu belum punya uang untuk amplop. Bahkan, salah satu teman akhirnya lost contact hingga sekarang.
Dengan begitu, perasaan bersalah selalu menghantui saya, seakan menghadiri walimah tanpa amplop adalah aib besar.
Padahal, usai diskusi ini, saya sadar bahwa esensi undangan walimah bukan pada amplop, melainkan kehadiran kita sebagai bentuk dukungan dan doa.
Penjelasan Soal Tradisi Ngamplop Menurut Taqrib
Dalam Matan Taqrib dijelaskan, walimah adalah jamuan makan yang diselenggarakan untuk merayakan pernikahan (walimatul ‘urs) sebagai wujud syukur sekaligus mengumumkan pernikahan kepada masyarakat.
Hukum mengadakan walimah adalah sunah muakkad (sangat dianjurkan), sedangkan menghadiri undangannya hukumnya wajib (fardhu ‘ain), kecuali jika ada udzur yang dibenarkan syariat.
Abi Marzuki pun menegaskan, “Kalau tidak punya uang dan tidak mampu hadir, tidak apa-apa. Tapi jika tidak punya uang namun bisa hadir, maka wajib datang. Karena menghadiri undangan walimah itu wajib, sedangkan memberi amplop hanyalah tradisi.”
Oleh karena itu, bagi saya tak sepantasnya tradisi ngamplop membuat seseorang terbebani. Apalagi sampai merasa berdosa atau diputus tali silaturahmi hanya karena tak mampu memberi amplop.
Karena sejatinya, tradisi ngamplop ini merupakan salah satu bentuk gotong royong, saling membantu dalam suka cita. Namun kita perlu menempatkannya secara proporsional. Jangan sampai budaya luhur ini berubah menjadi tekanan sosial yang memaksa, bahkan menjelma menjadi tagihan hutang yang justru merusak makna silaturahmi.
Kehadiran kita di walimah adalah yang utama, sedangkan amplop hanyalah pelengkap yang tidak wajib menurut syariat. Mari terus menjaga tradisi dengan bijak, tanpa melupakan ruh ajaran Islam yang menekankan kemudahan, keikhlasan, dan saling meringankan beban. []