Kisah ini bermula dari seorang perempuan dari Tanah Migani. Ia yang berani menentang cara berpikir masyarakat di sekitarnya yang tidak melihat keberadaan perempuan sebagai bagian dari penentu keputusan dan seorang guru. Di dunia aktivis perempuan, ia akrab disapa “Mama Yusan.”
Yusan Yeblo, sosok perempuan yang lahir di tengah-tengah suku Migani. Sebuah suku yang bermukim di Timur Papua yang berada di perbatasan antara Indonesia dan Papua Nugini. Menurut Kleopas Sondegau, dosen Universitas Parahyangan Bandung dalam Jurnal Studi dan Budaya Nusantara menyebutkan jika Suku Migani adalah sebutan bagi penduduk asli yang bertempat di Kabupaten Intan Jaya, Papua.
Menurut sejarah, orang ras Migani berasal dari Mbugubumbaba yang terletak di selatan Kabupatan Intan Jaya tepatnya di Tambangpura. Nenek moyang mereka datang ke Intan Jaya dan menetap di sana. Karena rasa persaudaraan yang tinggi, tiap keluarga yang datang dari Tambangpura ke Intan Jaya, mereka menggunakan nama klan sesuai dengan nama keluarga yang bersangkutan. Tiap klan-klan tersebut akhirnya menyatu dan terbentuklah sebuah suku yang dikenal dengan suku Migani.
Contoh adalah nama adat di Migani adalah Peaga Bega,dikenal sebagai nama adat yang mengandung makna mendalam sebagai sosok pribadi peramal ulung yang mengetahui segala kejadian. Selain itu juga, masih menurut Kleopas Kelly Sondegau, Peaga Bega secara harfiah mempunyai arti burung yang luput atau terhindar dari serangan musuh
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat suku Migani memandang tanah adalah “ibu” yang selalu menyediakan sumber kehidupan bagi mereka. Dengan menerima dan menikmati sumber yang disediakan oleh alam, suku Migani kemudian menyadari akan adanya zat yang menciptakan alam semesta. Pengalaman spiritual ini menghantar suku Migani pada sebuah refleksi kepercayaan terhadap sosok yang menciptakan alam dan seisinya. Mereka menyebutnya dengan istilah “Emo.”
Yusan kecil, menempuh jenjang sekolah menengah pertama (SMP) dengan melewati hutan belantara yang jauh. Maka alternatif yang diambil ketika siswa yang ingin menempuh jenjang SMP diharuskan untuk tinggal di sekitar lokasi sekolah. Entah bagaimana caranya. Hal ini juga disebabkan karena kontur tanah Kabupatan Intan Jaya adalah bukut-bukit batu yang diselingi gunung-gunung yang menjulang tinggi.
Sangat jarang kita menemukan dataran tanah yang luas. Selain itu juga, daerah Kabupaten Intan Jaya tidak mempunyai daerah pantai sebagaimana daerah lainnya yang berada di Provinsi Papua. Jadi tidak heran jika sebagian besar masyarakat Migani mendirikan rumah di lereng-lereng bukit yang curam. Apalagi akses untuk mencapai sekolah, tentu sangat sulit.
Kisah Yusan diperburuk dengan paksaan orangtuanya kepada Yusan untuk segera menikah saja. Untuk ukuran perempuan seperti Yusan, lulus SD adalah sesuatu yang sangat luar biasa. Ia sudah bisa dianggap orang yang sangat pintar dan mempunyai mental yang kuat.
Akan tetapi, karena ia sudah bertekad dalam hatinya untuk menyelesaikan sekolah ke jenjang yang lebih tinggi, lambat laun orang tuanya pun luluh. Lebih beruntungnya ia mempunyai guru yang juga berharap tinggi kepada Yusan kecil untuk menyelesaikan sekolahnya sampai ke perguruan tinggi.
Melewati hutan belantara yang masih gelap dan suram di ujung pemukiman, Yusan diantar oleh orang tua, guru serta teman-temannya. Kisah penuh haru Yusan dari tanah Migani. Dalam acara pelatihan dan sarasehan tersebut bahkan ia bercerita sembari menitikkan air mata. Ia masih lekat mengingat bagaimana perjuangannya menaklukkan pendidikan dan pandangan suku Migani dan Papua.
Yusan bercerita betapa susahnya ia memperjuangkan haknya sebagai perempuan untuk meraih pendidikan tinggi. Migani sangat bias dengan gerakan perempuan yang ingin meraih pendidikan tinggi. Karena masyarakat Migani pada saat itu hanya menempatkan posisi perempuan sebagai pengurus rumah tangga dan melahirkan. Anak perempuan yang sudah haid, walaupun masih menduduki usia 15 tahun ke bawah sudah bisa dikatakan wanita dewasa dan sangat siap untuk dinikahkan.
Perlahan stereootip itu mulai luntur dengan banyak munculnya aktivis perempuan di Papua. Termasuk Yusan Yeblo, perjuangannya dari tanah Migani yang kemudian merantau sampai ke Jakarta membuahkan hasil yang cukup baik untuk membuka pikiran Suku Migani. Dalam penyampaiannya bersama dengan Kelompok Kerja Wanita (KKW) Yusan Yeblo menyerukan meminta masalah mas kawin yang tinggi dan ada jangan sampai menghambat kemajuan wanita-wanita Papua.
Yusan Yeblo adalah salah satu perempuan dari Tanah Migani yang meraih penghargaan sebagai perempuan pegiat perdamaian pada tahun 2017. Penghargaan tersebut diberikan langsung oleh Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak di Jakarta.
Dalam pidato singkatnya, Yusan berpesan kepada seluruh perempuan pegiat perdamaian untuk kembali ke tanah kelahirannya masing-masing. Masih banyak PR yang harus diselesaikan di rumah kita masing-masing, dan kita akan bertemu dalam forum persatuan seperti ini. []