Mubadalah.id – Minggu lalu saya menuliskan tentang tantangan menjadi perempuan lajang. Ternyata cukup banyak perempuan yang merasa terwakilkan dengan tulisan saya tersebut. Mereka juga membagikan pengalamannya seputar mitos kesempurnaan perempuan yang selama ini membebani mereka.
Ada perempuan yang mengatakan bahwa dia pernah dibilang tidak sempurna karena belum menikah di usia 23 tahun. Orang yang mengatakan itu adalah gurunya sendiri. Mitos kesempurnaan seperti ini hanya akan menjadi beban bagi perempuan lajang, terutama sebagai murid. Tekanan sosial ini akan memengaruhi perempuan dalam memandang dirinya sendiri.
Saya mengingat kembali saat saya berusia 23 tahun. Saat itu saya masih sibuk kuliah, magang, menjalin berteman, mengenali diri sendiri, traveling, mencoba hal-hal baru, dst. Menikah bukanlah satu-satunya pilihan yang bisa dilakukan perempuan lajang dewasa awal. Lantas ketika perempuan ini menikah di usia 23 tahun, apakah dia otomatis sempurna?
Tentu tidak. Akan muncul mitos kesempurnaan perempuan yang lainnya. Saya pernah mendengar ada yang mengatakan bahwa perempuan itu akan sempurna jika sudah melahirkan anak. Namun setelah melahirkan anak, mereka akan dikomentari perutnya yang buncit dan tubuhnya yang gendut pasca melahirkan.
Ada seorang Ibu dalam cerita haloibu di Instargam yang mengalami hal itu. “Loh berangkat perut buncit pulang juga tetap buncit. Bayinya kemana? Habis lahiran apa habis pup?”, kata tetangganya. Padahal Ibu ini baru pulang isolasi di Rumah sakit, melahirkan, dan dirawat di rumah sakit selama 10 hari. Baru saja melahirkan dan pulang dari rumah sakit, tapi sudah diharapkan perutnya rata kembali.
Ester Lianawanti dalam buku Ada Serigala Betina Dalam Diri Setiap Perempuan, mengatakan bahwa masyarakat menetapkan definisi perempuan, standar ideal feminitas yang harus dipenuhi perempuan. Termasuk karakter-karakter fisik dan psikologis, yang di dalamnya adalah sikap dan perilaku yang harus dimiliki dan ditampilkan seorang perempuan.
Ester menambahkan, disadari atau tidak, perempuan berusaha mengikuti standar ini untuk menjadi perempuan “normal” sesuai dengan standar feminitas yang telah ditentukan. Standar feminitas ini menuntut kesempurnaan perempuan sesuai standar ideal masyarakat yang tidak realistis.
Penampilan fisik adalah standar feminitas yang paling menonjol. Untuk dianggap feminim, perempuan harus cantik, memiliki tubuh yang langsing, memakai pakaian yang feminism, hingga cara berbicara yang pelan dan lembut.
Dengan standar feminitas seperti itu, perempuan akan rela diet dan olahraga keras agar tubuhnya menjadi langsing. Agar bisa dibilang cantik, perempuan rela mengabiskan waktu dan biaya untuk membeli produk pemutih kulit. Atau rela tersiksa dengan alat dan operasi untuk mengubah bentuk tubuh mereka.
Selain itu, perempuan juga dituntut menjadi perempuan yang aktif, bukan hanya menjadi perempuan domestik. Peran ibu rumah tangga kadang menggali stigma. Menjadi Ibu rumah tangga dianggap “rendah” bagi sebagian orang, apalagi jika perempuan ini memiliki pendidikan yang tinggi.
Namun jika ada perempuan memilih bekerja dan menitipkan anaknya, dia akan dianggap menelantarkan anaknya. Dia dianggap tidak menjadi Ibu yang baik, atau juga mendapatkan label “half time mother”. Perempuan jadi serba salah menjalani multiperan.
Kemudian ada istilah super mom yang dijadikan standar feminitas dan kesempurnaan perempuan yang sudah menikah. Jika perempuan bekerja, maka dia sebaiknya juga melakukan tugas domestik. Menjadi perempuan serba bisa, namun tetap dapat merawat kecantikannya. Harus tetap langsing meski memiliki anak dan bekerja.
Lalu bagaimana dengan perempuan lajang yang tak kunjung menikah di usia 25 tahun? Bagaiamana dengan perempuan yang sudah menikah tapi tidak dapat memiliki anak kandung? Tentu saja mereka bukan wanita yang sempurna. Hidupnya dianggap tidak lengkap dan tidak bahagia.
Mitos kesempurnaan perempuan dan standar feminitas yang tidak masuk akal ini dapat menganggu kondisi psikologis sebagian perempuan. Kata Ester, pada umumnya mitos kesempurnaan perempuan dapat membawa perempuan dalam jebakan harga diri yang rendah.
Ketidakmampuan perempuan dalam memenuhi standar ideal feminitas yang ditetapkan masyarakat dapat berpotensi menurunkan harga diri perempuan. Selain itu juga dapat membuat perempuan memandang rendah dirinya sendiri dan orang lain.
Tidak sedikit perempuan lajang yang memutuskan menikah padahal belum siap dan tidak yakin dengan pria tersebut. Pertanyaan “Kapan nikah?” juga semakin mendorong keputusan tersebut untuk segera menikah, terutama bagi perempuan yang sudah memiliki calon. Hal ini dapat memungkinkan pernikahan yang dilakukan hanya karena tuntutan orangtua dan masyarakat.
Padahal setiap perempuan ingin bahagia. Tapi mitos kesempurnaan perempuan dan standar feminitas yang ada justru tidak membuat perempuan bahagia. Apakah jika perempuan telah memenuhi tuntutan masyarakat, lantas akan otomatis bahagia dan sejahtera?
Menurut konsep kesejahteraan psikologis Carol D. Ryff, manusia dapat dikatakan sejahtera jika dapat menerima diri, memiliki tujuan hidup, mengembangkan relasi yang positif dengan orang lain, menjadi pribadi yang mandiri, menguasai lingkungan dan terus bertumbuh secara personal.
Apakah perempuan yang sudah memenuhi standar feminitas dan dapat disebut sempurna, dapat melakukan keenam hal ini? []