Mubaadalah.id – Sudah seharusnya seorang penceramah atau pendakwah menyampaikan pesan yang santun, sejuk dan damai. Rasulullah sebagai teladan juga mengajarkan manusia untuk berbuat baik terhadap sesama.
Aktivis muda, Mohamad Guntur Romli menilai, ceramah Bahar Smith bisa dikatakans sebagai fenomena yang disebut ilmu tanpa akhlak dan nasab tanpa adab. Menurutnya, ilmu tanpa akhlak ibaratkan seorang pencuri.
“Siapa yang meragukan pencuri punya ilmu? Bahkan ahli. Tapi ilmu dan keahliannya dipergunakan untuk mencuri. Semakin tinggi ilmu dan keahlian pencuri itu, maka ia makin berbahaya,” kata Gus Romli, panggilan akrabnya melalui statusnya di facebook, kemarin.
Menurutnya, nasab tanpa adab ibarat makanan yang secara lahirnya indah tapi rasanya busuk dan rusak. Gus Romli pun tak meragukan Bahar berilmu, tetapi yang disayangkan minus akhlaknya.
Bahar Smith harus berurusan dengan polisi karena ceramahnya. Dia pun mempertanyakan layakkah ucapannya menjadi bahan ceramah di sebuah majelis maulid yang mulia. Bukankah maulid adalah peringatan kelahiran Nabi Muhammad Saw yang dikenal sebagai manusia mulia penuh welas asih.
“Bahkan Allah Swt tidak mengutus beliau (Nabi Muhammad) kecuali (tidak ada yang lain), menjadi rahmat, berkah, kasih sayang pada alam semesta,” tuturnya.
Pada satu hadits, Nabi Muhammad Saw pun menyatakan dirinya diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak. Innamaa bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.
Akhlak lebih utama
Begitu pentingnya akhlak, ulama terdahulu memprioritaskan belajar akhlak lebih dulu dibanding belajar ilmu. Bahkan waktu untuk mempelajari akhlak lebih banyak daripada mencari ilmu.
Gus Romli mengutip seorang ahli hadits Ibnu Al-Mubarak Ra pernah memberikan pengakuan tentang generasi ulama salaf:
تعلمنا الأدب ثلاثين عاماً، وتعلمنا العلم عشرين عاما.
“Kami mempelajari adab selama 30 tahun, dan kami mempelajari ilmu selama 20 tahun,” imbuhnya.
Lebih lanjut lagi, meskipun Imam Malik dan Ibnu Al-Mubarak ahli hadits yang artinya menguasai hadits-hadits Nabi namun menurut mereka akhlak paling utama yang dicari.
نحن إلى كثير من الأدب أحوج منا إلى كثير من الحديث”
“Kami lebih membutuhkan banyak adab daripada banyaknya hadis,” kutipnya.
Gus Romli mengakui tak diragukan pula Bahar Smith memiliki nasab yang mulia. Tapi apa arti nasab yang mulia tanpa adab. Gurunya pernah bilang, memiliki nasab yang mulia lebih dipahami sebagai tanggung jawab untuk menjaga kehormatan nasab daripada membanggakannya.
“Bukankah kemuliaan itu berdasarkan adab bukan karena nasab. Kemuliaan karena adab bukan karena nasab,” katanya.
Menurut dia, orang bisa dimuliakan karena adabnya, tapi orang yang hanya mengandalkan nasab tapi tidak punya adab tidak akan pernah dimuliakan. Ini pepatah yang sangat populer di kalangan bangsa Arab.
Merendahkan perempuan
Sementara itu, peneliti sekaligus penulis buku Ibuisme Negara: Konstruksi Sosial Keperempuanan Orde Baru (2011), Julia Suryakusuma mengatakan, ada unsur seksisme yang merendahkan perempuan, banci, dan waria dalam penggunaan kata “banci” sebagai makian di dunia politik Indonesia.
“Kata ‘banci’ bisa digunakan karena banci dinilai plin-plan. Tetapi, kenapa enggak pakai aja ‘plin-plan’? Kenapa harus pakai ‘banci’? Banci adalah seorang manusia yang punya hak hidup,” kata Julia mengutip tulisan Tirto.
Penggunaan kata “banci” oleh Habib Bahar, kata dia, hanya satu hal yang mencerminkan bahwa di era media sosial para tokoh publik berjibaku menggunakan kata-kata yang soundbite alias yang mudah menarik perhatian publik.
“Politik itu jadi asbun (asal bunyi) aja. Padahal, kalau ada orang pakai kata “banci”, berarti politikus kita krisis berpikir ini, ngga pakai otak,” tutup. (WIN)