Mubadalah.id – Saya punya saudara namanya mas AN. Dari sisi usia, sebenarnya dia jauh di bawah saya, tapi dari sisi kekerabatan, dia lebih tua maka saya panggil ‘mas’. Sejak kecil dia sangat sopan dengan orang yang lebih tua dan terbawa sampai sekarang. Mungkin karena merasa lebih muda, bicara dengan saya pun selalu menggunakan bahasa krama, dalam komunikasi langsung maupun melalui hp.
Ketika usianya menginjak sekitar 19 tahun, ketika sudah jadi mahasiswa dan ayahnya meninggal, sesuatu terjadi dalam dirinya. Dia mengalami insomnia akut dan kadang gagal mengontrol diri, terutama ketika dia merasa tertekan. Banyak tindakan yang dari sisi norma sosial membuat tidak sabar keluarga besar.
Singkat cerita berbagai pengobatan dari yang medis maupun alternatif sudah dilakukan, tapi lama sekali tidak berhasil. Dulu ada pengobatan medis yang menurut saya sungguh mengerikan, sesuatu yang di negara-negara maju sudah ditinggalkan, yaitu di setroom.
Dalam pelajaran biologi di MAN, ketika bahas tema genetika, saya teringat Bu Dalyantinah pernah mengatakan, 1/4 jumlah manusia sebenarnya memiliki potensi mengalami difabilitas mental, tergantung kondisi sekitar dan ada tidaknya pemicu. Tapi itu pelajaran genetika setingkat SMA tahun 1990, mungkin sekarang ini ada revisi atau sama saya tidak lagi mengikuti. Artinya kondisi semacam ini bisa jadi ‘anugerah’ dari alam, yang tidak.pernah diinginkan oleh siapa pun.
Tapi seringkali masyarakat terlalu mengambil jarak, mendiskreditkan bahkan menyingkirkan (mungkin kurang empati karena kurang teredukasi?, menyebut siapa pun yang berobat di RSJ dengan sebutan yang merendahkan, mengucilkan). Usulan saya agar orang-orang sekitar memberi dukungan, awalnya masih sulit diterima.
Setelah banyak tahun, dengan berbagai upaya tetap sering kambuh gagal kontrol diri. Pengobatan terakhir mas AN adalah ikut ngaji di pesantren di daerah Cangkringan Jogja. Tapi suatu hari dia pergi pulang tanpa pamit, karena keinginannya untuk menemani ibunya kami halangi. Mas AN pulang ke rumah. Itu adalah hari-hari terakhir ibunya, beberapa saat kemudian ibu mas AN meninggal.
Kami sering ngobrol ketika pulang kampung maupun via telpon. Mas AN ternyata sudah menyadari difabilitas mentalnya.
“Mbak, kula pun kesel kados niki terus, pedamelan napa sing cocok kangge tiang kados kula nggih? Mosok kula dados beban keluarga terus?” (Mbak saya sudah capek dengan kondisi begini. Pekerjaan apa yang paling cocok untuk orang seperti saya?). Saya gembira sekali mendengar ini karena bagi saya ini adalah titik kesadaran diri, penerimaan diri yang sangat penting. Sejak itu mas AN rutin tiap bulan berangkat kontrol sendiri ke RSJ.
Mas AN mencoba beternak lele dan ayam. Para sepupu menopang ekonominya. Usaha itu berjalan tanpa keuntungan pun keluarga besar sudah sangat bahagia karena dia sudah berusaha.
Suatu saat ada tetangga meninggal. Banyaknya kardus makanan dan botol air mineral mendorong dia pindah profesi jadi pemulung. Saya awalnya kaget tapi salut, karena mas AN menunjukkan keseriusan ingin mandiri, apa pun pekerjaannya.
“Mbak, kula pun bungah saged angsal yatra kangge biaya hidup. Tapi kenging napa nggih, nek kula pas ngangge baju dinas kathah kanca i dados boten purun kenal kula?, nek pun gantos nggih kenal malih “. (Mbak saya sudah bahagia bisa dapat uang untuk biaya hidup. Tapi mengapa ya, ketika saya pakai baju pemulung banyak kawan tidak mau kenal? Tapi kalau sudah ganti baju biasa mereka mau menyapa lagi?). Saya hanya bisa senyum-senyum menahan komentar tentang masyarakat. Saya terus berusaha mengapresiasi, dan memberinya semangat.
Usia mas AN sudah lewat 30 tahun. Dulu sering cerita ingin menikah. Tapi dia sadar siapa yang mau menikah dengan orang seperti dirinya. Mas AN ternyata sempat menjalin hubungan dengan teman jaman SMP. Karena seperti mendapat lampu kuning, mas AN mengajak perempuan itu ketemu ibu saya. Sayang tidak jadi. Ketika ditanya, mas AN bercerita kalau dia memberi tahu perempuan itu, tentang kondisinya yang tiap bulan harus kontrol ke RSJ.
“Ya Allah mas A, sampean itu orang yang sangat jujur dan bertanggung jawab”, saya tidak dapat menutupi rasa haru dan berdoa suatu saat bertemu jodoh yang menerima keadaan dia apa adanya.
Kemarin ketika pulang menengok orang tua, saya ketemu lagi dengan mas AN. Dia bercerita baru menyelesaikan beberapa dokumen administrasi kependudukan di kecamatan.
“Seniki teng KK kula dhewekan mbak” (sekarang yang terdaftar di kartu keluarga hanya saya sendirian mbak). Saya menimpali dengan doa semoga suatu saat isi kartu keluarganya tambah. Esoknya mas AN datang lagi bertemu bapak saya cerita habis beli sepeda dari uang tabungan untuk mendukung usahanya sebagai pemulung. Ikut bersyukur, karena bagi saya yang dilakukan mas AN adalah usaha rasional terencana, ini adalah prestasi besar bagi orang dengan keterbatasan seperti mas AN.
Ketika saudara-saudara sepupu membuat diskusi tentang kesuksesan dan kegagalan dalam hidup, pencapaian mas AN ini menginspirasi saya. “Kesuksesan hidup bukanlah pada banyaknya kepemilikan hak atas hal-hal instrumental. Melainkan pada kesanggupan untuk sadar diri, menerima diri, tahu tujuan hidup, bersikap tanggung jawab dan bermanfaat bagi sesama”. Maturnuwun Gusti. Rasa-rasanya quote ini pas untuk generasi Z, yang mungkin sudah jenuh dengan ukuran keberhasilan hidup ala Malin Kundang. []