Mubadalah.id – Kali ini saya tidak mengulas banyak sisi fiqhnya, karena sudah banyak yang mengulas bahkan MUI pun sudah meresponnya. Dalam kitab perbaNdingan mazhab uraiannya bahkan bertele-tele dalam
باب ما يحرم بالحيض والنفاس. Selain jelas dasarnya, juga sebenarnya ijma ulama tersebut sudah mempertimbangkan pengalaman perempuan dan medisnya. Bagaimana tidak jelas dengan redaksi hadist ini?
عن عائشة رضي الله عنها قالت: كنا نخيض عند رسول الله صلى الله عليه وسلم. ثم نطهرفنؤمر بقضاء الصوم ولانؤمر بفضاء الصلاة
Hadis di atas sungguh jelas, bahwa Sayyidah Aisyah mengatakan: kami sedang haid di masa Rasulullah saw, lalu ketika kami suci (dari haid) kami diperintahkan mengganti puasa dan tidak diperintahkan mengganti shalat.
Dalam redaksi hadis ini ada kata ‘ثم نطهر’ sehingga makna kata قضاء tidak dapat dimaknai lain, selain dimaknai mengganti puasa (di waktu sudah suci) atau menjalankan puasa (sebagai ganti) di waktu suci (di lain hari tentunya).
Saya tidak bermaksud mendebat siapa-siapa di sini. Saya hanya ingin cerita terkait pengalaman pribadi sebagai perempuan ketika haid. Dimana ada banyak masalah yang dialami perempuan ketika sedang menstruasi, dan pengalaman ini berbeda-beda di antara yang dialami perempuan.
Umumnya, pada saat menstruasi perempuan mengeluarkan banyak darah. Keadaan ini saya kira semua orang dewasa, laki-laki dan perempuan, sudah paham. Darah yang banyak keluar pada tubuh menyebabkan perempuan mengalami lemas dan lesu. Beberapa teman bahkan mengalami anemia dan tekanan darahnya turun. Konon, karena saya bukan ahli medis, perempuan saat haid juga rentan terinfeksi penyakit pada daerah tertentu.
Kalau pada kondisi ini perempuan diwajibkan untuk puasa, tentu menjadi tidak adil, karena kondisi fisik perempuan tidak akan mampu mengatasi.
Secara pribadi saya telah menyaksikan banyak perempuan ketika haid mengalami bukan hanya gangguan fisik tapi juga psikis. Hal ini karena diakibatkan oleh gangguan perubahan hormon pada perempuan tersebut. Perempuan mengalami penurunan hormon estrogen. Sehingga kadang diantara mereka saat haid ada yang lebih sensitif, ada yang badannya sakit-sakit, meskipun tidak semua mengalami demikian. Kadang perubahan hormon ini bisa menjadi tanda-tanda isyarat akan datang bulan dan sudah dimulai sejak sebelum darah haid keluar.
Saat sedang haid, lumrahnya perempuan mengeluarkan darah yang cukup banyak. Darah ini berasal dari peluruhan dinding rahim yang sebelumnya menebal. Perdarahan ini biasanya sangat deras di beberapa hari saja, bahkan ada yang disertai berupa gumpalan darah beku dan berangsur menurun pada hari berikutnya hingga selesai.
Dulu saat kuliah dan tinggal bersama dengan teman-teman, tidak perlu saya sebut di mana dan siapa mereka, ada teman yang pingsan di perjalanan saat haid, mungkin dehidrasi, ada yang selalu sakit kram di perutnya dan tidak bisa ditinggalkan sendirian. Karena ia betul-betul harus bed rest dan di perutnya harus selalu sedia botol air panas, mungkin utk meredakan rasa nyerinya. Ke kamar mandi saja harus dipapah. Intinya perlu ada yang memahami kondisinya. Ini tentu pengalaman yang tidak nyaman dan berbeda-beda di setiap perempuan.
Saya sendiri sejak gadis setiap datang bulan selalu sakit kepala, bukan migrain, kadang disertai perut mual karena saya mempunyai riwayat darah rendah. Bahkan dalam Ramadan kali ini ada pengalaman tambahan. Saya mendadak mengalami vertigo, saat sujud shalat asar tidak mampu langsung bangun di rekaat pertama, dan ini posisi masih puasa. Ini saya alami sehari sebelum datang bulan kemarin.
Rasanya memang tidak nyaman, karena selain perut mual-mual juga kepala pusing. Saya sungguh merasa tidak sehat dalam satu minggu ini. Keadaan begini kadang ada yang dialami perempuan merasa migrain sepanjang haid. Inilah yang dalam al-Qur’an dikatakan ‘ قل هو أذى’ (Haid itu adalah penyakit). Kata أذى ada yang memaknai tidak suci.
Bagaimana keadaan begini yang dialami perempuan dan diwajibkan puasa Ramadan? Memang ada pendapat jumhur yang mengatakan bahwa suci bukanlah syarat sah bagi orang junub (misalnya dalam kitab al-Futuhat al-Makiyyah Ibnu Arabi). Tetapi ini tidak bisa dijadikan dasar bahwa puasa itu tidak harus wajib suci (seperti orang menstruasi).
Saya meyakini bahwa ijma” fuqaha على تحرم الصوم bagi perempuan haid dengan mengqadla (ganti puasa di hari lain) ini merupakan konsensus yang sudah mempertimbangkan banyak hal, termasuk melibatkan pengalaman perempuan dan sisi medisnya. والله اعلم بالصواب []