• Login
  • Register
Selasa, 1 Juli 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Hukum Syariat

Wahai Perempuan, Cerai dari Poligami itu Ajaran Qur’an (Bagian III)

Inilah maksud dari tasrihun bi ihsan. Bercerai, agar masing-masing tidak lagi menjadi pelaku atau korban keburukan, kekerasan, kezaliman, dan ketidak-adilan. Agar ada kesempatan masing-masing menjadi pribadi yang baik, memberi ruang kepada pasangannya untuk hidup dengan orang lain yang lebih cocok dan sesuai.

Faqih Abdul Kodir Faqih Abdul Kodir
25/06/2021
in Hukum Syariat, Rekomendasi
0
Perempuan

Perempuan

479
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Mubadalah.id – Tulisan ini adalah bagian ketiga, lanjutan dari dua tulisan sebelumnya. Pertama, tafsir QS. An-Nisa (4: 128) tentang sepasang suami istri, dimana sang istri khawatir suaminya akan melanggar komitmen dan berpaling darinya kepada yang lain. Allah menganjurkan mereka berdua untuk berdamai (ash-shulh), masing-masing tidak egois (‘adam asy-syuhh), melainkan berkomitmen untuk berbuat baik (ihsan) pada pasangannya, dan menahan diri (taqwa) untuk tidak berbuat buruk kepadanya. Arah dari anjuran damai ini besar kemungkinan pada kondisi tanpa poligami, walau bisa juga kemungkinan yang lain.

Tulisan kedua adalah tafsir QS. An-Nisa (4: 129) tentang kondisi selanjutnya dari pasutri tersebut, yang suaminya berpaling kepada perempuan lain, yaitu ketika sang suami lebih memilih mempoligami istrinya. Allah Swt menyerukan kepada sang suami untuk sadar dan mawas diri, bahwa dia tidak akan bisa berbuat adil (wa lan tastathi’u an ta’dilu bayn an-nisa) kepada istrinya.

Karena itu, jangan menyalahkan sang istri, melainkan berkomitmen untuk memberi perhatin secara merata dan adil (fa la tamily kulla al-mayl), tidak menggantungnya tanpa perhatian dan cinta (fa tadzaruha ka al-mu’allaqh), selalu berelasi dengan baik dan berbuat hal-hal mulia (tushlihu), lalu, terakhir, bertaqwa dengan menahan diri dari segala perbuatan dosa, buruk, dan tidak lagi berpaling kepada perempuan lain (tattaqu).

Tulisan ini merupakan tasir ayat selanjutnya (QS. An-Nisa, 4: 130). Yaitu tentang opsi lain, ketika opsi kembali damai (shulh) pada ayat pertama (QS 4: 128) dan opsi poligami yang adil, perhatian merata, dan selalui baik (‘adl, ‘adam al-mayl, ishlah, taqwa) pada ayat kedua (QS. 4: 129) sulit terjadi, atau susah diterima dan dilakukan keduanya, atau salah satunya. Opsi lain, yang disebut ayat ini adalah berpisah atau bercerai. Bahkan, kata ayat ini, bisa jadi dengan bercerai justru masing-masing bisa mandiri, hidup bermartabat, cukup, dan kaya.

وَإِنْ يَتَفَرَّقَا يُغْنِ اللَّهُ كُلًّا مِنْ سَعَتِهِ وَكَانَ اللَّهُ وَاسِعًا حَكِيمًا (النساء، 130).

Baca Juga:

Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

Kekerasan dalam Pacaran Makin Marak: Sudah Saatnya Perempuan Selektif Memilih Pasangan!

Women as The Second Choice: Perempuan Sebagai Subyek Utuh, Mengapa Hanya Menjadi Opsi?

Fikih yang Berkeadilan: Mengafirmasi Seksualitas Perempuan

“Dan jika mereka berdua (pasutri itu memilih) bercerai, maka Allah akan membuat masing-masing akan (hidup) cukup (bermartabat dan kaya), dari keluasan (kekayaan)-Nya. Dan sesuangguhnya Allah itu Maha Luas (Kaya) dan Bijak”. (QS. An-Nisa, 4: 130).

Jika dibaca secara seksama pilihan-pilihan kata dalam ayat ini, nampak sekali ia ingin memberi motivasi bagi pihak yang merasa tergantung terhadap pernikahan, baik secara ekonomi maupun sosial. Yang merasa pernikahannya adalah modal hidupnya yang utama, sehingga ia begitu khawatir dan takut jika harus berpisah. Sekalipun ia tidak menemukan nilai-nilai Qura’ni dari pernikahnya, terutama saat harus berada dalam pernikahan poligami.

Nilai-nilai Qur’ani yang dimaksud seperti keadilan (‘adalah), berkomitmen pada relasi yang saling menguatkan (mitsaqan ghalizan), saling berbuat baik (mu’asyarah bi al-ma’ruf), dan saling menjaga diri dari perbuatan-perbuatan buruk (at-taqwa). Jika ditambah ayat-ayat lain, juga nilai untuk saling membahagiakan, mencintai, dan menyayangi (QS. Ar-Rum, 30: 21), saling menutupi dan menghangatkan satu sama lain (QS. Al-Baqarah, 2: 187), selalu bermusyawarah dan saling meridhai satu sama lain (QS. Al-Baqarah, 2: 233), serta berkomitmen untuk menjaga pernikahan sebagai ikatan bersama yang harus kokoh dan kuat (QS. An-Nisa, 4: 21).

Ayat yang kita bicarakan ini (QS. 4: 130) menyapa kedua belah pihak, suami maupun istri, yang merasa khawatir dampak buruk dari perpisahan, baik sosial maupun ekonomi. “Bahwa dengan bercerai justri bisa jadi, masing-masing akan mandiri, cukup, dan bisa mapan, dengan izin Allah Swt”, begitu pesan ayat ini secara tersurat.

Tetapi dalam konteks sosial, seperti di Indonesia, bisa jadi perempuanlah yang lebih tergantung pada pernikahan. Baik ketergantungan sosial, karena perempuan yang bercerai dan tanpa suami dipandang buruk oleh masyarakat. Atau, secara ekonomi, karena banyak perempuan yang menggantungkan ekonominya pada sang suami.

Belum lagi, ceramah-ceramah agama yang populer sering memojokkan perempuan yang bercerai, dianggap gagal dan buruk, dituduh menolak syari’at poligami, tidak pandai bersyukur, tidak pandai bersabar, terlalu emosional, dan berbagai tuduhan lain yang menyakitkan.

Kepada perempuan yang berada pada konteks inilah, ayat (QS. 4: 130) menjadi sangat relevan. Tanpa jeda sama sekali, setelah berbicara poligami yang harusnya adil dan tidak menyakiti, al-Qur’an langsung berbicara perceraian yang justru bisa membuat masing-masing mandiri, sehat, dan mapan.

Seakan-akan, ayat ini berbicara kepada para perempuan yang mengalami poligami, baik tanpa seizin atau dengan izin mereka, agar tidak perlu takut dengan perceraian, jika pernikahannya tidak membawanya pada nilai-nilai Qur’ani tersebut di atas. Jika ia tersakiti, terzalimi, dan tidak menemukan kebaikan-kebaikan yang diharapkan dari pernikahanya.

“Allah Swt itu Maha Kaya dan Bijaksana, masih banyak jalan untuk bisa hidup sesuai ajaran al-Qur’an, sekaligus bisa bahagia. Bisa jadi, perceraian justru menjadi jalan kemapanan, kemandirian, dan kekayaaan”, begitu pesan kuat ayat an-Nisa (QS. 4: 130) ini.

Motivasi dari ayat ini, di samping selaras dengan nilai-nilai Qur’ani yang disinggung di atas, juga sesuai prinsip yang ditegaskan ayat lain. Bahwa ikatan pernikahan itu harus menghadirkan kebaikan yang dirasakan kedua belah pihak, jika tidak, mereka bisa memilih perceraian dengan cara yang baik dan untuk kebaikan mereka berdua.

Prinsip itu tertuang dalam kalimat simpel dari ayat al-Qur’an, fa imsakun bi ma’rufin aw tasrihun bi ihsan (QS. Al-Baqarah, 2: 229). Kalimat selalu diucapkan oleh para naib KUA pada saat prosesi akad pernikahan. Tentu saja, kalimat ini tidak bermaksud meminta bercerai, begitu saja, langsung ketika tidak menemukan kebaikan dalam pernikahan.

Bukan begitu. Tetapi, masing-masing pihak harus berpikir, bertindak, dan berperilaku baik kepada pasangannya, dan menerima kebaikan dari pasangannya. Hal ini harus terus diproses bersama, secara mubadalah, kesalingan, dan kerjasama. Tidak egois. Tidak juga altruis. Melainkan, resiprokal, ber-kesalingan, dan mubadalah.

Jika proses itu ternyata mengalami kebuntuan, dimana keburukan sudah tidak bisa lagi dihindarkan, apalagi salah satu atau masing-masing egois, maka perceraian adalah jalan bagi keduanya untuk tetap menjadi pribadi yang baik. Minimal tidak melakukan keburukan kepada pasangannya.

Inilah maksud dari tasrihun bi ihsan. Bercerai, agar masing-masing tidak lagi menjadi pelaku atau korban keburukan, kekerasan, kezaliman, dan ketidak-adilan. Agar ada kesempatan masing-masing menjadi pribadi yang baik, memberi ruang kepada pasangannya untuk hidup dengan orang lain yang lebih cocok dan sesuai.

Jadi, tidak sebagaimana yang digembor-gemborkan berbagai pihak tertentu, dengan narasi agama, bahwa seorang perempuan harus bersabar dalam pernikahan poligami, apapun yang terjadi, demi kebahagiaan di surga, atau demi syari’ah. Ayat tentang hal ini justru tidak ada sama sekali. Tidak ada.

Sebaliknya, ayat al-Qur’an secara jelas dan tegas memberi kesempatan bercerai dari pernikahan poligami yang tidak diharapkan, sebagai jalan untuk kemapanan dan kemandirian. Dalam hal ini, dibanding anjuran bersabar dalam pernikahan poligami yang tidak ada ayatnya sama sekali, adalah lebih tepat dinyatakan: “Wahai perempuan, bercerai dari poligami adalah juga ajaran al-Qur’an”. Wallahu a’lam bish-shawab. []

*) Jika mau baca tulisan, silahkan klik yang pertama tentang tuntutan Qur’an agar tidak tersakiti poligam , dan yang kedua tentang tips ketika suami memaksa harus poligami.

Tags: hukum keluarga IslamislamistrikeluargaKesalinganperceraianperempuanperkawinanrumah tanggasuami
Faqih Abdul Kodir

Faqih Abdul Kodir

Founder Mubadalah.id dan Ketua LP2M UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon

Terkait Posts

Anak Difabel

Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

1 Juli 2025
Toxic Positivity

Melampaui Toxic Positivity, Merawat Diri dengan Realistis Ala Judith Herman

30 Juni 2025
Geng Motor

Begal dan Geng Motor yang Kian Meresahkan

29 Juni 2025
Fiqh Al-Usrah

Fiqh Al-Usrah Menjembatani Teks Keislaman Klasik dan Realitas Kehidupan

28 Juni 2025
Sejarah Indonesia

Dari Androsentris ke Bisentris Histori: Membicarakan Sejarah Perempuan dalam Penulisan Ulang Sejarah Indonesia

27 Juni 2025
Humor Seksis

Tawa yang Menyakiti; Diskriminasi Gender Di Balik Humor Seksis

26 Juni 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Anak Difabel

    Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Taman Eden yang Diciptakan Baik Adanya: Relasi Setara antara Manusia dan Alam dalam Kitab Kejadian

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Gaji Pejabat vs Kesejahteraan Kaum Alit, Mana yang Lebih Penting?
  • Di Balik Senyuman Orang Tua Anak Difabel: Melawan Stigma yang Tak Tampak
  • Meninjau Ulang Amar Ma’ruf, Nahi Munkar: Agar Tidak Jadi Alat Kekerasan
  • Pergeseran Narasi Pernikahan di Kalangan Perempuan
  • Mewujudkan Fikih yang Memanusiakan

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
redaksi@mubadalah.id

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID