Mubadalah.id – Kesembuhan, suatu kata yang kedengarannya sedikit sakral. Kata yang mengungkapkan harapan manusia untuk menjadi lebih baik dan terbebas dari segala macam penyakit. Tak hanya sekedar berorientasi pada kesehatan fisik melainkan juga kesehatan jiwa: pembersihan dosa-dosa dan pemurnian kembali hati manusia.
Syaikh ar-Rais Ibnu Sina menjadikan kata ini sebagai judul dari salah satu karya besarnya: As-syifa—sebuah kitab ensiklopedia saintifik dan falsafah berisi 10 jilid yang membahas tentang fisika (at-Thabi’iat), metafisika (Ilahiyyat), matematika (ar-Riyaadhiyat) dan logika (Mantiqa).
Bahkan kitab suci al-Qur’an juga karap kali disebut sebagai as-syifa oleh para ulama, sebagaimana yang Allah firmankan: “Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi syifa’ dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian” (QS. Al Isra’ 82).
Akhir-akhir ini, kita dikagetkan dengan kabar akan lonjakan jumlah orang yang teinfeksi virus covid-19. Banyak berita yang beredar bahwa sebagian besar orang yang meninggal dikarenakan terinfeksi virus corona. Kondisi seakan kembali mencekam seperti ketika pertama kali virus corona datang, beberapa daerah kembali menerapkan PPKM Darurat, banyak petugas keamanan yang berpatroli setiap malam untuk memantau aktivitas para pedagang kaki lima, cafe dan restoran serta tempat-tempat hiburan agar tidak membuat kerumunan dan buka melebihi dari jam 8 malam.
Beberapa orang taat dan patuh, beberapa lagi mengeluh karena pendapatan mereka berkurang dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan. Virus corona nampaknya tidak hanya sekedar menjadi masalah kesehatan namun juga masalah ekonomi dan sosial. Semua orang merindukan masa di mana mereka bisa bebas ke luar rumah tanpa takut akan bahaya virus corona. Mereka ingin kembali bekerja, belajar dan melakukan aktivitas lain seperti biasanya.
Virus corona dianggap sebagai rasa sakit yang harus dihindari, dimusnahkan, dibumihanguskan. Apapun caranya mereka ingin agar virus corona tiada dan kesembuhan bagi dunia dan seisinya bisa segera terlaksana. Kita ingin sembuh secara fisik, kita ingin sembuh secara ekonomi! Akan tetapi dua keinginan kita untuk sembuh seakan mustahil terjadi di tengah pandemi.
Andaikata yang dibicarakan legenda itu nyata, tentang philosopher’s stone—sebuah batu yang dipercaya bisa mengubah logam menjadi emas dan menyembuhkan segala macam penyakit, pastilah semua masalah yang kita hadapi hari ini akan mudah teratasi.
Akan tetapi legenda tetaplah legenda, sebuah dongeng dan khayalan manusia yang tak akan bisa kita temui di dunianya nyata. Namun, legenda mengenai philosopher’s stone sedikit berbeda karena ada banyak sekali orang yang mencoba membuktikan keberadaannya. Kita bisa menemui legenda batu ini di berbagai penjuru dunia dengan istilah yang berbeda-beda.
Orang-orang arab menyebut batu ini dengan hajar al-falāsifa, di India batu ini lebih dikenal dengan chintamani dan masih ada banyak istilah lainnya untuk menyebut batu ini. Karena banyaknya istilah tersebut, maka penulis akan memilih menggunakan istilah hajar al-falāsifa untuk menyebutkan batu ini.
Konon katanya banyak ilmuwan di penjuru dunia termasuk para cendekiawan muslim mencoba membuktikan keberadaannya. Namun, sampai sekarang ini belum ada satu pun bukti yang menyatakan bahwa batu tersebut benar-benar ada di kehidupan nyata. Agaknya batu tersebut hanyalah sebuah fiksi dari khayalan manusia.
Akan tetapi, Hujjat al-Islām Abū Ḥāmid Imam Al-Ghazali yang pemikirannya sangat akrab di kalangan para santri dan kitab-kitabnya sangat sering dikaji oleh banyak pesantren di Indonesia terutama kitab Ihya ‘Ulumuddin telah menuliskan sebuah risalah singkat yang membahas akan keberadaan hajar al-falāsifa dalam Kîmiya’us Sa’adah. Bagi Imam Al-Ghazali hajar al-falāsifa bukanlah batu yang berwujud secara fisik di dunia, melainkan batu tersebut berada dalam diri manusia. Ialah hati, batu pijar pembawa cahaya kesembuhan.
Dalam pandangan psikologi-sosial pertahanan hidup ras manusia secara fisik bergantung pada perubahan radikal hati manusia. Kita harus mulai menyadari bahwa awal kekacauan bersumber dari hati. Hati yang ragu, putus asa, dipenuhi kebencian dan kekhawatiran memberikan dampak buruk yang cukup besar untuk merusak kehidupan.
Viktor Frankl, seorang psikolog yang mengalami kamp konsentrasi telah membuktikan bahwa kekuatan hati manusia memberikannya energi yang besar untuk mempertahankan hidupnya meskipun sedang berada dalam kondisi yang sangat ekstrim sekali pun.
Frankl menuliskan semua pengalamannya di kamp konsentrasi dalam Man’s Search for Meaning, diceritakan semua tawanan dalam kamp konsentrasi selalu dibayang-bayangi akan kematian bahkan bunuh diri menjadi tidak lagi memiliki arti bagi mereka karena bayangan kematian berada sangat dekat di depan mata.
Setiap hari mereka yang ingin terus hidup harus berusaha meyakinkan para tentara bahwa mereka masih memiliki cukup banyak tenaga untuk melakukan kerja paksa. Orang-orang yang tidak lagi memiliki kekuatan untuk bekerja dan sakit-sakitan akan segera di eksekusi mati di sana.
Hidup para tawanan di kamp konsentrasi dipenuhi penderitaan, tubuh mereka penuh luka, mereka hanya mendapatkan jatah makanan sekali berupa sepotong roti dan sup panas yang sangat cair yang porsinya lebih sedikit dari sarapan pagi, mereka tidur berdesakan dengan delapan orang dalam satu kamar dan setiap hari mereka dipaksa untuk terus bekerja.
Suatu hari Frankl di kamp konsentrasi membayangkan istrinya dan ia merasakan bahwa bayangan istrinya tersebut terlihat lebih cerah daripada matahari yang bersinar di pagi hari. Hal tersebut memberikan Frankl alasan yang kuat untuk terus mempertahankan hidupnya dan Frankl merasakan makna dari kata-kata yang sering diucapkan oleh para pujangga bahwa manusia hanya akan diselamatkan oleh cinta dan di dalam cinta.
Frankl mengalaminya sendiri bahwa meskipun para tawanan berada dalam kondisi yang sangat buruk, namun kehidupan spiritualnya bisa saja mulai terbentuk. Ketahanan seseorang tawanan bisa saja bergantung pada kehidupan spiritualnya, hal tersebut adalah satu-satunya yang bisa menjelaskan kenapa tawanan yang memiliki tubuh lebih ringkih bisa bertahan hidup lebih lama daripada tawanan yang memiliki tubuh yang lebih kuat.
Hati manusia dapat memberikannya energi, menguatkan pikiran dan sel-sel yang ada dalam tubuhnya, meskipun fisik mereka terlihat lebih ringkih dan rentan terkena penyakit, namun kerusakan yang ada dalam batinnya sangat minim sehingga daya tahan tubuhnya menjadi lebih kuat dan stabil.
Pernyataan dari Al-Ghazali menjadi terbukti kebenarannya bahwa: Allah Yang Mahakuasa menciptakan hati manusia bagaikan sebuah batu api. Ia menyimpan api yang akan berpijar-pijar musik dan harmoni, yang mampu memberikan ketenteraman kepadanya dan orang lain. Harmoni yang dinikmati manusia merupakan gema dari keindahan dunia yang lebih tinggi, yang kita sebut dunia ruh.
Dari fakta ini, kita mendapati bahwa hati manusia adalah satu-satunya solusi yang bisa digunakan untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang dialami di masa pandemi. Hati manusia dapat memotivasi seseorang orang untuk bertindak menemukan jalan keluar dari berbagai persoalan. Dengan kesungguhan, perubahan hati yang radikal secara berkala dapat menyembuhkan kita semua, tak hanya dari serangan penyakit fisik namun juga penyelesaian atas masalah-masalah ekonomi yang kita hadapi saat ini. []