Mubadalah.id – Pernah tidak melihat perempuan sedang berbeda pendapat dengan laki-laki lalu teman yang lain bilang “Udahlah ngalah aja, perempuan itu selalu benar.”
Atau kadang laki-laki itu bilang “Ya sudah lah terserah kamu, aku ngalah aja. Perempuan kan selalu benar.”
Kata-kata ini bagai ajian pamungkas untuk menghentikan perbedaan pendapat. Setelah itu pun tak ada kesimpulan yang didapat. Yang jelas laki-laki mengiyakan saja apa kata perempuan, meski di belakang ia ngedumel.
Banggakah saya dengan kalimat itu? Sama sekali tidak. Ketika mendengar itu saya jadi merasa sebagai makhluk yang harus selalu dipahami, dimengerti, dan disetujui apa pun kehendaknya. Terlepas dari rasional atau tidaknya, benar atau tidaknya argumen saya.
Saya sendiri berusaha untuk memberikan pendapat yang rasional, dan saya bersedia untuk menerima pendapat orang lain selama pendapat itu rasional. Misalkan dengan suami saya, saya tak setuju ketika ia ingin membeli laptop yang cukup mahal bagi budget kami, sedang pemakaiannya hanya untuk keperluan kantor seperti ketik-mengetik.
Saya katakan pendapat saya bahwa lebih baik membeli laptop yang spesifikasinya biasa saja. Kecuali jika ingin dipakai untuk desain grafis atau video editting, ia boleh membeli laptop yang spesifikasinya sesuai dan harganya lebih mahal. Untuk hal yang menurut saya rasional, saya akan tetap pada pendapat saya. Dan jika memang ia memiliki alasan kuat dan rasional tentu saya akan mengalah.
Saya suka berdiskusi dan berdialog dua arah. Bukan mengatakan satu hal lalu diterima. Jika memang salah, tentu dengan senang hati saya akan belajar dari kesalahan itu. Jika argumen orang lain benar tentu saya bisa belajar lebih banyak tentang hal tersebut.
Saya tak merasa rugi jika harus menghabiskan waktu lama untuk berdiskusi dan pada akhirnya kita dapat kesimpulan yang baik bagi semua. Jika saya adu argumen, saya berharap orang lain juga memberikan argumennya yang rasional. Bukan malah mengiyakan saja.
Kata-kata perempuan selalu benar sebenarnya hanya alasan laki-laki yang tak bisa menyampaikan argumen yang rasional. Atau sebenarnya karena malas meladeni, padahal dengan berdiskusi akan ada banyak hal bisa kita pelajari.
Kata tersebut menunjukkan seolah perempuan ingin selalu menang dalam tiap argumen. Padahal jika seorang laki-laki menyampaikan argumennya yang rasional, perempuan pasti menerima. Dan saya yakin itu juga terjadi pada semua perempuan di dunia. Kami tak senaif itu.
******
Contoh lain tentang perempuan selalu benar adalah tentang penampilan.
Perempuan: “Aku gendutan ya?”
Laki-laki: “Engga.”
Perempuan: “Masa sih? Berat badanku tu udah naik loh.”
Laki-laki: “Oh berarti emang nambah gendut.”
Perempuan: “Apa kamu bilang? Aku gendut?”
Laki-laki: “Jadi kamu maunya aku ngomong apa? Apa pun yang aku katakan selalu salah. Ya udahlah terserah kamu aja. Kamu emang yang selalu benar.”
Saya heran dengan cerita fiksi tersebut. Saya rasa tak ada perempuan yang plin plan seperti itu. Yang tak tahu keinginannya apa, ingin diakui gendut tapi juga tak ingin. Dan kalau pun ada seharusnya laki-laki menjelaskan. Mereka bisa menjawab
“Meski berat badan nambah, tapi tak terlihat perubahannya. Faktanya seperti itu. Jika memang kamu terganggu dengan naiknya berat badan, kamu bisa atur pola makan dan olahraga rutin.”
******
Banyak pula nasehat tentang masalah rumah tangga. Jika istrimu marah, maka segeralah minta maaf. Mengalah saja untuk meminta maaf meski kau tak tau apa salahmu. Minta maaflah meski kau tak merasa melakukan kesalahan. Setelah itu belikan ia bakso, ia pasti akan kegirangan.
Jadi intinya istri itu selalu benar. Mau ia sebenarnya salah atau tidak, yang penting suami harus ngalah agar istri tidak marah. Bukankah seharusnya suami malah membimbing istri jika memang salah? Kenapa malah disuruh ngalah hanya karena agar tidak marah?
Bukankah seharusnya suami mengajak istri berdiskusi, menanyakan apa masalahnya, lalu dicari solusinya bersama? Kalau suami hanya minta maaf demi istri tidak marah, lantas apakah masalahnya selesai?
Perbedaan pendapat, diskusi, adu argumen itu kan sah-sah saja dilakukan. Bahkan jika sampai keduanya ngotot, yang terpenting ada hasil kesepakatan yang akan membuat semuanya nyaman. Yang tidak boleh adalah marah berkelanjutan lalu melakukan kekerasan fisik. Tapi sepanjang masih dalam batas-batas diskusi tentu baik untuk dilanjutkan.
Jadi, tak perlu takut mendebat perempuan. Dan jangan malas berdiskusi dengan perempuan, karena pertimbangan perempuan itu diambil dari berbagai sudut pandang. Karenanya kadang bagi laki-laki tak tepat, tapi cobalah dengarkan dulu pendapatnya, maka akan ditemukan pola yang cocok. []