• Login
  • Register
Jumat, 9 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Kolom Personal

Belajar dari Gus Dur : Kedamaian yang Berperikemanusiaan

Tia Isti'anah Tia Isti'anah
30/12/2019
in Personal
0
17
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Kemarin saya membaca buku “Bertahan dalam Ketidakpastian” karya Ibu Lies Marcoes yang merupakan memoar dari Bapak C.Sumarto dan Ibu Retnodjati. Buku itu menceritakan penderitaan Bapak Sumarto sebagai tahanan politik karena diduga ikut gerakan 30 September PKI (G30SPKI). Padahal itu adalah permainan politik yang sangat bejat. Disana lalu ada nama Gus Dur sebagai Presiden pertama yang berani menghapus tanda ET (Eks Tapol) pada mereka.

Lagi-lagi, dalam banyak kasus yang berbahaya, Gus Dur berani mempertaruhkan jiwanya. Ia bukan hanya berfikir terkait “national security” tapi juga “human security”.  Gus Dur bahkan sempat mengupayakan rekonsiliasi nasional untuk korban 1965 yang membuat geger banyak orang.

Hari ini, ketika saya membuka twitter saya juga menemukan tweet mba Kalis begini : jaman saya SD, tiap Imlek, Papa saya harus bikin surat ijin sakit ke kantor biar bisa berkunjung ke rumah saudara. Gus Dur tidak memberikan kata-kata tapi meninggalkan perasaan yang indah bagi kami – Ernest Prakasa

Membela etnis Cina saat itu sangat kontroversial karena di Orde baru segala atribut berbau Cina dilarang dengan instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967. Bahkan di tahun 1965 perempuan-perempuannya diperkosa berjamaah. Sungguh manusia yang sangat tidak berkemanusiaan. Gus Dur di tahun 2000 lalu mendobrak itu semua dengan mencabut Inpres Nomor 14/1967 disusul kemudian di tahun 2002 Imlek menjadi hari libur nasional.

Saya jadi berfikir kedamaian yang Gus Dur perjuangkan bukanlah kedamaian pemerintah kita saat ini yang mencari jalan aman. Gus Dur mendobrak garis aman itu, namanya bahkan dikenal sebagai orang yang “kontroversial” karena tidak selalu sesuai ekspektasi masyarakat. Bahkan karenanya banyak sekali orang yang memfitnah, saya secara pribadi bahkan pernah menamatkan sebuah buku yang begitu kontra terhadap Gus Dur. Jargon yang lebih penting dari Politik adalah kemanusiaan bukanlah hanya jargon apalagi hanya sebuah kata-kata untuk status whatsapp.

Baca Juga:

Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro

Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

Aurat dalam Islam

Masalah Papua dan Uyghur menurut saya mencerminkan bagaimana Pemerintah kita hanya mengambil jalan aman. Pemerintah kita saat ini dalam berbagai wawancara selalu menyatakan kalimat sakti Gus Dur “yang lebih penting dari Politik adalah kemanusiaan”, sayangnya itu hanya sekedar jargon. Kedamaian dilambangkan dengan “national security” atau “yang penting masyarakat tidak bergejolak” tetapi  mengecualikan minoritas masyarakat yang menjadi korban atas “national security” tersebut.

Saya jadi ingat ketika Mata Najwa menampilkan episode “Nyala Papua” yang tayang pada tanggal 21 Agustus 2019. Filep Karma ketika diberi pertanyaan oleh tim Mata Najwa terkait siapa presiden yang paling memahami rakyat Papua, dia menjawab dengan tegas “Gus Dur”.  

Ketika menghadiri sewindu haul Gus Dur di Fahmina Cirebon, Mba Alissa juga bercerita bahwa hampir seluruh sesepuh Papua pasti mengenal Gus Dur. Gus Durlah yang mengganti nama Irian Jaya dengan Papua. Gus Dur tidak menganggap bendera Papua sebagai simbol separatisme. Gus Dur datang kesana 2 bulan setelah menjabat sebagai Presiden, mendengar mereka, duduk sama tinggi.

Intoleransi dan separatisme kini menjadi proyek besar-besaran Pemerintah dan lembaga masyarakat. Namun ia masih sekedar bungkus, hanya diidentifikasi dengan kerangka yang membahayakan negara kesatuan bukan yang berani melawan para pemilik modal. Akhirnya, Papua menjadi korban. Padahal pluralisme harusnya mendatangkan kedamaian bagi semua orang bukan hanya yang berprivilese, bukankah itu juga yang diperjuangkan Gus Dur dengan kontroversialnya?

Saya juga masih sering ingin menangis ketika mengingat Mba Alissa bercerita bahwa 2 bulan sebelum Gus Dur wafat, ia sering bolak balik keluar negeri padahal sedang sakit. Tidak ada yang mengetahui ia kemana. Beberapa bulan setelah wafat barulah datang seseorang yang mengaku dibantu Gus Dur di 2 bulan sebelum ia wafat tersebut untuk keluar dari jeratan hukum di Timur Tengah. Benar kata Buya Husein, Gus Dur adalah Sang Zahid. Ia benar-benar mengajarkan kepada kita terkait kemanusiaan dan itu bukan hanya untuk pencitraan.

Gus, lagi-lagi tahun ini saya tidak bisa mendatangi Haulmu. Saya meyakini, orang yang sudah tiada tidak membutuhkan perayaan dan pernyataan bahwa ia adalah Pahlawan oleh penduduk muka bumi. Saya juga tidak yakin kau mengharap Surga, saya meyakini semua teladanmu bukan hanya sekedar agar kau masuk surga. Tapi semoga dengan tulisan ini menambah banyak orang paham nilai perjuanganmu dan terus melanjutkannya. Selamat Haul, Gus. Damai disana.

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah

Tia Isti'anah, kadang membaca, menulis dan meneliti.  Saat ini menjadi asisten peneliti di DASPR dan membuat konten di Mubadalah. Tia juga mendirikan @umah_ayu, sebuah akun yang fokus pada isu gender, keberagaman dan psikologi.

Terkait Posts

Kisah Luna Maya

Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai

9 Mei 2025
Waktu Berlalu Cepat

Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

9 Mei 2025
Memilih Pasangan

Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

8 Mei 2025
Keheningan

Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

8 Mei 2025
Separuh Mahar

Separuh Mahar untuk Istri? Ini Bukan Soal Diskon, Tapi Fikih

7 Mei 2025
Aktivitas Digital

Menelaah Konsep Makruf dalam Aktivitas Digital

7 Mei 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Kritik Kesaksian Perempuan

    Kritik Syaikh Al-Ghazali atas Diskriminasi Kesaksian Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tafsir Sosial Kemanusiaan: Vasektomi, Kemiskinan, dan Hak Tubuh

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Keheningan Melalui Noble Silence dan Khusyuk sebagai Jembatan Menuju Ketenangan Hati

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Saksi Perempuan Menurut Abu Hanifah

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Jangan Nekat! Pentingnya Memilih Pasangan Hidup yang Tepat bagi Perempuan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Ibu Nyai Hj. Djamilah Hamid Baidlowi: Singa Podium dari Bojonegoro
  • Mengapa PRT Identik dengan Perempuan?
  • Kisah Luna Maya, Merayakan Perempuan yang Dicintai dan Mencintai
  • Aurat dalam Islam
  • Mengapa Waktu Berlalu Cepat dan Bagaimana Mengendalikannya?

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version