Mubadalah.id – Salah satu dewan penasehat ulama perempuan (KUPI), KH. Husein Muhammad menjelaskan bahwa jilbab dan hijab, adalah dua kosakata klasik yang terus diperbincangkan dan diperdebatkan secara timbul tenggelam.
Isu jilbab dan hijab telah ditulis dalam beribu buku, kitab kuning dan berbagai jurnal ilmiah, selama berabad-abad.
Secara singkat, jilbab pada mulanya dipahami sebagai kain yang digunakan untuk menutupi kepala perempuan dan hijab bermakna sekat/pemisah antara dua ruang.
Dalam perjalanan sejarahnya terminologi tersebut mengalami proses perubahan pemaknaan dan persepsi. Dewasa ini keduanya dipersepsi sebagai sebuah pakaian seorang perempuan, bahkan lebih khas lagi ia adalah busana muslimah yang memberi kesan kesalehan dan ketaatan dalam beragama.
Persepsi ini secara sosial akan membawa dampak kebalikannya. Yakni bahwa perempuan yang tidak mengenakan jilbab/hijab cenderung dipandang bukan perempuan muslimah dan bukan perempuan yang taat.
Dalam bahasa yang lain dan mungkin emosional, ia adalah perempuan yang kurang/tidak berakhlak baik. Betapa tingkat kesalehan, kebaikan budi dan ketaatan beragama seseorang seakan-akan hanya dilihat dan diukur dari aspek busana yang dipakainya. Pandangan ini telah menyederhanakan persoalan.
Dalam beberapa tahun ini, di Indonesia, jilbab dan hijab sebagai busana muslimah menjadi isu politik paling hangat dan telah memasuki ruang kebijakan negara. Komnas Perempuan mencatat perkembangan ini dari tahun ke tahun, sejak 2008.
Dalam catatan tahunan pemantauannya atas kebijakan publik di daerah-daerah, Komnas Perempuan menemukan puluhan kebijakan yang mengatur busana masyarakat Indonesia, khususnya perempuan.
Dalam analisisnya, keberadaan aturan busana muslimah ini didorong oleh hasrat memenangkan pertarungan merebut kekuasaan politik. Jilbab/hijab ditangkap sebagai isu yang menarik para politisi dari semua partai politik. Mereka menggunakan indentitas busana muslimah di atas untuk politik pencitraan diri.
Mereka berargumen bahwa pengaturan pakaian tersebut merupakan tuntutan publik mayoritas. Masuknya isu ini ke dalam kebijakan publik/negara tentu menjadi problem sosial yang serius, karena mengandung unsur diskriminatif terhadap perempuan dan warga negara dan berpotensi terjadinya kriminalisasi terhadapnya. (Rul)