Mubadalah.id – Pada masa Qasim Amin, posisi kaum perempuan dalam keluarga dan masyarakat tidak lebih hanya sebagai konco wingking-nya laki-laki.
Artinya, tugas sosial perempuan hanyalah sekadar pelayan bagi seorang suami.
Seorang istri hanya bertugas menghidangkan makanan bagi sang suami, mengandung dan melahirkan anaknya. Bahkan tidak jarang istri tidak mengetahui banyak hal tentang suaminya.
Istri juga hanya ibu bagi anak-anaknya, yang tugasnya hanyalah melahirkan, menyusui, dan menyediakan kebutuhan-kebutuhan materi anak. Tanpa ada bekal pengetahuan sedikit pun tentang pengasuhan dan pendidikan anak.
Padahal, kualitas generasi umat sangat tergantung pada pendidikan anak, khususnya pendidikan yang ditanamkan ibu pada masa-masa perkembangan awal.
Sedangkan nasib perempuan pada saat itu dalam kondisi yang terpuruk dan mengenaskan.
Pendidikan sekolah hampir tidak pernah kaum perempuan rasakan. Pendidikan non-formal dari pihak keluarga dan lingkungan mereka hanya sekadar pembekalan untuk mengatur urusan dapur dan rumah tangga saja.
Interaksi sosial bagi kaum perempuan pada saat itu dengan masyarakat luas hampir menjadi suatu hal yang mustahil, karena ja terpenjara di antara dinding-dinding rumah mereka sendiri.
Keadaan yang ironis tersebut memasung kebebasan kaum perempuan, baik kebebasan berkehendak, berpikir, dan berbuat yang semestinya menjadi hak asasi setiap insan. Perempuan terkekang dan tunduk di bawah kekuasaan kaum lelaki.
Kondisi inilah yang menyentuh hati Qasim Amin dan mendorongnya untuk berjuang demi melakukan pembaruan sosial ke arah yang lebih memanusiakan manusia.
Qasim Amin sadar bahwa fenomena seperti ini merupakan salah satu sebab utama keterbelakangan dan kejumudan masyarakat Islam di Arab.*
*Sumber: tulisan karya M. Nuruzzaman dalam buku Kiai Husein Membela Perempuan.