Mubadalah.id – Bukan lagi gebrakan baru tentang mafhum mubadalah atau interpretasi resiprokal. Teori sekaligus perspektif yang ditawarkan oleh Pak Yai Faqihuddin Abdul Qodir. Kehadiran mafhum mubadalah tentu dibarengi dengan analisis dan kajian mendalam yang selaras dengan perkembangan zaman. Tidak hanya itu, mafhum mubadalah ini lahir berdasarkan pengalaman dan fenomenan tentang ketidakmerataan porsi keadilan bagi manusia wa bil khusus perempuan.
Mafhum mubadalah ini digaungkan oleh sosok kyai yang menurut saya pribadi sudah banyak melahirkan perubahan dari lapisan terkecil (diri sendiri) hingga ke lapisan paling besar yakni wilayah publik. Singkatnya, mafhum mubadalah ini adalah sebuah penawaran yang selayaknya dapat kita anut, kita implementasikan. Lalu kita edukasikan, dan duplikasi untuk semua masyarakat. Mengapa demikian?
Ya, karena jika kita merasa bahwa dunia dan kehidupannya sedang tidak baik-baik saja mafhum mubadalah menjadi formula sekaligus solusi agar dunia dan kehidupannya menjadi muaadalah, seimbang, setara dan tentunya makna kemanusiaan yang memanusiakan manusia itu nyata di bumi nusantara.
Testimoni Mengenal Konsep Mubadalah
Dalam tulisan ringan akan menyajikan beberapa testimoni sebelum dan setelah mengenal konsep mubadalah. Singkatnya sewaktu konsep mubadalah belum bahkan sama sekali tidak terdengar kehidupan saya seakan mengamini bahwa kehidupan dengan sistem patriarki adalah hal yang sah-sah saja dan menjadi suatu yang lazim.
Sederhana “wong wadon kui konco wingking ya wes panggone” atau perempuan itu teman belakang itu sudah porsi dan tempatnya. Perempuan berada di posisi paling belakang itu sudah biasa dan kenapa harus maju kedepan. Paham-paham seperti itulah yang dulu saya anggap wajar dan tidak perlu ada perubahan dari diri seorang perempuan.
Tapi, setelah mengenal istilah mubadalah yang awal mulanya dikenalkan oleh dosen idola, beliau tokoh KUPI Dr. Inayah Rahmaniyah mengenalkan tentang wajah keadilan dan ketidakadilan gender yang terjadi di lingkungan sekitar. Dari sanalah saya mulai mencari referensi yang berhubungan dengan konsep keadilan. Hingga akhirnya saya menemukan konsep mubadalah yang Kiai Faqih kenalkan sewaktu bedah buku Qiroah Mubadalah di Pondok Pesantren Al Munawir Krapyak Yogyakarta.
Semenjak kenal dan mulai tertarik dengan isu keadilan, perempuan, anak dan pesantren , ternyata kandungan dari pada buku Qiraah Mubadalah banyak menjadi bahan rujukan. Baik dari kalangan akademis hingga para aktivis. Konsep mubadalah menjadi landasan dalam memulai sebuah aksi karena tawarannya banyak bersumber dari pengalaman dan fenomena ketidakadilan yang terjadi di sekeliling kita. Sehingga langkah untuk menciptakan keadilan yang berkemanusiaan dapat kita tempuh dan kita capai dengan mudah.
Perubahan dan Praktik Baik
Contoh terkecil perubahan setelah mengenal konsep mubadalah ialah tergeraknya hati dan kemauan untuk menjadi insan yang adil dari sendiri, mulai mendengarkan ego dan keinginan diri sendiri, dan mulai merubah pemahaman yang timpang dengan data yang sah seperti memberikan penawaran yang ramah agar terciptanya kehidupan adil dan sejahtera.
Kembali pada pemahaman bahwa perempuan adalah konco wingking, ada hal menarik yang saya temukan dari kutipan Bunyai Sinta Nuriyah yang meluruskan bahwa perempuan atau partner (pasangan) itu bukan konco wingking. Tapi konco bersanding yang seharusnya dapat menjadi partner untuk terus bekerja sama.
Kalimat sederhana itu yang terus saya jadikan sebagai pedoman dan prinsip dalam berumah tangga. Pasangan itu ibarat sepasang sandal yang seharusnya selalu berdampingan dan saling mengisi ruang. Tidak heran jika akhirnya buku Qiraah Mubadalah saya jadikan sebagai bagian dari mahar pernikahan.
Alasannya karena semenjak kami (sepasang) saling kenal dan membangun komitmen untuk lebih serius, saya dengan tegas bahwa pernikahan itu bukan ajang untuk permainan relasi kuasa (siapa menguasai siapa). Tapi sebuah kehidupan baru untuk belajar saling mengisi kekosongan dengan tujuan yang sama sakinah mawadah wa rohmah wa mubadalah.
Membina Rumah Tangga dengan Prinsip Mubadalah
Untungnya, prinsip yang saya tawarkan kepada suami, ia terima dengan baik dan akan menjalankannya secara bersama. Menurut saya ini adalah sebuah rahmat dan anugrah, sebab belum pernah saya jumpai seorang laki-laki mau menerima keinginan dan kegigihan seorang perempuan yang bersikeras dengan prinsipnya hingga ia mau berjuang mensukseskan cita-cita bersama. Alhamdulillah
Kiranya sudah setahun kami lalui bahtera rumah tangga, lika-liku pahit manis kehidupan yang berlayar dengan kapal Mubadalah. Alhamdulillah banyak pelajaran yang diterima.
Mulai dari bagaimana memperlakukan suami istri dengan baik, konsep mengasuh dan memiliki anak, perekonomian dan banyak hal menarik lainnya. Dari skala paling dasar di mana seringnya kita mendengar istilah dapur, sumur, kasur itu lahan perempuan.
Ternyata dengan saling mengenal konsep mubadalah tiga hal tersebut dapat kita bagi dengan rata ketika semuanya bisa saling menghargai. Proyek dapur dan sumur menjadi kendali bersama dengan penuh perhatian dan kepekaan. Selanjutnya, ketika dihadapkan dengan pertanyaan kapan akan memiliki anak sementara saya masih harus menyelesaikan studi. Suami dengan legowo menjawab sesiapnya kita dan sesiapnya kamu.
Jawaban itu jelas membuat saya kagum dan bersemangat untuk segera menyelesaikan studi. Sebab kehidupan setelah itu akan lebih menarik dengan tantangan yang tentunya perlu kita siapkan dengan matang. Ternyata inilah wajah dan testimoni lain dari pentingnya membina rumah tangga yang baik dan saling menghargai. Kalau mau dihargai ya harus menghargai.
Saling Menghargai Pilihan Hidup Pasangan
Bahkan sesuatu yang di luar dugaan kami banyak orang-orang yang ternyata diam-diam menduplikasi gaya kehidupan kami. Mereka menyebutnya dengan pasangan serasi yang saling mengisi. Ini menjadi doa agar apa yang mereka doakan dapat kami praktikkan dengan baik dan menjadi jodoh hingga maut memisahkan.
Tentang pernyataan tersebut kita lihat dari bagaimana kami memberikan kebebasan untuk mengekspresikan diri, mencari ketenangan, kebahagiaan, kesibukan, berkarir dan lain sebagainya.
Prinsip kami jelas membebaskan pasangan untuk melakukan apa saja selama itu tidak merugikan diri sendiri, orang lain dan tidak bertentangan dengan syariat. Dan yang paling penting tidak menyakiti pasangan dengan hilangnya kesepakatan dan komunikasi. Sebab itu menjadi hal yang paling vital dalam membangun hubungan kerja sama.
Mungkin tulisan ini masih sangat muda untuk menjadi testimoni dari prinsip mubadalah bagi seorang pasutri baru. Tentunya belajar menjadi keharusan bagi siapapun dan kapanpun untuk memperbaiki hubungan berumah tangga. Dan bagi saya mengenal konsep mubadalah lewat gagasan Kiai Faqih adalah sebuah rezeki. Dengannya, rumah tangga kami menjadi lebih sakinah, mawaddah wa rahmah, wa mubadalah. Amiiin. Matursuwun. []