Mubadalah.id – Euphoria KUPI II (Kongres Ulama Perempuan Indonesia) belum selesai, masih banyak yang jejak cerita teman-teman peserta yang tesisa di banyak media, berupa foto, video, dan tulisan. Setiap orang yang hadir punya refleksi sendiri. Pun aku sendiri yang ikut serta hadir sejak di Semarang mengikuti Mubadalah Postgraduate Forum (MPF) dan temu penulis tema khusus Mubadalah.id.
Antara hadir dan tidak, usia kandungan saya yang masuk bulan ke Sembilan membuatku dilema minta persetujuan ibu dan suami. Tapi harus aku utarakan demi merealisasikan niat thalabul ilmi. Hingga akhirnya diizinkan dengan syarat, kalau saya merasa badan fit H-1 acara maka kita tancap gas. Dengan menjaga stamina tubuh dan bayi berminggu-minggu sebelumnya, singkat kata saya berangkat diantar suami. Kebetulan suami juga mendaftar di acara kongres di Jepara.
Banyak yang bilang ini adalah privilese, punya suami dan keluarga yang mendukung penuh kerja positif istri, bukan hanya mengijinkan pergi tapi menjaga selama 6 hari, padahal kecenderungan suami bukan di isu gender atau feminism.
Sebab tidak banyak teman lain yang justru dicegah untuk proaktif dalam kegiatan dan forum semacam ini. Mereka mengelu-elukan priviles saya. Tak sedikit yang mengecewakan takdir diri sendiri. Padahal –ini adalah bagian refleksi pribadi saya pasca KUPI II- previlese itu bisa kita usahakan, dengan membangun kesadaran pribadi lalu sedikit demi sedikit mengedukasikannya pada orang sekitar.
Refleksi “Membangun Peradaban Berkeadilan”
Banyak sekali orang sukses yang lahir dari keluarga tak berhasil, dalam tanda kutip, keluarga yang menghambat kerja positif anak, dalam ranah intelektual, spiritual dan sosial, dengan alasan ekonomi, latar belakang tidak berpendidikan, dan lain-lain. Tapi nyatanya anak itu mampu sukses, yang pada gilirannya anak keturunannya disebut-sebut “punya previlese”
Poin ini yang menjadi titik refleksi saya di KUPI II, sesuai dengan visinya, “Membangun Peradaban Berkeadilan”. Di mana ini bukan pekerjaan instan, harus kita usahakan dan step by step. Sama halnya dengan previlese, hak istimewa yang seseorang atau sekelompok orang miliki, dan tidak dimiliki oleh pihak lainnya.
Teman saya pernah berkata, “Mendapatkan suami kek bak Khola -yang mendukung penuh kerja istri- itu previlese banget” betul ini istimewa, tapi tidak untuk individu tertentu. Semua bisa membangunnya sendiri dalam kehidupan pribadinya. Dalam relasi suami istri, untuk mendapatkan “previlese” langkah pertama mulai dari diri kita sendiri, mengubah fixed mindset menjadi growth mindset.
Komunikasi adalah Kunci
Mengubah pola pikir yang mengerdilkan diri sendiri sebisa mungkin kita tepis. Setiap kali pikiran datang menghalangi gerak kita, sebanyak itu pula berusaha menepis. Termasuk memperoleh pasangan yang supportif dan resiprokal, bisa kita usahakan sejak pertama kali membangun komunikasi dengan calon pasangan.
Sekurang-kurangnya menyampaikan visi misi kita dalam membangun keluarga, bahwa keluarga punya tujuan utama yakni tenang, secara intelektual, spiritual dan sosial. Bahwa relasi yang hendak kita bangun adalah relasi kemitraan yang komunikatif dan supportif. Sesuai dengan pilar rumah tangga; zawāj dan musyawarah. Pilar yang lain akan lahir secara otomatis, saling rela (tarādin), komitmen yang kuat (mītsāqan ghalīdzan) dan saling berbuat baik (mu’āyarah bil ma’ruf).
Setiap muslim boleh menggunakan semua fitur (langkah-langkah yang syar’i) pernikahan, mulai dari ta’aruf (saling mengenal), di tahap ini boleh mengecek and and balance latar belakang dan karakter pasangan, jika cocok bisa beralih ke perjanjian pernikahan untuk selanjutnya khitbah (melamar) dan mengikat tali sakral pernikahan.
Membangun Kesepakatan bersama Pasangan
Sebelum menikah saya dan pasangan memiliki kesepakatan. Yakni bebas mencari ilmu, berkreasi, berkarir dan berjejaring dengan siapapun. Dengan syarat tidak meninggalkan kewajiban kami sebagai hamba Allah kaitannya dengan batas-batas pergaulan. Dan kewajiban kami sebagai guru di madrasah (kebetulan kami mengajar di suatu sekolah swasta) yang berkaitan erat dengan banyak orang. Kalau saya atau dia lalai akan ada banyak individu yang kami rugikan.
Tidak selalu berjalan mulus, selalu ada pertimbangan untuk menentukan prioritas. Dan perlu kita sadari bahwa kita dan pasangan adalah manusia yang tentu tidak sempurna. Maka sebaiknya tidak terlalu tinggi dalam berekspestasi. Jika terjadi perbedaan, di sinilah manajemen konflik kita pertanggungjawabkan. Selalu berbenah demi membangun peradaban berkeadilan.
Itulah yang terjadi sebelum saya memutuskan berangkat mengikuti rangkaian acara KUPI II. Ada pertimbangan kewajiban mengajar, materi, dan kesehatan. Akhir kata, previlese bisa kita usahakan, dengan kesadaran pribadi, menyadarkan orang lain dan kontinyu berbenah diri. []