Mubadalah.id – Dewasa ini, tantangan bangsa Indonesia dalam memperkuat keutuhan NKRI semakin besar. Sebaran narasi kebencian atau intoleran cukup masif di sosial media, di mana akan sangat berpengaruh pada pola pikir dan sikap masyarakat.
Lebih dari itu, bahkan bisa mengubah sistem dan budaya masyarakat yang menormalisasi kekerasan. Terlebih, di tahun 2024 Indonesia akan menghadapi tahun politik. Di mana kami prediksi berita hoax tidak akan terkendali, sehingga masyarakat akan mudah terpolarisasi. Lalu, bagaimana mengatasi dan mencegahnya?
Ada banyak cara mencegah terjadinya perpecahan, salah satunya dengan menanamkan nilai-nilai Pancasila. Kenapa Pancasila? Jangan salah, ideologi negara Indonesia tercinta ini sudah mencakup segala aspek kehidupan yang menjadi cita-cita sebuah bangsa.
Mulai dari nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kebijaksanaan, dan keadilan. Oleh karenanya, kelima butir Pancasila penting untuk kita jaga. Semua orang masing-masing memiliki peran penting dan bertanggung jawab bersama.
Praktik Berpancasila
Dari level keluarga, lembaga pendidikan, bahkan negara. Namun, seringkali dalam praktiknya, keluarga atau orang tua justru memasrahkan pihak sekolah untuk mengedukasi anak terkait nilai-nilai persatuan atau Pancasila. Begitupun peran negara selain membentuk kebijakan, juga diejawantahkan melalui program sekolah.
Upaya penguatan nilai-nilai Pancasila mulai masif mereka lakukan dalam berbagai kegiatan di sekolah. Misalnya, yang baru-baru ini program dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbud) ialah Kurikulum Merdeka berupa P5 (Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila).
Dalam mengimplementasikan program tersebut, pihak sekolah atau guru-guru mendapati berbagai tantangan tersendiri. Salah satunya ialah bagaimana metode atau pendekatan yang mereka terapkan agar siswa dapat mengikuti prosesnya dengan menyenangkan.
Peace Goes to School
Adalah Peace Goes to School, sebuah program unggulan yang Peace Leader Indonesia gagas. Program ini menghadirkan serangkaian kegiatan pembelajaran terkait kebhinekaan, pancasila dan toleransi untuk pelajar tingkat SMP-SMA.
Peace Goes to School (PGS) di SMP Widya Wiyata bertemakan Gelar Karya Anak Bangsa. Kegiatan PGS pertama terlaksana pada 29 September 2022 dengan mengembangkan wawasan siswa tentang Stop Bullying, Pencegahan Intoleransi, dan Peace Values.
Kegiatan kedua berlangsung pada 03 November 2022 dengan materi yang berbeda, yakni Literasi Digital dan Peta Konten Gelar Karya Anak Bangsa. Puncak kegiatan dilakukan pada 15 Desember 2022, di mana kelompok siswa mempresentasikan karyanya dan pemilihan Student Leader for Peace Ambassador.
Dihadiri oleh ketua Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS), Bapak H. Nuryadi, S.Pd., M.Pd., ia menilai bahwa Peace Goes to School cukup efektif sebagai sebuah metode atau pendekataan untuk menerapkan P5 di sekolah.
“Banyak guru yang masih perlu beradaptasi untuk menjalankan Kurikulum Merdeka yang saat ini sedang digaungkan pemerintah. Dengan keberhasilan SMP Widya Wiyata melalui Peace Goes to School ini, bisa menjadi role model untuk sekolah-sekolah lainnya, termasuk sekolah yang sekarang saya pimpin,” ujar Pak Nuryadi yang juga selaku kepala sekolah SMP Wahid Hasyim, Waru, Sidoarjo.
Kesamaan Prinsip
Keberhasilan Peace Goes to School juga datang dari kesamaan prinsip, serta visi dan misi sekolah maupun komunitas. Inayah Sri Wardhani, S.Psi, Kepala Sekolah SMP Widya Wiyata mengatakan bahwa, “Inklusivitas sudah lama menjadi fokus utama metode pembelajaran di SMP Widya Wiyata. Tidak hanya terkait sikap menerima orang dengan latar belakang yang berbeda, tetapi juga orang yang berkebutuhan khusus,” terangnya.
Tidak hanya prinsip, serta visi dan misi saja, tetapi juga metode pembelajaran yang selama ini berlaku di SMP Widya Wiyata juga sejalan dengan gambaran program yang dicanangkan Peace Leader Indonesia.
Kordinatoor Program Peace Leader Indonesia, Nur Kholifah memaparkan bahwa, “Peace Goes to School mendorong siswa untuk berinteraksi, mengasah critical thinking, dan mengeksplorasi wawasan siswa. Tidak merujuk hanya pada buku atau teori, melainkan hasil pengamatan, berpikir kritis, dan pengalaman siswa sendiri.”
Pendekatan yang fokus pada keaktifan siswa selama mengikuti proses pembelajaran, secara tidak langsung menciptakan ruang aman bagi siswa untuk berani berbicara dan berkarya.
Seluruh siswa kelas 7 dan 8 menuangkan suara dan buah pemikirannya terkait isu perdamaian, pentingnya nilai-nilai pancasila dalam menjaga persatuan, menerima keberagaman, dan upaya mencegah terjadinya kekerasan atau bullying dan berita hoaks lewat berbagai media, seperti komik, cerpen, poster, film pendek dan masih banyak lagi.
Di puncak kegiatan, 2 kelompok terbaik yang masing-masing beranggotakan 3 orang, mempresentasikan hasil karyanya di depan tamu undangan, orang tua siswa, guru, serta warga sekolah lainnya.
Presentasi Peserta
Kelompok pertama yang memaparkan hasil karyanya ialah kelompok 9, yakni Cahaya Nurani, Laurensia Reyna Widjaja, dan Elshaday Karisma Putri. Mereka menyampaikan dengan sangat baik tentang bahaya bullying, bentuk-bentuk kekerasan, dan pentingnya kesehatan mental, melalui poster, dan media lainnya.
Sedangkan kelompok selanjutnya, yakni kelompok 11 beranggotakan Sybilla Kiyara, Petra Charis Setiyawan, dan Cindy Fransisca. Mengusung tema Pelajar Pancasila Merdeka tanpa Hoax, mereka sangat terampil membuat sebuah video yang menjelaskan tentang pentingnya mencegah kabar hoax.
Selain 2 kelompok tersebut, 5 siswa lainnya terpilih sebagai Student Leader for Peace, Tolerance, Equality, and Inclusivity. Adalah Aisyah Septia Ramadhina, yang juga mengangkat tema tentang bahaya berita hoax melalui komik yang dibuatnya. Di akhir presentasinya, Aisyah menutup dengan sebuah quotes, “Mencari Kebenaran, Sebelum Menyebarkan”.
Siswa lainnya yakni Raihaan Naufal Arka Setiawan, dengan persiapan yang matang ia menjelaskan melalui poster yang ia buat tentang 2 jenis cyber bullying; Flaming (berkata kasar) dan Harassment (perang ujaran kebencian di sosial media).
Siswa ketiga, Thalita Glory Setiawan membuat cerita bergambar berjudul “Be A Good Friend”. Berangkat dari keresahannya ats fenomena senioritas di sekolah, ia berusaha menyampaikan pentingnya membangun perdamaian dari diri sendiri melalui hasil karyanya.
Sama halnya dengan siswa terpilih lainnya, Rangga Joshua Maindra. Melalui poster yang ia buat, ada pesan untuk tidak membeda-bedakan teman di sekolah. Terakhir, Alethea Chiara Makayla menambahkan bahwa dampak dari bullying dapat membuat korban membenci dirinya sendiri, sehingga tak segan melakukan self-harm, melukai dirinya sendiri.
Presentasi dari seluruh siswa terpilih sangat membuat kagum orang-orang yang hadir di Peace Goes to School SMP Widya Wiyata. Ke depan, mereka akan menjadi peering bagi teman-teman di sekolah terkait isu yang mereka kampanyekan. Yakni untuk menghapus 3 dosa besar pendidikan; perundungan, intoleransi, dan kekerasan seksual. []