Mubadalah.id – Masyarakat di seluruh dunia kembali menyambut International Women’s Day (IWD) 2023 atau Hari Perempuan Internasional, yang jatuh setiap 8 Maret. Tanggal ini menjadi momen penting sebagai perayaan sekaligus pengingat tentang perjuangan panjang perempuan dalam meraih kesetaraan gender.
Tahun 2023, perayaan Hari Perempuan International mengambil tema yang cukup unik, yaitu #EmbraceEquity atau #RangkulKesetaraan.
Tema ini disebut unik karena biasanya sejauh ini kita seringkali memakai istilah Equality dibandingkan dengan Equity. Sekilas dua istilah ini memiliki arti yang hampir sama, namun dalam website Internasional Women’s Day dijelaskan bahwa secara etimologi keduanya memiliki konsep berbeda, berikut penjelasannya:
Equality (ekuitas) adalah kondisi di mana masing-masing individu atau kelompok mendapat sumber daya atau kesempatan yang sama. Sedangkan Equity (ekuitas) adalah pemahaman bahwa masing-masing orang memiliki kondisi yang berbeda, sehingga harus mendapat sumber daya dan kesempatan yang sesuai demi mencapai hasil yang setara.
Berangkat dari penjelasan di atas, International Women’s Day kali ini ingin mengajak dunia untuk membuka mata bahwa bahwa memberikan kesempatan yang sama pada semua gender untuk saat ini sudah tidak lagi relevan. Perempuan dan laki-laki mempunyai pengalaman dan kondisi yang berbeda, sehingga tidak mungkin dilakukan pendekatan yang sama persis.
Konsep Keadilan Hakiki
Di sisi lain, penjelasan di atas juga sama dengan konsep keadilan hakiki yang Ibu Nyai Nur Rofi’ah gagaskan. Dalam keadilan hakiki, pengalaman biologis dan sosial yang perempuan alami harus menjadi dasar dalam mewujudkan kesetaraan. Sebab perempuan mempunyai pengalaman yang khas yang tidak laki-laki miliki.
Perempuan mengalami menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui dan nifas. Semua pengalaman ini menimbulkan rasa sakit dan hanya perempuan alami. Oleh sebab itu, pemberian perhatian sesuai dengan kebutuhan perempuan yang sedang mengalami pengalaman biologis tertentu menjadi hal yang penting untuk diperhatikan.
Sebagaimana Ibu Nyai Nur Rofiah sampaikan, keadilan hakiki hanya dapat terwujud ketika pengalaman biologis yang perempuan rasakan tidak semakin sakit dan dalam asumsi kebaikan atau ke maslahatan, perempuan tidak mengalami lima pengalaman sosial yaitu, stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, violence dan beban ganda.
Itu artinya dalam mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender, perempuan harus dipandang sebagai manusia utuh. Suara dan pengalamannya dapat menjadi sebagai sumber pengetahuan. Sehingga dalam segala hal perempuan mendapatkan keadilan serta kesetaraan sesuai dengan kondisi dan kebutuhannya.
Hal ini lah yang KUPI lakukan. Dalam proses merumuskan hukum melalui musyawarah keagamaan, KUPI menjadikan pengalaman dan suara perempuan sebagai sumber pengetahuan yang otoritatif. Sehingga produk hukum yang KUPI hasilkan adalah hukum yang ramah dan adil bagi perempuan, sebab berangkat dari harapan dan keinginan perempuan.
Strategi tersebut menurut saya sangat penting kita praktikan dalam berbagai hal, misalnya dalam merumuskan kebijakan negara, memutuskan sesuatu di ranah keluarga, komunitas atau yang lainnya, kehadiran perempuan bukan hanya sebagai pelengkap. Tetapi menjadi sebagai subjek utuh yang pengalaman dan pendapatnya kita dengar dan kita anggap penting.
Sehingga keputusan atau kebijakannya, tidak hanya adil bagi laki-laki tetapi juga bagi perempuan. Tentu saja dengan memberikan perhatian khusus pada kondisi khas perempuan secara biologis dan sosial.
Selamat Merayakan Hari Perempuan Internasional 2023. Perempuan berdaya, perempuan merangkul kesetaraan. []