Jiwa dan raganya dia abdikan hanya untuk menyembah-Nya. Baju keduniawian telah lama ditanggalkannya. Setiap jengkal nafasnya menghembus untain dzikir keagungan-Nya. Tangannya yang keriput terus menguntai butiran tasbih yang tak pernah lepas dari genggaman. Wajah penuh cahaya. Surga, pastilah menunggunya. Tinggal menunggu kapan dia akan bersinggah.
Begitulah kesan yang tercermin dari sosok Mbah Surip. Seorang tua yang hidup sebatang kara, yang mengabdikan diri di langgar (sebutan untuk musola) kecil kampung kami; sebuah kampung di lereng gunung Muria.
Tidak ada seorangpun yang tahu tentang asal-usul Mbah Surip. Yang jelas ia hidup dan menghabiskan waktunya untuk surau itu sejak dulu, zamannya mbah-mbah kami. Membersihkan surau, mengepel, melantunkan adzan setiap waktu shalat dan mengimaminya adalah rutinitas yang dilakoninya. Dan kala malam datang, sehabis isya’ ia dengun penuh kesabaran mengajari setiap orang yang ingin mengaji al-qur’an. Maklum, orang-orang di kampung ini minim tentang ilmu agama.
Jadi, Mbah Suriplah yang telah membuat kami melek agama dan menuntun orang-orang menyembah Allah. Semua dijalaninya dengan penuh tulus ikhlas. Satu hal lagi yang tak pernah alpa dari Mbah Surip; puasa tiap hari. Kecuali hari yang diharamkan untuk puasa maupun kala ia sakit.
“Segala nafsu dalam diri manusia bisa ditahan dengan puasa.” Begitu ucapnya suatu hari.”Dan satu hal lagi, jika kita rajin berpuasa, atas izin Allah penyakit tidak akan mampir di tubuh kita,” imbuhnya. Memang harus diakui, Mbah Surip nampak selalu segar dan sehat saban harinya. Kalaupun sakit, itu hanya batuk atau demam biasa.
Di kampung Suren ini, Mbah Surip layaknya obor yang memberi cercah cahaya di tengah gulitanya kehidupan beragama warga kampung. Sebelum datangnya Mbah Surip, warga di sini tak pernah melakukan shalat, meski terdapat langgar kecil di bantaran sungai. Mereka lebih memuja tempat-tempat wingit atau benda-benda yang diyakini membawa berkah.
Pohon di pojok kampung adalah saksi dimana warga sendiri atau beramai-ramai meminta keselamatan dan meminta sesuatu. Ada juga di antara mereka bersemedi. Tak lupa sesaji mereka bawa diperuntukkan bagi “Mbah” penunggu pohon. Tak sedikit juga para laki-laki di kampung ini yang menyimpan dan menyembah pusaka, seperti batu akik dan keris. Tiap malam Jumat tertentu mereka mengadakan ritual memandikan pusaka dengan air kembang yang sebelumnya dibacakan mantra.
Kehadiran Mbah Surip telah mengubah adat dan kepercayaan yang lebih menyekutukan Allah. Tapi semuanya tak semudah membalikkan telapak tangan. Butuh perjuangan yang kuat dan kesabaran. Konsekuensi dari perjuangannya itu, pernah suatu ketika Mbah Surip diusir dari kampung, namun dapat dicegah pak dukuh. Lebih gamblangnya ayah bercerita tentang persitiwa itu.
Malam baru saja bergulir, Mbah Surip muda melantunkan adzan Isya. Suaranya hanya terdengar beberapa rumah dari langgar, karena belum ada pengeras suara waktu itu. Tiba-tiba kang Parto masuk dan menyeretnya tanpa ba bi bu lagi. Mbah Surip muda hanya manut dengan raut ketakutan.
Di luar warga telah menunggu dengan wajah sinis. Dilemparkannya tubuh Mbah Surip Muda di tengah warga yang sejenak mengepungnya. Obor-obor yang mereka bawa cukup untuk melihat tubuh pasrah itu. Mbah Surip Muda tak habis mengerti dengan ini semuanya. Apa yang sekiranya salah dariku. Dosa apa yang telah kuperbuat hingga mereka memperlakukanku seperti seorang maling ayam di kampung.
Dalam keadaan tersungkur, ia meraba pikirannya sebelum gertakan keras mengiang di telinganya.
“Enyah kau bangsat!!!, setuju saudara-saudara.”
“Setuju……” serempak.
Tendangan dan pukulan mendarat di tubuhnya. Ia hanya bisa mengeluh, menjerit, meminta ampun, yang hampir tak terdengar di tengah sorai mereka yang menjadikannya bulan-bulanan. Perempuan pun tak mau ketinggalan; sambil mengumpat mereka ludahi tubuhnya yang melemas. Darah mengalir, anyir. Nyeri dan linu menjalar ke segala sendi tubuhnya. Perlahan ia bangkit, namun oleng dan tersungkur.
“Rasain.”
“Mampus.’
“Modar, koe.”
Mereka terus mengumpat dan menenteng-nenteng obor layaknya telah mendapat kemenangan dalam sebuah laga. Tentunya kemenangan: satu lawan sekampung. Padahal kemenangan bukanlah masalah menjatuhkan atau mematikan lawan, melainkan mengalahkan nafsu diri untuk menggapai sebuah kebenaran tanpa harus melukai orang atau pihak lain.
Kalau sudah emosi yang membelenggu, pikiran akan buntu. Otak tersumbat dan nalar melayang, maka kekerasan sepertinya menjadi satu-satuya pilihan.
“Tunggu! Tunggu!, berhenti…..!!!!”
Warga tersentak, menoleh asal suara. Dari balik remang nampak Pak dukuh Kardi sambil berlari. “Tunggu..”
Tak lama ia sudah menyibak kerumunan warga. Melihat siapa yang datang, mereka mereda, hanya berbisik. Sejenak suasana tenang. Hanya ringkih dan pekik pilu kesakitan Mbah Surip muda yang terdengar. Pak Dukuh menghampirinya. Mencoba meraih tubuhnya.
“Kau tidak apa-apa, Surip?, maafkan warga bapak ya.” Lalu Pak dukuh melihat memutar kearah warganya. Mereka menunduk, menghindari tatapan Pak Dukuhnya.
“ Kenapa sekarang kalian diam. Apa salah dia!!” bentak Pak Dukuh.
Mereka masih membisu. Saling lirik, lempar pandang sebelum kang Parto angkat bicara.
“Anu, pak,..” ucapnya berat.
“Anu anu apa!!!!sudah, kalian semua bubar. Bubar. Kecuali Parto dan Kosim. Bantu aku membawanya ke rumah.”
Suara ayah mulai terasa lirih di telingaku dan sebentar samar-samar sampai aku tak mendengar apa yang ia ceritakan padaku. Aku lelap membawa masa lalu Mbah Surip muda.
*****
Ramadan tiba tahun ini. Bulan suci bagi umat Islam seluruh jagad ini untuk menunaikan puasa sebulan penuh. Sebuah kewajiban ritual mensucikan diri dari kekangan nafsu, budak setan untuk menuju kemenangan; kembali ke fitri. Seperti biasa, Mbah surip akan sibuk dengan agenda tahunannya.
Melalui mikrofon, dengan suara yang khas; serak dan berat, panggilan bangun sahur darinya adalah lagu wajib yang didengar warga kampung Suren, mengiringi lantunan ayat suci yang telah diputar sebelumnya. Dengan sabar dan telatennya Mbah surip selalu menghitung secara mundur waktu menjelang imsak. Dimulai dari hitungan satu jam sampai lima menit. Tak pernah alpa. Apa jadinya kalau hal itu tak ada Mbah Surip.
Sehabis shalat shubuh ia akan senantiasa memberi siraman rohani pada kami dan setelahnya mengajari anak-anak baca Alquran, sebagai ganti waktu habis isya’ seperti biasanya. Sorenya, sembari menunggu azan magrib Mbah Surip memberikan pengajian keagamaan kepada warga kampung yang duduk melingkar memenuhi langgar. Biasanya sebagai referensi pengajian ia membuka kitab berbahasa arab itu sebaris penuh, lalu ia ulangi perkata sambil diartikan.
Setelah itu ia akan menjelaskan secara utuh terjemahan itu segamblang-gamblangnya agar mudah dicerna dan dipahami warga yang kebanyakan bapak-bapak dan simbah-simbah. Anak-anak seumuranku lebih asyik menghabiskan senja di jalan yang membelah bentangan sawah ujung desa.
Kala magrib tinggal hitungan menit, Mbah Surip mengakhiri pengajian kitabnya. Wallahu a’lam bisshawab. Sebagai ta’jil buka puasa, akan dihidangkan segelas kopi dan sedikit makanan kecil dari warga kampung secara bergilir. Itupun semuanya Mbah Surip yang mengatur.
Tak terasa hari ini hari terakhir puasa. Saat sahur terakhir dari langgar Mbah Surip selalu mengakhiri salam pisah dengan kata-kata ‘semoga amal ibadah puasa kita mendapat ridho-Nya, Amin. Tak lupa saya mohon maaf atas salah kata dalam penyampaian waktu imsak. Rupanya itu kata-kata terakhir yang kami dengar dari mulut Mbah Surip.
Habis ashar, warga kampung gempar dengan berita kematian Mbah Surip. Tubuhnya ditemukan seorang warga tergeletak di pojok langgar. Semula warga itu mengira Mbah Surip tertidur. Berhubung ada sesuatu yang hendak disampaikannya soal pelaksanaan takbir keliling dan sholat Id esok hari, maka dengan perlahan ia bangunkan Mbah Surip.
Namun rupanya Allah telah memanggilnya sebelum malam kemenangan itu. Tubuh tua itu tak berkutik dan tak ada hembusan nafas beratnya. Dengan wajah berseri dan raut senyum Mbah Surip meninggalkan kami semua. Demikian kesaksian warga itu. Tangis meledak dari warga kampung seolah masih tak percaya dengan kematiannya. Kami semua mengiringkan jenazahnya ke pemakaman diiringi takbir yang menggema pada malam kemenangan menyambut hari yang fitri. []
Yogyakarta, 2013