“Agustus, angin berhembus. Mengiringi kepergian sang pahlawan perempuan. Tak perlu ada duka, hanya janji setia. Tak berhenti pada mimpi-mimpi. Untuk melanjutkan perjuangan. Menyusuri jalan sunyi kesetaraan.”
Mubadalah.id – Kabut gelap menyelimuti. Duka cita mendalam atas kepergian Rasminah, pahlawan isu kawin anak, masih menyertai. Saya bersama kawan-kawan Koalisi Perempuan Indonesia Wilayah Jawa Barat, dan Cabang Kabupaten Indramayu berkesempatan untuk mengiringi jenazah Mbak Ras, begitu kami biasa memanggil, ke peristirahatan terakhirnya. Yakni di pemakaman umum Desa Krimun Kecamatan Losarang Kabupaten Indramayu, Sabtu 26 Agustus 2023.
Mbak Rasminah, sebagaimana yang kita kenal selama ini adalah salah satu dari tiga orang pemohon Judicial Review UU Perkawinan No. 1 tahun 1974. Selain Mbak Ras, ada Mbak Endang Wasrinah dari Indramayu, dan Kak Maryati dari Bengkulu. Upaya itu dilakukan untuk menaikkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan dari 16 menjadi 19 tahun. Kemudian setelah amandemen berganti nama menjadi UU Perkawinan No.16 tahun 2019.
Ya, Mbak Rasminah adalah penyintas perkawinan anak. Ia menikah di usia 13 tahun, karena terdesak ekonomi keluarga, dan belitan hutang orangtuanya. Berapa kali ia mengalami keguguran atau abortus spontan sebab di usianya yang masih belia, belum mampu menjalankan proses reproduksi secara sempurna. Lalu ia juga mengalami tiga kali kegagalan rumah tangga, cerai mati ataupun hidup. Suami yang sekarang, adalah pernikahannya yang keempat.
Bahkan ia pernah mendapat musibah terpatuk ular saat berada di areal persawahan ketika hendak mengantarkan ransum makan siang bagi para buruh tani yang mengolah lahan sawah milik suami keduanya.
Akibat terpatuk ular tersebut, ia mengalami disabilitas. Kakinya tak lagi berfungsi. Untuk beraktivitas, ia mengandalkan kruk ketiak. Kisah getir dan tragis yang Mbak Rasminah alami, adalah potret nyata korban perkawinan anak di Indonesia.
Mbak Rasminah dalam Kenangan
Pertama kali saya mengenal Mbak Ras, sang pahlawan isu kawin anak itu sekitar tahun 2017. Ketika Sekretaris Wilayah Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Wilayah Jawa Barat Darwinih, atau biasa disapa Winy meminta saya untuk mendampingi Mbak Rasminah ke Mahkamah Konstitusi Jakarta. Selama di Jakarta, kami juga ditemani oleh kawan-kawan staf dan pengurus Sekretariat Nasional Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) bersama Jaringan Koalisi 18+.
Satu hari sebelum proses pengajuan berkas Judicial Review ke MK itu, supir mengantarkan saya menjemput Mbak Rasminah di rumahnya. Pertama kali bertemu, saya merasa shock. Kondisi rumahnya yang berdinding separuh gribig (anyaman bambu), dan masih beralaskan tanah.
Sementara kondisi fisik Mbak Ras disabilitas, dengan anak-anak yang masih balita. Anak laki-laki usia 3 tahun, dan Perempuan 8 bulan saat itu. Bertambah lagi, ada kedua orangtuanya yang sudah renta, dan lumpuh karena stroke.
Entah kehidupan macam apa yang sudah Mbak Rasminah dan keluarganya lalui. Hingga Mbak Ras punya keberanian bersedia menjadi pemohon Judicial Review (JR) UU Perkawinan. “Saya tidak ingin ada anak-anak perempuan lainnya yang seperti saya Mbak, jangan sampai ada lagi perkawinan anak. Cukup saya saja yang menjadi korbannya.”
Begitu kalimat Mbak Ras berulang kali ia sampaikan setiap kali ada yang bertanya, apa yang membuatnya gigih berjuang menghentikan praktik perkawinan anak. Maka pantas rasanya jika kita sematkan ia sebagai pahlawan isu kawin anak, karena telah menyelamatkan anak-anak perempuan di Indonesia dari praktik berbahaya perkawinan anak.
Berjuang Melawan Rasa Sakit
Tiga tahun berlalu, sejak DPR RI mengesahkan amandemen UU Perkawinan No. 16 tahun 2019, Mbak Rasminah kembali pada kehidupannya semula. Tanpa sorak sorai dan gegap gempita penonton. Tiada tepuk tangan, dan sorotan dari kamera wartawan. Hidupnya kembali sunyi di sebuah kampung terpencil di sudut Kabupaten Indramayu.
Tak ada yang tahu, dalam sunyi hidupnya itu, Mbak Ras mengalami rasa sakit yang tak sanggup ia tahan. Bahkan berapa kali ia terjatuh di kamar mandi. Karena rasa sakit yang sudah tak tertahankan, ia menghubungi kami, terutama Winy yang begitu intens mendampingi dan berkomunikasi. Di September 2022, kondisi kaki yang pernah terpatuk ular itu, kian parah kondisinya. Hingga harus diambil tindakan medis amputasi.
Selepas diamputasi, kesehatan Mbak Rasminah tak kunjung membaik. Malah muncul benjolan di area selangkangannya. Setelah melalui proses observasi di laboratorium RSUD Indramayu, Mbak Ras divonis menderita tumor ganas. Karena fasilitas kesehatan di Indramayu yang belum memadai, kami berinsiatif memindahkan tempat perawatan Mbak Ras ke rumah sakit Ciremai Cirebon untuk menjalani kemoterapi.
Sejak vonis tumor ganas itu, (Informasi terakhir dari dokter, Mbak Ras mengidap sakit kanker tulang), kondisi Kesehatan Mbak Ras semakin turun drastis. Dua kali pernah masuk ruang ICU sebab kondisi kesehatannya yang terus menurun. Kabar Mbak Rasminah dalam kondisi kritis kami terima ketika sedang berada di Semarang, kebetulan sedang menghadiri Kongres Perempuan Nasional. Lalu kami mempercepat kepulangan, dan tidak mengikuti kegiatan sampai selesai.
Selamat Jalan Pejuang Kemanusiaan
Akhirnya pada Sabtu, pukul 02.15 wib, pahlawan isu anak, dan pejuang kemanusiaan itu telah pergi. Mbak Rasminah telah meninggalkan satu warisan berharga bagi negeri ini. Yaitu amandemen UU Perkawinan dari No. 1 tahun 1974 menjadi UU No. 16 tahun 2019. Yakni dengan menaikkan batas minimal usia perkawinan bagi perempuan, dari 16 tahun menjadi 19 tahun.
Warisan penting ini, telah menyelamatkan masa depan anak-anak perempuan di Indonesia dari bahaya praktik perkawinan anak. Di mana telah terbukti pendidikan anak akan terputus, masa depan suram, angka perceraian tinggi, dan resiko kematian ibu serta bayi yang tinggi. Selamat jalan Mbak Rasminah. Ragamu boleh mati, tapi mimpi-mimpimu untuk anak-anak perempuan negeri ini akan terus abadi. []