Mubadalah.id – Temanku pernah terkaget-kaget karena aku mengirimkan screenshot lokasi rumahnya. Padahal aku belum pernah ke sana. Ia hanya memberiku tanda dan alur menuju ke rumahnya, juga tidak membagikan pranala lokasi Google Mapsnya.
Tapi aku yang pernah dan cukup lama bersahabat dengan aplikasi Google Earth, bisa tahu jalan menuju rumahnya hanya melalui layar komputer.
Aku kerap mencoret-coret di kertas untuk sekedar mengingat tanggal tertentu atau peristiwa tertentu. Nyatanya Facebook yang saat ini ku gunakan jauh lebih rutin mengingatkanku tentang momen-momen tertentu yang kuposting. Demikian pula Google Foto yang kerap mengingatkanku beberapa hal yang pernah terjadi secara tematik.
Aku sering lupa ketika memasak sesuatu lalu kutinggalkan. Kadang aku juga lupa mematikan keran air. Beberapa kali aku meminta bantuan orang-orang terdekat untuk mengingatkanku, namun kadang mereka juga lupa. Untuk mengantisipasi hal itu, akhirnya aku memasang alarm di handphoneku dan itu cukup memudahkan dan membantu.
Demikianlah teknologi memudahkan kehidupan, dan bisa jadi akan jauh lebih canggih dan cepat daripada yang menciptakannya, yaitu manusia. Pertanyaannya, apakah teknologi mampu menggantikan manusia?
Tapi apakah teknologi sepenuhnya bisa menggantikan manusia?
Sampai saat ini aku percaya bahwa, secanggih dan sehebat apapun teknologi, pada kenyataannya kita tidak pernah bisa menggantikannya dengan keberadaan manusia asli.
Mari kuberikan beberapa contoh sederhananya.
Aku pernah menangis tersedu-sedu lalu mengunggah kesedihan itu di media sosial. Ada beberapa pesan masuk yang memperlihatkan kepedulian, tapi rasa-rasanya, ucapan yang menguatkanku sekalipun tidak pernah bisa menggantikan seseorang yang akan duduk di sampingku. Lalu bertanya ‘apakah kamu baik-baik saja?’ dan mendengarkan semua ceritaku.
Di lain waktu, aku kerap mengikuti pertemuan-pertemuan virtual. Aku senang mendengar pemaparan narasumber dan juga belajar pengetahuan baru darinya. Tapi jujur saja, kerap aku merasa bahwa akan sangat berbeda rasanya ketika aku mengikuti kelas secara langsung, dibandingkan mengikuti kelas secara virtual.
Oh ya, aku dan suami juga akhir-akhir ini kerap LDM (Long Distance Marriage) karena tuntutan pekerjaan. Setiap hari nyaris kami saling chat dan bertukar kabar. Bahkan setiap hari kami saling video call ketika berjauhan. Kami selalu menyempatkan waktu untuk mengobrol dan bercerita apa saja yang kami lewati hari ini.
Tapi rasanya akan sangat berbeda ketika dia pulang dan kami menghabiskan waktu bersama. Cukup sekadar menghabiskan jagung bakar, bercanda, meski duduk di pinggir jalan, rasa bahagia itu lebih penuh ketimbang ketika kami hanya saling menatap wajah di layar gawai.
Apakah aku bisa dikatakan terlalu tradisional untuk itu, aku tidak tahu.
Tapi aku percaya bahwa ada hal yang tidak dimiliki oleh teknologi, yaitu perasaan.
Mungkin teknologi akan melampaui kita pada banyak hal semacam pikiran yang lebih cepat, penyusunan laporan dan menemukan data, atau juga hal-hal sederhana seperti mengajari kita berbagai tutorial.
Tapi teknologi tak pernah memberikan kita kasih sayang. Ia tak memiliki itu semua. Ia hanya diciptakan untuk memudahkan, bukan untuk merasakan.
Inilah yang membuat manusia—sehebat apa pun ia mampu menggunakan berbagai macam aplikasi atau mesin-mesin yang akan membantunya dalam banyak hal—akan membutuhkan manusia lain.
Tepatlah ungkapan Aristoteles bahwasanya manusia adalah zoon politicon, ia tak kan mampu hidup tanpa selainnya.
Karenanya, sehebat apa pun kita, tak ada alasan untuk bersombong ria pada lainnya. Bukankah tanpa mereka—manusia-manusia lain itu—, kita pun tak bisa hidup? []