Mubadalah.id – Masyarakat Indonesia sedang gempar dengan kejadian foto prewedding yang akhirnya melibas area Savana Bromo karena penyalaan flare. Kejadian ini mengakibatkan kebakaran yang berlangsung hingga berhari-hari. Di mana peristiwa ini akhirnya berdampak pada kondisi ekonomi, dan lingkungan warga sekitar.
Dari sektor ekonomi, banyak pihak yang kemudian merasa terdampak karena adanya penutupan secara total kawasan Bromo. Baik itu wisata, penginapan, pedagang, dan lainnya. Melansir dari berita Kompas.com, pemilik sektor ekonomi tersebut merasa terkena dampak lantaran banyak pengunjung yang kemudian reschedule bahkan melakukan pembatalan kunjungan.
Sementara dampak pada iklim dan lingkungan jelas karena adanya kebakaran di Bukit Teletubies Savana Bromo. Hal ini menyebabkan beberapa flora dan fauna langka di sekitarnya terganggu bahkan terancam punah. Hal ini sangat disayangkan karena efek dari keteledoran satu pihak ini mengakibatkan banyak orang yang ikut dirugikan.
Prewedding dan Sejarahnya
Jika melihat makna dari Bahasa Inggris, maka prewedding berarti foto sebelum pernikahan. Dari beberapa penelitian menyebutkan bahwa sejarah prewedding berkaitan dengan industri fotografi yang berkembang pesat di wilayah Cina tahun 90-an.
Pada saat itu, wilayah Cina banyak mendapatkan produk elektronik dari Jepang, Korea, dan Taiwan. Pada saat yang sama, wilayah Asia sedang gencar-gencarnya menayangkan sinetron yang berbau percintaan. Adanya keterkaitan tersebut diduga menjadi awal mula sejarah prewedding.
Meskipun dari beberapa penelitian meyakini bahwa ide pemotretan prewedding pada mulanya hanya digunakan oleh kalangan atas sehingga nampak seperti acara royal wedding bangsa Eropa. Oleh masyarakat Indonesia, budaya ini bahkan menjadi hal penting dalam pernikahan tanpa melihat status sosial.
Budaya Prewedding bagi Generasi Milenial
Jika kita lihat dari arti prewedding sendiri maka pemaknaan foto sebelum pernikahan bisa saja meliputi foto-foto yang berkaitan dengan rangkaian acara sebelum pernikahan itu sendiri. Seperti tunangan, lamaran, midodaren, dan rangkaian adat lain yang tentunya berbeda-beda tiap daerah.
Sayangnya budaya yang berkembang di Indonesia adalah foto prewedding yang harus dilaksanakan di suatu tempat dengan konsep atau pakaian khusus. Tujuan prewedding biasanya sebagai cara calon pengantin untuk mengabadikan momen-momen mereka sebelum menyambut hari bahagia yaitu pernikahan.
Yang sering terjadi, foto prewedding biasanya berfungsi sebagai cover undangan fisik maupun digital, pajangan untuk menambah estetika sebuah resepsi, souvenir pernikahan, dan kebutuhan-kebutuhan lain dari calon pengantin.
Melihat merebaknya budaya ini, generasi milenial menjadikan foto prewedding sebagai sesi yang mereka nanti. Dengan tawaran konsep yang beraneka ragam seperti konsep indoor atau outdoor serta tema-tema seperti tradisionalis, klasik, bahkan modern bak artis-artis idola mereka.
Prewedding bukan Syarat dan Rukun Pernikahan
Sesuai Fatwa MUI No 03/KF/MUI-SU/2011, MUI mengeluarkan fatwa bahwa foto prewedding hukumnya haram. Sementara budaya ini telah menjadi budaya yang tidak hanya terpaku pada satu umat agama, melainkan sudah menjadi budaya beragam agama.
Terlepas dari hukum prewedding yang memang tidak bisa kita gunakan sebagai patokan hukum di Indonesia karena masyarakatnya yang kultural. Tulisan ini lebih ingin mengupas bagaimana tren ini kemudian menjadi sebuah budaya di masyarakat kita. Padahal sesi ini bukan sebagai syarat dan rukun sah pernikahan.
Jumhur Ulama’ sepakat bahwa rukun pernikahan meliputi adanya calon mempelai, wali nikah, dua orang saksi, dan sighat ijab qabul. Sementara syarat sahnya secara garis besar meliputi dua hal yakni calon mempelai perempuan bukan bagian mahram dari laki-laki dan akad nikahnya menghadirkan para saksi. Syarat ini tentu menjadi garis besar, terlepas dari syarat masing-masing rukun pernikahan.
Dari rukun dan syarat tersebut, foto prewedding bukanlah menjadi hal mendasar ataupun suatu kewajiban bagi calon pengantin. Sehingga foto prewedding ini bukanlah budaya yang menuntut kita untuk melestarikannya. Melakukannya ok, tidakpun tidak masalah.
Etika Prewedding bagi Generasi Milenial
Lalu bagaimana sih prewedding yang friendly untuk dilakukan?
Tentunya sisi estetika yang merupakan bagian yang penting dalam foto prewedding, tapi alangkah baiknya calon pengantin dan fotografer juga perlu memperhatikan etika foto prewedding.
Etika ini meliputi bagaimana syari’at Islam menuntun kita untuk tetap memperhatikan mengenai batasan-batasan dalam pengambilan sesi foto baik berupa gaya maupun busana. Selain itu, perlu mengindahkan prosedural dalam pengambilan foto jika memang ingin melakukannya di outdoor.
Karena yang sering terjadi konsep outdoor ini meliputi beberapa tempat yang meyuguhkan pemandangan indah seperti pantai, gunung, hutan, dan lain sebagainya. Etika yang perlu diperhatikan berkaitan dengan bagaimana orang yang terlibat seharusnya menimbang antara maslahat dan mafsadat dari konsep yang mereka inginkan.
Perlu pertimbangan seperti perizinan tempat, adat atau tradisi sebelum melakukan kegiatan di suatu tempat. Juga menimbang bagaimana lingkungan tempat foto sekiranya tidak mengambil konsep-konsep yang justru menciderai keasrian dan keindahahan tempat.
Kejadian di Bromo, barangkali menjadi satu contoh yang kemudian booming karena memang dampaknya yang besar. Tapi apakah sudah meyakinkan bahwa kegiatan foto prewedding di tempat lain yang tidak terekspos di media selalu ramah alam dan lingkungan? []