Mubadalah.id – Jika merujuk pendapat Ibn Hazm, seorang ulama Fikih tentang mahram bagi perempuan, maka ia menyebutkan bahwa kewajiban mahram bagi perempuan itu ada di pundak laki-laki, bukan perempuan.
Karena di dalam teks ini menurut Ibn Hazm ada pernyataan Nabi Saw. kepada laki-laki untuk menemani istrinya yang ingin melakukan perjalanan haji.
Nabi Saw. tidak melarang perempuan tersebut, tidak juga meminta suaminya melarangnya. Sekalipun suaminya juga memiliki kewajiban tersendiri. (Baca juga: Gus Dur dan Tonggak Kebijakan Kesetaraan Gender: Resensi Buku Gender Gus Dur)
Artinya, perempuan yang memerlukan perjalanan, untuk haji misalnya, tidak perlu menunggu ada mahram.
Dia bisa berangkat melakukan perjalanan haji tanpa mahram sekalipun, yang berdosa adalah kerabat laki-lakinya yang tidak menemani perjalanannya. Begitu pernyataan Imam Ibn Hazm.
Sementara Ibn Hajar al-Asqallani menjelaskan berbagai pandangan fikih. Ada yang berpendapat bahwa perjalanan perempuan adalah mutlak harus bersama mahram, seorang kerabat keluarga laki-laki.
Namun, ada juga yang berpendapat bahwa bisa diganti mahramnya menjadi sekelompok perempuan. Artinya, perempuan yang berkelompok bisa menjadi mahram satu sama lain. (Baca juga: Memaknai Hadis Larangan Perempuan Berpergian Tanpa Mahram)
Ada juga pendapat ulama fikih yang mengatakan bahwa perempuan tidak memerlukan mahram sama sekali ketika perjalanannya aman.
Pendapat ini diadopsi oleh ulama generasi awal, murid dari Imam Syafi’i, yaitu al-Karabisi (w. 859), al-Qaffal (w. 1026) dan Abu Mahasin al-Rayyani (w. 1107). []