Mubadalah.id – Baru-baru ini berita tentang kasus pembunuhan istri oleh suaminya sendiri viral di berbagai situs berita. Saya rasa kawan-kawan juga mengikuti berita yang dimaksud. Ternyata selama tiga tahun usia pernikahannya, alm. Mega sempat mengalami KDRT hingga berkali-kali.
KDRT terakhir yang menimpa Mega mendorongnya untuk melapor ke pihak berwajib dengan membawa bukti visum. Sayangnya, tak ada tindak lanjut dari APH sehingga pelaku dan korban masih tinggal serumah.
Mungkin banyak yang menyayangkan sikap alm. istri yang tidak punya cukup keberanian untuk mengakhiri pernikahan dan meninggalkan rumah. Namun, tahukah teman-teman beratnya hidup sebagai Perempuan korban kekerasan? Seringkali mereka meragukan pilihannya sendiri sebab telah kehilangan harga diri.
Belum lagi adanya tekanan dari lingkungan patriarki juga selalu mengajarkan perempuan untuk mengalah demi orang lain dan menomorduakan diri sendiri. Hal inilah yang menjadikan perempuan korban kekerasan selalu memilih kembali hidup bersama suaminya, yang mereka pikir dengan pilihan itu anaknya akan lebih bahagia dan pernikahannya selamat.
Munculnya kasus pembunuhan istri secara keji oleh suaminya sendiri ini berawal dari ideologi patriarki yang menganggap kejantanan adalah nilai ideal normatif (Ester Lianawati dalam buku Akhir Penjantanan Dunia). Menurut Ester, patriarki adalah sistem yang menempatkan maskulin dan feminin pada posisi yang berbeda.
Posisi maskulin kita anggap lebih unggul dan diberikan privilese. Sehingga laki-laki akan selalu tampak lebih superior dari semua perempuan. Bahkan di antara laki-laki sendiri mereka saling bersaing untuk menentukan siapa yang lebih unggul.
Dalam buku Akhir Penjatananan Dunia, Ester Lianawati menjabarkan bagaimana ideologi kejantanan ditanamkan oleh masyarakat patriarki ke dalam diri laki-laki sejak mereka kecil. Berikut penjabaran Ester:
Laki-laki distimulasi pada Kekerasan
Memang, tidak semua laki-laki kasar dan brutal. Tetapi, sejak kecil mereka dijauhkan dari perasaan dan empati. Laki-laki kita larang menangis, ia tidak kita ajarkan untuk memahami emosinya sendiri. Ia juga tak terbiasa peka dengan perasaan kawannya. Ia menerapkan hal serupa kepada kawan laki-lakinya.
Kita bisa melihatnya dari pola pertemanan antara laki-laki dan perempuan. Dalam pola pertemanan perempuan, jika salah satu bersedih, kawannya akan memahami perasaannya dan bersedia mendengar curhatannya. Kawan-kawannya menyediakan telinga dan memberi kesempatan untuk menangis.
Lain halnya dengan pola pertemanan antara laki-laki. Jika ada salah satu kawannya yang bersedih sebab bisnis gagal atau relasi yang berakhir, kawannya tak memberi kesempatan untuk bercerita. Tapi justru mengajaknya beraktifitas seperti touring, naik gunung, memancing, untuk melupakan kesedihan di hatinya. Padahal, emosi seperti rasa sedih dan kecewa harus kita rasakan, dan kita terima, bukan kita lupakan.
Kejantanan adalah Jebakan
Meskipun patriarki memberikan privilese kepada laki-laki dibanding perempuan, namun ternyata hal ini memunculkan superioritas pada sebagian laki-laki dibandingkan sebagian laki-laki yang lain. Laki-laki yang lebih tinggi dan kekar kita anggap lebih superior daripada mereka yang bertubuh kecil. Laki-laki yang punya pekerjaan berkelas akan kita anggap lebih superiror dibandingkan laki-laki dengan pekerjaan rendah.
Pada satu sisi seorang laki-laki merasa lebih jantan, dan di sisi yang lain ia meragukan kejantanannya sendiri. Tuntutan kejantanan menimbulkan ketegangan dalam diri laki-laki, sebab itu adalah hal yang harus ia capai tapi tak akan pernah tergapai.
Laki-laki selalu merasa tertuntut untuk mencapai titik maksimum untuk mendapatkan konfirmasi: “Ini baru laki-laki”. Ideologi kejantanan adalah jebakan berupa tuntutan kewajiban yang sangat menekan laki-laki.
Sebagian besar laki-laki mengupayakan pencapaian nilai kejantanan ini dengan cara yang berlebihan. Mereka melakukan olahraga ekstrem, penggunaan alkohol dan obat terlarang, atau berkendara dengan kecepatan tinggi. Mereka ingin menunjukkan bahwa mereka kuat, tidak takut, dan berkuasa.
Nilai Kejantanan Laki-laki Diukur dari Kepemilikannya
Salah satu ukuran masyarakat patriarki terhadap laki-laki yang jantan adalah apa yang ia miliki. Tak heran seringkali laki-laki kita tanya tentang kepemilikannya dengan kalimat, ‘Sudah punya pacar atau belum?’ ‘Apa pekerjaannya?’ ‘Apakah sudah punya rumah/kendaraan pribadi?’
Maka laki-laki dengan nilai kejantanan yang rapuh ,selalu lekat dengan usaha memamerkan apa yang mereka miliki. Bahkan terkadang istri atau kekasihnya ia anggap sebagai properti miliknya. Alih-alih menganggapnya sebagai pasangan yang setara, mereka justru merasa berhak mengatur dan berkuasa atas pilihan hidup istri atau kekasihnya itu.
Kejantanan Membentuk Hubungan Dominasi
Laki-laki yang telah menginternalisasi nilai kejantanan, akan sangat merasa rapuh jika ada hal yang mengancam kejantanannya. Misalnya ada kawan laki-laki lain yang lebih unggul atau superior dalam hal kekuatan dan kepemilikan.
Sebagian lain mengalami ancaman manakala pasangannya mendapat pencapaian yang lebih tinggi dari dia. Misalnya gaji yang lebih tinggi, menempuh pendidikan lebih tinggi, atau mendapat promosi kenaikan jabatan.
Ancaman ini juga berasal dari diri sendiri. Misalnya kecacatan akibat kecelakaan dan kehilangan pekerjaan.
Laki-laki tak terbiasa kita anggap lemah. Stereotip kuat dan berkuasa selalu tersematkan kepadanya. Maka jika ia merasa kejantanannya terancam, ia memilih untuk menginjak pihak yang lebih lemah dari diri. Dalam relasi keluarga, mungkin saja ia akan mendominasi pasangan maupun anaknya, hanya untuk membuktikan bahwa ia kuat dan berkuasa.
Ideologi Kejantanan berpotensi Menghasilkan Maskulinitas Kriminal
Anak-anak laki-laki sejak kecil selalu kita stimulasi menjadi kuat dan berani. Mereka seolah kita persiapkan untuk memenangkan kompetisi dengan mengandalkan kekuatan fisik dan keberanian.
Memang, tidak semua anak laki-laki tumbuh menjadi laki-laki dewasa yang kasar dan brutal. Namun, kekerasan dan keberanian seolah tertampilkan sebagai pilihan tepat untuk mencapai kemenangan.
Hal inilah yang menyebabkan ideologi kejantanan berpotensi menghasilkan maskulinitas kriminal. Maka berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Peytavin dalam buku Akhir Penjantanan Dunia, laki-laki adalah 82% pelaku KDRT, 99% pelaku pelecehan seksual terhadap anak, 99% pelaku pemerkosaan, dan 84% penabrak di jalan yang menewaskan orang lain.
Kelima hal itulah yang masyarakat patriarki tanamkan dalam diri laki-laki. Masyarakat selalu mendorong laki-laki untuk unggul dan dominan. Laki-laki tak kita latih untuk gagal atau kalah, serta memproses rasa kecewa yang muncul.
Ideologi yang terinternalisasi justru adalah kejantanan yang rapuh dan tak siap kita anggap lemah. Padahal, tentu saja tak semua laki-laki mampu memenuhi tuntutan masyarakat untuk selalu memerankan posisi dominan. []