Mubadalah.id – Qira’ah Mubadalah merupakan pendekatan tafsir berbasis kesetaraan gender. Dalam konteks mubadalah Islam dan kultur patriarki merupakan dua hal yang berbeda, tapi sekaligus sering disalahpahami sebagai sesuatu yang melekat. Berbagai tuduhan tersebut biasanya datang dari pihak-pihak yang memiliki sentimen kepada Islam.
Meski begitu, sentimen terhadap Islam itu sendiri seolah mendapat validasi dari sebagian umat Muslim yang malah memperagakan laku-laku intoleran terhadap kelompok rentan, dan lebih dari itu, kelewat getol melakukan objektifikasi terhadap perempuan.
Yang terbaru, kebijakan-kebijakan yang rezim periode kedua Taliban di Afghanistan juga terindikasi sarat dengan diskriminasi gender. Misalnya, pelarangan perempuan untuk berolahraga, pelarangan keterlibatan perempuan dalam pemerintahan, dan kewajiban perempuan untuk membawa wali ketika keluar rumah.
Tak heran, citra Islam menjadi negatif terutama terkait relasi kuasa antara laki-laki dan perempuan. Mengacu pada stigmatisasi ini, terdapat satu metode pembacaan dalil-dalil Islam yang menjunjung tinggi egalitarianisme. Sebuah metode interpretasi yang berusaha untuk memangkas bias dan mempromosikan kesetaraan. Metode itu bernama Qiraah mubadalah.
Namun metode yang sama juga bisa menjadi cara baru dalam melihat keragaman sosial agar tidak melahirkan ketimpangan relasi. Ketimpangan relasi, apa pun bisa melahirkan ketidakadilan karena berawal dari cara pandang negatif terhadap perbedaan antarpihak yang mempunyai relasi. Salah satu tantangan serius ikhtiar mewujudkan keadilan gender adalah cara pandang dikotomis pada laki-laki dan perempuan.
Konsep Qiraah Mubadalah Menurut Para Ahli
Qiraah mubadalah adalah bentuk penafsiran gagasan Faqihuddin Abdul Kodir yang saat ini lebih dikenal dengan istilah tafsir resiprokal. Qiraah mubadalah terinspirasi dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadis yang membicarakan tentang kesaling-hubungan antara laki-laki dan perempuan. Mubadalah dalam bahasa Indonesia dapat kita pahami sebagai resiprositas yang menunjukkan adanya rasa saling menguntungkan antara laki-laki dan perempuan.
Dalam bukunya, Faqihuddin Abdul Kodir menjelaskan bahwa secara metodis, qiraah mubadalah memberikan peluang untuk melakukan pengembangan pemahaman dan praktik terhadap sebuah teks agar memiliki nilai kesalingan hubungan. Qiraah mubadalah menawarkan penempatan laki-laki dan perempuan pada posisi yang sama dalam konteks penafsiran al-Qur’an atau hadis.
Gagasan itu berangkat salah satunya dari ayat al-Qur’an yang membicarakan tentang prinsip keadilan, seperti perintah untuk saling tolong menolong dalam kebaikan, menghindari kejahatan, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan menta’ati Allah dan Rasul-Nya dalam QS. at Taubah: 71,
وَٱلْمُؤْمِنُونَ وَٱلْمُؤْمِنَٰتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَآءُ بَعْضٍ ۚ يَأْمُرُونَ بِٱلْمَعْرُوفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ ٱلْمُنكَرِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَيُؤْتُونَ ٱلزَّكَوٰةَ وَيُطِيعُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓ ۚ أُو۟لَٰٓئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ ٱللَّهُ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
Ayat tersebut secara tersirat menunjukkan bahwa antara perempuan dan laki-laki memiliki posisi yang sama dan sejajar dalam melakukan kebaikan. Laki-laki dan perempuan memiliki korelasi yang sama dalam melakukan sesuatu yang positif.
Langkah-langkah Pendekatan Qiraah Mubadalah
Terdapat tiga langkah yang dapat kita lakukan dalam menafsirkan alquran dan hadis menggunakan pendekatan qiraah mubadalah. Pertama, menggali prinsip universal Islam tanpa memandang jenis kelamin.
Prinsip ini tercermin dalam nilai-nilai kemaslahatan keduanya berdasarkan standar agama dan tradisi (urf).
Kedua, memperhatikan kandungan makna ayat yang tersirat tanpa memandang jenis kelamin yang disebutkan. Pada hakikatnya penyebutan laki-laki dan perempuan itu terbatas ruang dan waktu.
Pada keadaan tertentu, perlu memperhatikan kontekstual antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, menitikberatkan gagasan utama pada ayat yang tidak menyebutkan laki-laki dan perempuan pada langkah sebelumnya. Hal ini berarti Qiraah Mubadalah berusaha menyalingkan kemaslahatan ajaran Islam agar seluruh umat merasakannya secara komprehensif. []