Seringkali setiap kali membaca atau menulis cerita fiksi, lalu ditemukan kata-kata mesra, romantis yang bikin hati baper dan larut dalam kisah cintanya, tetiba ada rasa bersalah. Kemudian muncul banyak pertanyaan. Dosa tidak ya?, dianggap zina tidak ya?. Karena kultur pesantren yang kuat membuat kita acapkali membuat standar ganda. Oke deh dalam adegan novel populer lain boleh bebas dan liar, tapi kita jangan, biar sifat kesantrian tidak hilang.
Tetapi setelah membaca Novel Wigati; Lintang Manik Woro karya penulis Khilma Anis, yang memiliki basis pesantren kuat, anggapan saya yang keliru itu terbantahkan. Khilma mampu mengemas bahasa mesra tanpa harus merasa bersalah.
Sikap romantis yang ditunjukkan tokoh utama Hidayat Jati, atau dalam novel akrab disapa Kang Jati terhadap Manik begitu menyentuh, tanpa harus membuat kita mengaduh. Begitu lembut hingga membuat pembaca manggut-manggut. Sangat elegan tanpa membuat harga diri perempuan terabaikan.
Meskipun novel Wigati ini merupakan karya lawas Khilma sebelum Hati Suhita yang melegenda di kalangan pesantren itu, namun menurut saya cerita cinta yang dibangun Khilma punya satu ciri khas yang sama.
Bahwa perasaan suka, kikuk dan grogi di depan orang yang kita sukai, getar degup jantung, denyar jiwa, angan yang melayang, merupakan hal lumrah yang dialami setiap manusia, baik lelaki maupun perempuan. Khilma seolah menegaskan. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Hanya manusia saja yang kerap membuatnya menjadi sulit dan nampak rumit.
Selain eksplorasi tentang rasa, dalam novel tersebut ada satu kalimat yang saya garisbawahi, diambil dari dialog panjang Kang Jati dengan Manik. “Gusti Allah itu romantis sekali. Dia mengabulkan pada saat kita sudah kelelahan.” Lalu pada kalimat lain disambung dengan “Bahwa usaha manusia, sekeras apapun tidak akan berarti apa-apa kalau Gusti Allah belum kerso”.
Selanjutnya dalam kalimat kedua, penjelasan tentang kata “nriman”. Yakni artinya bukan pasrah sambil mengeluh. Nriman adalah pasrah yang penuh syukur. Mensyukuri yang sudah terjadi dan percaya bahwa yang akan terjadi di depan sudah ditata Gusti Allah dengan apik. Kalau sudah Gusti Allah yang noto, mesti apik.
Membaca barisan kalimat itu saya seperti tertampar berkali-kali. Terlebih dengan kondisi yang sedang saya hadapi saat ini, atau siapapun pembaca yang sedang punya masalah. Mungkin iya, menyerahkan semua pada Sang Pemilik Kehidupan, di mana hidup dan mati kita dalam genggamanNya, akan membuat hati lebih lega. Meski segala upaya juga harus terus dicoba.
Novel yang berkisah tentang pesantren, keris dan dunai batin perempuan Jawa ini mengusung judul Wigati, tetapi bagi saya kisah cinta Kang Jati dan Manik lebih dramatis dan mendapatkan tempat di hati pembaca. Kang Jati sebagai pusaran rasa diantara dua perempuan, Wigati dan Manik. Yang satu sudah terjerat panah asmara, sementara yang lain didesak kehendak orang tua. Sebuah pilihan sulit, dan semoga ketika cerita ini berlanjut tidak menjadi cinta segi tiga atau poligami. Sebagaimana kisah percintaan ala film drama di Indonesia.
Karena mengingati Kang Jati, saya seperti melihat sosok Parang Jati dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Keduanya sama-sama bernama dan dipanggil Jati. Bahkan karakter yang dibangun pun tak beda jauh. Sama-sama plin-plan, mudah goyah dalam urusan perasaan, terutama terhadap perempuan.
Tetapi kalau soal pengetahuan budaya dan sejarah Jawa, keduanya punya level sama. Bedanya, Hidayat Jati masuk dari ilmu “Keris”, sementara Parang Jati di Bilangan Fu, bicara dari “Candi”. Kedua sosok tokoh lelaki tersebut telah menunjukkan sesuatu. Bahwa bagi penulis perempuan, lelaki yang berpengetahuan luas, terutama tentang sejarah dan budaya negeri sendiri itu ternyata lebih seksi dan menarik. Tak kehilangan identitas, meski teknologi dan peradaban terus memburu tanpa batas.[]