Permata yang paling indah adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga
Mubadalah.id – Siapa yang tidak menginginkan kebahagiaan. Merindukan kenyamanan dan kehangatan keluarga, seperti penggalan lirik lagu Keluarga Cemara, “Permata yang paling indah adalah keluarga. Mutiara tiada tara adalah keluarga”. Soundtrack sebuah sinetron keluarga karya Arswendo Atmowiloto yang terkenal di era 90-an. Tetapi bagaimana caranya menemukan permata dan mutiara tiada tara itu? Tentu awal dari membangun keluarga harmonis dan bahagia diawali dengan menemukan pasangan, partner seumur hidup kita menuju bahagia dan rasa damai.
Baca: 5 Kejasama Laki-laki dan Perempuan dalam Islam
Seperti mengenakan sepasang sepatu, sebelah kanan dan kiri. Ketika digunakan melangkah berjalan terasa nyaman. Pernahkan memakai sepatu semuanya kanan, atau kiri semua. Apa yang dirasakan? Tak leluasa dipakai buat berjalan apalagi berlari. Malah bisa membuat yang memakai akan terseok-seok melangkah lalu terjatuh. Berjalan tanpa keseimbangan. Bukankah itu akan memperlambat kita sampai di tujuan? Seharusnya fokus dengan keharmonisan keluarga, ketika salah menemukan pasangan justru kita akan terus mencari kelemahan mengapa bahagia enggan datang.
Harta, tahta, kecerdasan, kecantikan dan ketampanan tak menjamin kebahagiaan akan terwujud segera. Lihatlah berapa banyak selebritas negeri yang dilimpahi dengan kekayaan, ketenaran, dan penampilan fisik menarik namun tak mampu mempertahankan rumah tangga. Kalimat cinta di awal pertemuan, janji nikah di mula pernikahan menjadi tak berarti, ketika Hakim Sidang Pengadilan Agama sudah ketuk palu tanda berakhirnya ikatan. Atau mungkin kita masih ingat dengan aktor kawakan Hollywood Robin Wiliams yang bunuh diri dengan menggantungkan tubuhnya, beberapa tahun silam.
Baca: Fitnah: Harta, Tahta, Wanita?
Karena bahagia sejatinya berasal dari hati kita, yang tulus menerima perbedaan dan kekurangan pasangan. Jika hal sepele kegiatan sehari-hari masih saja kita perdebatkan dengan pasangan, bagaimana kita mampu menghadapi hal besar di masa depan. Bila sedikit kesalahan dari pasangan masih saja kita pertengkarkan, tanpa memahami alasan mengapa kesalahan itu bisa terjadi, bagaimana mungkin kita bisa mengerti setiap kelalaian ada kesempatan untuk memperbaiki. Dengan jiwa yang terbuka, dan tulus menerima semua persoalan hidup yang awalnya sulit menjadi lebih mudah dihadapi bersama pasangan.
Banyak faktor yang menunjang kebahagiaan rumah tangga menjadi nyata, di antaranya dengan berbagi. Pertama, memberikan bantuan dana, terutama bagi pasangan suami istri. Tidak ada istilah uang suami atau uang istri. Selama itu untuk kepentingan bersama, kebutuhan rumah tangga atau kepentingan pendidikan anak-anak, maka sudah sewajarnya bersama pasangan saling menopang dan menunjang agar ketercukupan anggaran kebutuhan bisa terpenuhi. Pun jika sampai harus meminjam pada pihak ketiga, baik perorangan atau perusahaan keuangan, antar pasangan harus terbuka berapa nominal dana peminjaman itu, dan bagaimana komitmen berdua menyelesaikan pinjaman dengan tepat waktu. Sehingga ketika telah datang jatuh tempo bisa dihadapi bersama tanpa saling menyalahkan.
Faktor kedua, berbagi tenaga dan waktu. Hal yang kini sudah semakin langka karena masing-masing merasa punya kesibukan sendiri. Meski demikian sebagai pasangan yang punya tujuan bahagia hingga akhir menutup mata, membagi waktu dan tenaga menjadi sesuatu yang tak bisa ditawar lagi. Bagaimana pasangan bisa saling bicara jika waktu dan tenaga terkuras habis untuk bekerja. Bagaimana pemahaman yang baik, saling pengertian dan keterbukaan bisa ada, bila antar pasangan tak pernah saling bicara atau berkomunikasi. Kalau tiada komunikasi, kebahagiaan menjadi mustahil terjadi.
Faktor terakhir, berbagi pikiran dan menyumbangkan gagasan kita setiap kali ada persoalan yang datang menghampiri. Keadaan ini menuntut kita untuk perduli, urun rembug mencari jalan keluar. Kepedulian ini meski hanya memikirkannya saja, sudah membuat hidup kita menjadi lebih berarti mampu membantu kesulitan orang lain. Apalagi jika orang lain itu adalah anggota keluarga sendiri, pasangan hidup kita, saudara, kerabat dan anak-anak.
Jadi kebahagiaan itu kita sendiri yang membuatnya, bukan orang lain. Kebahagiaan berawal dari pikiran yang baik, dan perasaan yang nyaman, damai, tentram dan sejahtera. Semua ini mungkin jika kita mau berbagi apa yang kita miliki, harta, tenaga, waktu dan pemikiran. Apabila kebahagiaan sudah kita rengkuh dalam genggaman maka jangan segan untuk membaginya dengan yang lain. Sebab kebahagiaan sebagai hal yang positif, sama seperti virus mudah sekali menyebar. Semakin terus kita berbagi maka bertambah besar pula kebahagiaan yang kita rasakan.