Mubadalah.id – Kenyataan relasi gender yang diskriminatif ini bukan hanya menjadi kenyataan di dalam masyarakat Indonesia, melainkan juga dialami oleh bangsa-bangsa muslim di seluruh dunia.
Berbagai perundang-undangan yang menyangkut relasi laki-laki dan perempuan di sana masih menempatkan perempuan sebagai subordinat laki-laki.
Meskipun telah terdapat berbagai kemajuan, tetapi kaum perempuan belum mereka anggap setara. Kerena itu belum memperoleh hak-hak kemanusiaannya secara adil, sebagaimana kaum laki-laki. Ketimpangan relasi berbasis gender ini menimbulkan problem-problem pelanggaran kemanusiaan yang serius.
Pertanyaan mendasar yang sering diajukan berkaitan dengan isu ini adalah apakah agama mengafirmasi relasi laki-laki dan perempuan sebagai relasi yang setara dan sejajar menyangkut hak-hak sosial, budaya dan politik mereka.
Secara lebih elaboratif pertanyaan ini dapat dikembangkan menjadi apakah kaum perempuan dalam pandangan agama memiliki hak untuk mendapatkan perlakuan dan kedudukan yang sama dan adil di depan hukum. Baik dalam urusan-urusan privat (domestik) maupun publik.
Termasuk dalam menentukan pilihan pasangan hidupnya, menjadi kepala keluarga, menentukan masa depan keluarga, maupun dalam urusan-urusan publik politik. Misalnya mendapatkan akses pendidikan dan upah yang sama dengan laki-laki, menjadi kepala negara/pemerintahan dan pengambil kebijakan publik-politik lainnya dan seterusnya.
Kontroversi
Membaca pikiran-pikiran para ahli Islam dalam sumber-sumber intelektual mereka, dalam merespon isu-isu gender, kita menemukan, paling tidak dua aliran besar.
Aliran pertama berpendapat bahwa posisi perempuan dalam hubungannya dengan laki-laki adalah subordinat. Perempuan adalah makhluk Tuhan kelas dua, di bawah laki-laki. Perempuan inferior dan laki-laki superior.
Posisi subordinat perempuan ini para agamawan yakini sebagai kodrat, fitrah, hakikat, norma ketuhanan yang tidak bisa berubah dan sebagainya, dan oleh karena itu tidak boleh kita ubah.
Atas dasar ini, maka hak dan kewajiban perempuan tidak sama dan harus ia bedakan dari hak dan kewajiban laki-laki, baik dalam hukum-hukum ibadah (ritual), hukum-hukum keluarga maupun hukum-hukum publik/ politik.
Intinya hak perempuan adalah separoh hak laki-laki. Menurut mereka hukum-hukum Allah sebagaimana yang tercantum dalam al-Qur’an maupun hadits Nabi berlaku sepanjang masa untuk segala tempat.
Kelompok ini menentang keras persamaan laki-laki dan perempuan, karena menyalahi hukum Tuhan. Dan keputusan Tuhan adalah demi kebaikan bersama dan keadilan semata.
Aliran ini dianut oleh mayoritas besar umat Islam. Kita sering menyebutnya sebagai aliran konservatif. Dalam responnya terhadap isu-isu gender, kelompok ini kemudian terpolarisasi dalam berbagai pandangan yang longgar, moderat dan ekstrim/radikal. []