Mubadalah.id-Melansir dari ekonomi.bisnis.com menurut data Panel Harga Badan Pangan Nasional (Bapanas), harga beras di tingkat pedagang kembali bergerak naik bahkan melampaui harga eceran tertinggi (HET) yang pemerintah tetapkan. Yakni Rp13.900-Rp14.800 per kilogram untuk beras premium dan Rp10.900-Rp11.800 per kilogram untuk beras medium.
Harga beras premium naik sebesar 2,73% menjadi Rp16.920 per kilogram. Harga beras premium tertinggi terjadi di Papua Pegunungan sebesar Rp26.000 per kilogram. Sedangkan harga terendah terjadi di Jawa Timur sebesar Rp14.500 per kilogram. Bahkan saat ini harga beras yang tembus di harga 18.000 per kilogram. Lantas apa hubungannya dengan perempuan penyedia pangan?
Menjelang Ramadan saat ini, kekhawatiran dan kegelisahan semakin menjadi, mungkin bagi ekonomi menengah ke atas. Naiknya harga menjelang Ramadan tidak menjadi permasalahan karena memang sudah menjadi rutinan. Akan tetapi bagi ekonomi ke bawah menyambut Ramadan selain disambut suka cita tak dipungkiri ada kekhawatiran terutama bagi perempuan yang sering dibebankan sebagai penyedia pangan.
Mengapa yang Paling Terkena Dampaknya Perempuan?
Seringkali yang memikirkan harga beras yang mahal, harga cabai yang melonjak tinggi, bawang yang langka adalah tugas perempuan saja. Tentu saja tidak lepas dari budaya masyarakat sendiri yang sudah mengangap ini bagian dari peran domestiknya perempuan untuk menyediakan makan dan menjamin nutrisi bagi keluarga.
Bahkan bukan hanya penyedia pangan semata, perempuan juga memiliki beban lainnya. Sejalan dengan pernyataan Alifatul Khairiyah dalam tulisannya di website mubadalah.id bahwa di daerah-daerah tertentu, beras dan perempuan juga dekat dalam persoalan tanggung jawab sosial. Seperti yang kita ketahui, perempuan khususnya perempuan pedesaan memiliki tiga beban (triple burden) seperti ekonomi, sosial, dan domestik.
Memang benar adanya, di daerah saya sendiri di Kuningan beras menjadi simbol pemberian saat acara nikahan atau ketika ada keluarga yang ditinggalkan. Dari sini saja kita bisa melihat selain persoalan pangan ada tanggung jawab sosial yang sudah melekat pada perempuan karena faktor budaya yang sudah menjadi adat kebiasaan.
Beban Perempuan
Beban sebagai perempuan penyedia pangan datang dari lingkungan keluarga dan lingkaran yang lebih besar di masyarakat. Dari saat memutuskan menikah, memiliki anak, perempuan sudah harus menjamin nutrisi bayi dari masa kehamilan, menyusui dan akan seterusnya akan menjadi garda terdepan agar anak terjamin sehatnya.
Oleh karena itu, yang paling terkena dampak atas kenaikan harga adalah perempuan. Atas beban beban itu perempuan mau tidak mau harus cerdik dan pintar mengelola keuangan.
Lalu bagaimana jika uangnya tidak ada? bagaimana bisa kebutuhan gizi tercukupi, ketika membeli bahan pokok saja sudah memberatkan apalagi membeli lauk makan. Apa masih ada dan tega yang berani menyalahkan perempuan karena masih dianggap tidak piawai dalam mengurus pangan?
Sebab Langkanya Beras
Kenaikan beras saat ini menjadi kenaikan tertinggi dalam sejarah. Mengutip dari laman Kompas.com Badan Pangan Nasional (Bapanas) beralasan bahwa perubahan iklim ekstrem menjadi salah satu penyebab melonjaknya harga beras baru-baru ini. Perubahan iklim ekstrem adalah El Nino, menyebabkan dampak signifikan pada sektor pangan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisik (BMKG) menuturkan bahwa El Nino merupakan kondisi suhu permukaan laut di Samudera Pasifik ekuator bagian timur dan tengah yang lebih panas dari normalnya. Akhirnya, curah hujan di Indonesia berkurang akibat pertumbuhan awan bergeser dari Indonesia ke wilayah Samudra Pasifik bagian tengah.
Dari sisi hidrologi, fenomena ini mendorong munculnya kekeringan yang dapat menyebabkan potensi kemarau panjang karena berkurangnya sumber-sumber air. Akibatnya, terjadi kekeringan di berbagai wilayah di Indonesia.
Peran Pemerintah
Bahkan Kementerian Pertanian (Kementan) mencatat, 27.000 hektare (ha) lahan pertanian di Indonesia mengalami kekeringan. Angka itu melonjak jika melihat luas kekeringan di musim kemarau tahun 2022, yang hanya 2.700-an ha.
Belum lagi karena faktor bencana alam seperti banjir yang ikut menjadi faktor gagal panen di Indonesia. Berdasarkan data BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), tercatat sebanyak 331 bencana banjir atau sekitar 44% dari total kejadian bencana yang terjadi pada periode Januari hingga Maret 2023. Terdapat 136 Kabupaten dan Kota di 20 Provinsi yang terdampak gagal panen (puso) akibat banjir, dengan total lahan terdampak sekitar 54 ribu hektar.
Kebijakan pemerintah yang masih belum maksimal dalam mengantisipasi kelangkaan beras ini patut kita telaah juga. Karena berdampak pada kuatnya stigma perempuan sebagai penyedia pangan.
Wacana pemerintah dalam mencegah stunting tentu ini akan sulit terrealisasikan jika tidak ada kebijakan segera untuk mengatasi masalah ini. Optimisme pemerintah dalam upaya target penurunan stunting hingga 14 persen di tahun 2024 akan sulit terjadi jika tidak segera teratasi.
Pemerintah harus serius dalam melihat krisis pangan ini, bukan hanya karena kondisi alam saja yang tidak mendukung. Pemerintah yang belum tegas dalam memberikan subsidi pupuk dan memberikan efek jera pada para tengkulak dan mafia turut menjadi penyebabnya.
Semoga segera menemukan jalan keluar dan menghasilkan kebijakan yang dapat mendukung dan mendorong pemberdayaan dan kesejahteraan setiap warga negaranya. []