Mubadalah.id – Pernikahan bukan merupakan pintu yang menutup hak istri untuk memiliki harta dan kekayaan sendiri. Dalam pandangan Islam, perempuan diakui punya hak milik pribadi baik yang didapat dari usahanya sendiri, pemberian orang lain, atau bahkan pemberian suami.
Dalam hal ini, suami tidak berhak mengutak-atik hak milik pribadi istrinya itu, kecuali atas seizin istri. Bahkan ketika si istri dalam status diceraikan pun, suami sama sekali tidak berhak meminta kembali apa yang telah diberikan kepada istrinya. Allah SWT berfirman:
وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ (البقرة، 229)
Artinya: “… Dan tidak halal bagimu mengambil kembali sesuatu dari yang kamu berikan kepada mereka kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah …” (QS. Al-Baqarah/2:229).
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا (النساء، 20)
Artinya: “Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain. Sedang kamu telah memberikan kepada seorang di antara mereka harta yang banyak. Maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata” (QS. An-Nisa 4:20).
Persoalan pemilikan harta pribadi bagi perempuan pernah mencuat pada masa Khalifah Umar bin Khattab. Khalifah berusaha membatasi hak perempuan dalam memperoleh mahar.
Khutbah Nabi
Dalam suatu khutbahnya, Khalifah menginstruksikan agar mahar –yang nantinya menjadi milik pribadi perempuan dibatasi maksimal empat ratus dirham. Alasannya, Nabi dan para sahabat biasa memberikan mahar sejumlah itu atau lebih kecil.
Begitu Khalifah turun, seorang perempuan Quraisy bangkit dan mempertanyakan alasan pembatasan itu. Perempuan itu mengatakan bahwa jika Allah saja tidak pernah membatasi jumlah yang diberikan kepada seorang perempuan seperti yang tertera dalam surat an-Nisa’ ayat 20, maka mengapa Khalifah membatasi.
Mendengar protes tersebut, Khalifah segera beristighfar dan mencabut kembali pernyataannya sambil mengakui bahwa perempuan itu benar. Setelah itu, tidak ada lagi pembatasan hak perempuan memperoleh mahar.
Statemen al-Qur’an tentang hak milik istri seperti tersirat dalam ayat di atas memang tampak sederhana. Tapi sesungguhnya dengan adanya pengakuan ini al-Qur’an telah membuka peluang kepada para istri untuk memiliki akses ekonomi.
Dengan harta yang istri miliki boleh mentasharrufkan (mempergunakan dengan baik) harta itu sesuai dengan keinginannya apakah untuk modal usaha, untuk bersedekah atau aktivitas sosial.
Dengan demikian ketergantungan secara ekonomi kepada suami yang seringkali menjadi biang keladi terjadinya kekerasan, marginalisasi, dan subordinasi terhadap perempuan dalam rumah tangga dapat diminimalisir.
Meskipun hak milik pribadi perempuan dijamin, bukan berarti bahwa Islam membuat garis pemisah yang tajam antara hak milik suami dan istri.
Dalam kerangka mu’asyarah bil ma’ruf dan ta’awun ala al-birri wa at-taqwa (tolong menolong kebaikan dan ketakwaan) istri yang memiliki kekayaan dan kemampuan ekonomi yang lebih ia anjurkan membantu suaminya. Seperti apa yang Siti Khadijah lakukan kepada Nabi Muhammad SAW dan Zainab kepada suaminya, Ibnu Mas’ud.
Demikianlah hak milik pribadi itu ia akui tanpa mengorbankan prinsip tolong-menolong antara suami istri. []