“Mengapa dahulu Nabi berperang, padahal Islam agama cinta damai?”
Mubadalah.id – Mungkin pertanyaan ini pernah sesekali atau bahkan seringkali lewat dalam benak kita. Terlebih dalam momentum peringatan Maulid Nabi seperti sekarang ini.
Dalam menjawab pertanyaan tersebut di atas, kita mesti berhati-hati. Bila tidak, bisa jadi kita gegabah, dan dengan mudah justru terprovokasi oleh kelompok orientalis dan kelompok-kelompok ‘garis keras’ lainnya yang gemar ‘menjatuhkan’ kemuliaan Nabi. Nauzubillah min dzalik.
Pertanyaan di atas memang berbahaya bila tidak kita jawab secara hati-hati dan teliti. Salah sedikit saja, mungkin saja kita akan menyimpulkan bahwa Baginda Nabi Muhammad SAW adalah sosok yang kejam, suka permusuhan, dan gemar membunuh.
Bila kita sampai menyimpulkan seperti itu, tentu hal demikian ini jelas kontradiktif dengan falsafah dasar agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW sendiri. Sebab, agama Islam merupakan agama pembawa wacana perdamaian di tengah kehidupan manusia di dunia dunia.
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin sejenak mengajak para pembaca yang budiman untuk lebih mengetahui dan menyakini bahwa Nabi Muhammad SAW bukanlah sosok yang kejam, suka permusuhan, dan gemar membunuh, namun justru sebaliknya. Meskipun dahulu Nabi pernah terlibat dalam beberapa peperangan.
Allah SWT telah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَمَاۤ اَرۡسَلۡنٰكَ اِلَّا رَحۡمَةً لِّـلۡعٰلَمِيۡنَ
Artinya: “Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya [21]: 107).
Dalam ayat lain, Allah SWT juga menegaskan dalam firman-Nya:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا
Artinya: “Sesungguhnya terdapat dalam diri Rasul teladan yang baik bagi orang yang mengharapkan (ridha) Allah dan ganjaran di hari kemudian dan dia banyak menyebut Allah.” (QS Al-Ahzab [33]: 2l).
Allah SWT secara tersurat bahkan juga memuji beliau sebagaimana termaktub dalam firman-Nya berikut:
وَاِنَّكَ لَعَلٰى خُلُقٍ عَظِيْمٍ
Artinya: “Dan sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang luhur” (Q.S. Al-Qalam [68]: 4).
Akhlak Nabi
Di samping itu, ketika ditanya tentang perihal akhlak Nabi, Sayyidah Aisyah RA menjawab dengan singkat dengan ucapan“kaana khuluquhu qur’an” yang berarti bahwa akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Sebagaimana hadits yang masyhur umat Islam ketahui.
Dengan kata lain, kalau kita ingin mengetahui seperti apa jadinya bila seseorang mengamalkan seluruh isi Al-Qur’an. Di mana yang di dalamnya terdapat samudra ilmu dan hikmah sekaligus menjadi pegangan hidup bagi umat Islam. Maka kita tinggal melihat dan meneladani suri tauladan akhlak mulia Nabi Muhammad SAW. Ya, Nabi Muhammad SAW adalah Al-Qur’an berjalan!
Selain beberapa dalil di atas, jelas masih banyak lagi dalil yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad SAW adalah sosok pribadi yang terpuji dengan akhlak mulia yang ada dalam jiwa beliau. Dari beberapa dalil di atas saja, kita semestinya tak perlu lagi meragukan validitas akhlak mulia Sang Rasul. Di mana pada hari kelahirannya saja disambut oleh alam semesta seisinya dengan penuh suka cita ini.
Kemudian, kalau memang Nabi Muhammad SAW pribadi yang mulia dan tidak kejam, tak suka permusuhan, dan tak gemar membunuh, tapi mengapa dahulu Nabi pernah berperang? Sebagai umat Islam yang moderat dan cinta damai, apa jawaban yang tepat akan persoalan yang terkesan cukup kontradiktif ini?
Sejarah Kehidupan Nabi
Nah, untuk menjawab pertanyaan tersebut, kita perlu mengetahui sejarah kehidupan Nabi. Khususnya tentang seluk-beluk alasan mengapa dahulu Nabi berperang. Dalam menjelaskan hal ini, penulis menukil jawaban “tepat dan bijak” yang pernah Gus Nadhirsyah Hosen sampaikan.
Menurut Gus Nadir, pertanyaan ini berpangkal pada adanya perbedaan pandangan para fuqaha tentang ”konsepsi dasar mengenai hubungan antara muslim dengan non muslim dalam perspektif Islam”. Maksudnya, apakah atas dasar damai. Dalam arti bahwa peperangan bersifat insidentil, ataukah memang atas dasar perang, dengan pengertian bahwa damai hanyalah bersifat insidentil?
Ulama yang berpegang pada pandangan pertama berpendapat bahwa memerangi orang kafir hanya bersifat pembelaan, sebab mereka memerangi atau mengganggu umat Islam lebih dulu. Peperangan sebab demikian ini kita sebut jihad al-daf’ (jihad defensif).
Sementara itu, golongan ulama kedua, yakni mereka yang memandang hubungan antara muslim dengan non muslim atas dasar perang, berpendapat bahwa memerangi orang kafir itu penyebabnya kekufuran. Mereka berpandangan pada konsep jihad al-thalab (jihad ofensif).
Lebih lanjut, Gus Nadir menjelaskan bahwa menurut beliau, di antara dua pendapat tersebut, pendapat pertamalah yang ia pandang kuat. Yaitu peperangan yang Nabi lakukan atas dasar jihad defensif alias membela diri atau karena ada alasan tertentu. Bukan semata-mata hendak memaksa dan menaklukkan dunia agar masuk Islam.
Jihad Defensif
Alasan beliau memilih pendapat pertama (peperangan yang dilakukan Nabi atas dasar jihad defensif) ini setidaknyaberdasarkan pada tiga aspek yang menjadi dasar bahan pertimbangan sebagai berikut:
Pertama, adanya konsensus (ijma’) bahwa dalam peperangan tidak dibenarkan membunuh perempuan, pendeta (pemuka agama non Islam) dan terutama anak-anak yang belum dewasa. Logikanya, seandainya memerangi orang kafir itu disebabkan kekufurannya maka seyogyanyalah bahwa yang pertama-tama dibunuh adalah pendeta. Ternyata kita malah dilarang melakukannya.
Kedua, Ayat-ayat Al-Qur’an tentang peperangan tidak bersifat mutlaq, melainkan muqayyad. Yakni terbatasi dan dikaitkan dengan sesuatu sebab, yaitu membela diri atau pembelaan terhadap penganiayaan. Sehingga, andaikata orang kafir meminta damai, Al-Qur’an memerintahkan agar kaum muslimin menerima perdamaian tersebut.
Ketiga, Al-Qur’an menganjurkan kaum muslimin agar mengadakan hubungan baik dengan orang-orang kafir yang tidak memerangi dan mengusir kita. Sebagaimana kita ketahui dari QS. Al-Mumtahanah ayat 8-9 dan QS. An-Nisa ayat 90.
Kesimpulannya, konsep dasar tentang hubungan antara muslim dengan non-muslim menurut Gus Nadir jelas berrdasarkan atas prinsip damai. Bukan prinsip berperang untuk memaksa mereka masuk Islam. Sebab, hal ini terlarang secara nyata dalam QS. Yunus ayat 99.
Islam Agama Cinta Damai
Berdasarkan ulasan di atas, maka kita dapat menarik simpulan bahwa Islam tetaplah agama cinta damai. Peperangan yang dahulu Nabi lakukan itu tidak ‘dimulai’ oleh beliau, melainkan pihak musuh.
Sebagai contoh, Perang Bani Qainuqa’ terjadi sebab ulah Kaum Yahudi Madinah. Kaum Muslim memerangi mereka sebab mereka telah melanggar perjanjian pasca-Perang Badar Kubra, dan telah merusak kehormatan seorang wanita dari Kaum Anshar. Atau Perang Bani Nadhir yang terjadi juga sebab ulah Kaum Yahudi Madinah yang melanggar perjanjian dan melempari batu kepada Baginda Nabi SAW tatkala berada di negeri mereka.
Pada intinya, Nabi dan kaum muslimin waktu itu tidaklah menjadi pihak yang mengawali peperangan. Peperangan yang Nabi dan kaum muslimin lakukan jelas atas dasar untuk membela diri alias jihad defensif. Sebagaimana penuturan Gus Nadir di atas, sehingga, ihwal demikian ini menunjukkan bahwa Nabi SAW adalah sosok yang berakhlak mulia dan ajaran Islam yang dibawa Nabi tetap menjadi agama yang cinta damai. Wallahu a’lam. []