Mubadalah.id – Kalau ada yang bilang, hutan itu se-simple menanam kembali sawit. Yang penting kan tanaman, menghasilkan CO2 dan hasilkan oksigen. Tidak Ferguso, tidak begitu. Hutan itu alami terbentuk ribuan tahun. Ada ribuan jenis pohon, tumbuhan, bunga, aneka satwa. Beragam flora dan fauna dengan nilai ekologis yang sangat tinggi.
Di hutan ada satwa terutama gajah yang memakan aneka macam tumbuhan. Kemudian membantu penyebaran benih dari kotorannya. Lalu muncullah tumbuhan baru yang kelak menjadi tempat teduh bagi tumbuhan dan hewan lainnya.
Pohon-pohon besar yang memiliki akar kuat, saling menyebar di tanah. Aneka macam tumbuhan memiliki akar, akar sesama pohon semua saling terhubung ibarat tangan yang berpegangan erat. Termasuk hewan yang hidup di dalamnya saling membutuhkan.
Kalau hutan itu berganti dengan sawit, maka yang ada monokultur, ya cuma sawit itu yang tumbuh. Gajah, harimau dan Orang Utan tidak bisa hidup di lahan sawit. Para satwa butuhnya hutan yang lengkap dengan tumbuhan dan hewan beragam. Inilah awal dari petaka darurat bencana alam di Indonesia.
Ketika Manusia Serakah Menjarah Hutan
Pohon itu tidak hanya bisa dinilai dari daunnya. Tetapi juga akarnya, akar adalah senjata utamanya. Akar itulah yang membuat tanahnya kuat. Pohon itu akarnya tumbuh ke dalam, akarnya menyebar, mengikat tanah sehingga tidak mudah longsor, menahan air hujan melalui serabut akar dan dedaunan yang menahan hujan seperti kanopi, dan pohon bisa menstabilkan debit aliran air sungai.
Jika hutan hilang, maka terjadilah darurat bencana alam. Karena pohonnya sudah tidak ada. Akarnya tidak menahan air, tidak menyerap air. Akar tidak lagi mengikat tanah secara erat. Jika hutan diganti sawit. Akar sawit itu pendek, dia tidak menyebar seperti pohon, tidak banyak menyimpan air. Apabila terjadi hujan, maka air tidak terserap oleh akar sawit, maka banjir dan longsor pastilah terjadi.
Hutan Tesso Nilo
TNTN adalah salah satu hutan dataran rendah terakhir di Sumatra. Habitat alami bagi banyak flora dan fauna endemik, termasuk gajah dan harimau Sumatera. Keanekaragaman hayatinya tinggi dengan banyak spesies tumbuhan dan hewan, ikut menjaga keseimbangan ekosistem, siklus air, dan penyimpanan karbon.
Jika kita membiarkan hilangnya TNTN berarti hilangnya salah satu benteng terakhir alam dataran rendah Sumatra yang sulit digantikan. TNTN memiliki luas resmi sekitar 81.739 hektare. Akibat alih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit ilegal dan pemukiman, dengan luas sekitar 15 – 24% dari total area yang tersisa sebagai hutan alami.
Estimasi paling spesifik menyebut sekitar 12.561 hektare sebagai hutan alam sisanya sudah berubah fungsi. Penyebab kerusakan: perambahan dan pembukaan lahan sawit ilegal, pemukiman ilegal, serta pembabatan selama puluhan tahun.
Perambahan terjadi selama bertahun-tahun, tidak hanya oleh masyarakat lokal, tetapi juga oleh para pemegang kebun yang membuka lahan secara ilegal. Deforestasi serta alih fungsi ini berdampak buruk pada keanekaragaman hayati, fungsi hidrologis, dan layanan ekosistem hutan.
Tekanan terhadap ekosistem sangat besar, konflik antara manusia dan satwa liar. Karena habitat alami satwa terus menyempit., termasuk penurunan populasi fauna penting seperti Gajah Sumatera, Harimau Sumatera, Orang Utan dan spesies lain yang hidup di hutan dataran rendah.
Pemulihan Hutan Alam atau Forest Landscape Restoration
Solusi ini terbagi menjadi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang, serta mencakup aspek kebijakan, sosial, dan ekologis. Mengatasi kerusakan hutan, dengan melakukan rehabilitasi lanskap luas pada hutan Tesso Nilo, Bukit Barisan, Batanghari. Sistem menggabungkan: hutan alam, hutan tanaman, kebun rakyat, koridor satwa, daerah resapan air.
Ekonomi hijau untuk daerah dengan mengurangi ketergantungan ekonomi pada sawit dan tambang. Memperkuat pariwisata alam, pertanian organik, dan UMKM berbasis hutan. Selanjutnya normalisasi Sungai dan drainase dengan membersihkan sedimen akibat erosi. Memperbaiki tanggul dan jalur sungai yang rusak. Program alih usaha bagi warga yang menduduki kawasan hutan secara ilegal. Restorasi spesies habitat satwa untuk menstabilkan ekosistem.
Restorasi gambut secara serius untuk mengembalikan fungsi rawa gambut yang mengalir ke hilir. Banyak banjir di Sumatera dipicu gambut yang rusak seperti Riau, Jambi, Sumsel. Menutup kanal-kanal yang mengeringkan gambut. Menaikkan tinggi muka air gambut. Menanam spesies gambut asli seperti jelutung, geronggang, ramin.
Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui reboisasi cepat dengan tanaman lokal misalnya meranti, jelutung, sengon. Penanaman kembali di area kritis seperti hulu sungai, lereng curam, bekas tambang, bekas kebun sawit yang terbengkalai.
Moratorium Pembukaan Lahan Baru
Pemerintah harus melakukan pencegahan bertambahnya deforestasi untuk sementara, melakukan penghentian izin baru untuk sawit, tambang, dan HPH di wilayah rawan banjir. Menindak mafia perambahan yang membuka lahan secara ilegal. Menangani kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Memberi sanksi pada perusahaan yang melanggar batas konsesi.
Pemerintah perlu menjalankan perhutanan sosial untuk masyarakat lokal. Dengan memberi akses legal ke masyarakat untuk mengelola hutan secara lestari. Mencegah konflik lahan dan pembukaan ilegal. Mengembangkan komoditas non-deforestasi seperti madu hutan, kopi hutan, rotan, jelutung. Replanting sawit legal yang sudah tua agar produktif, pemerintah harus ketat untuk tidak membuka hutan baru.
Bukankah Indonesia Butuh Sawit?
Kita kan butuh sawit. Buat masak, buat industri. Iya betul, kita butuh untuk kebutuhan sehari hari. Namun tidak sebanyak itu. Tahun 2024, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) mencatat total produksi Crude Palm Oil (CPO) + Palm Kernel Oil (PKO) mencapai sekitar 52,76 juta ton.
Sementara itu, konsumsi domestik pada 2024 diperkirakan mencapai 23,86 juta ton untuk pangan, biodiesel, oleokimia. Salah satu faktor besar meningkatnya konsumsi sawit di dalam negeri adalah penggunaan minyak sawit untuk biodiesel: program campuran minyak sawit ke dalam solar (misalnya B40) meningkatkan permintaan.
Meski produksi nasional cukup besar, dengan konsumsi yang terus tumbuh, ada kekhawatiran terjadi ketidakseimbangan atau defisit domestik. Hal ini memunculkan tekanan bagi industri untuk terus menjaga produktivitas dan perluasan area tanam untuk menyokong kebutuhan masa depan.
Konsumsi domestik sawit kita 23,86 juta ton, dan ekspor 29,54jt ton. Lebih dari setengah produksi untuk memenuhi kebutuhan negara lain. Apakah adil, warga lokal yang menanggung dampak dari penebangan hutan, pembebasan lahan untuk penanaman sawit dan kebijakan ekspor sawit. Apakah adil, kestabilan alam, keamanan warga, satwa dan masa depan generasi kita tukar untuk memenuhi kebutuhan ekspor.
Untuk memulihkan hutan dan mendapatkan julukan kembali negara dengan sebutan zamrud khatulistiwa, butuh puluhan atau ratusan tahun lagi. Dalam Al-Quran, surat Ar-Ra’ad ayat 56 Allah SWT sudah menegaskan untuk menjaga alam:
وَلَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ بَعۡدَ إِصۡلَٰحِهَا وَٱدۡعُوهُ خَوۡفٗا وَطَمَعًاۚ إِنَّ رَحۡمَتَ ٱللَّهِ قَرِيبٞ مِّنَ ٱلۡمُحۡسِنِينَ
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik.”
Lihat para korban bencana alam banjir itu, mereka di pengungsian, kehilangan sanak saudara, kehilangan harta benda. Bahkan mungkin mereka tidur di atas atap rumah menunggu bantuan tim SAR datang. Adilkah, kita membiarkan para manusia serakah membabat habis hutan negara. Para pengusaha dan pejabat yang menikmati hasilnya, sementara masyarakat lokal yang merasakan dampaknya. []











































