Mubadalah.id – Fenomena Flexing di tengah bencana alam selalu kita dapati melalui media sosial, setiap ada kejadian bencana alam. Media gencar meliput para pejabat dan influencer yang mendatangi korban bencana alam. Yang terbaru adalah kunjungan Zulkifli Hasan, Farel dan Zita Anjani.
Alih-alih mendapat dukungan dari masyarakat, sebaliknya justru menjadi bahan gorengan di media sosial. Terlihat para pejabat tersebut membopong sekarung beras berkemeja putih, mengepel lantai bekas banjir dengan memakai sepatu warna putih, memakai rompi anti peluru selayaknya terjun di area medan perang.
Bantuan sering kali menjadi ajang panggung bagi para pejabat, kalimat ini terkesan judgment pada para pejabat. Lain hal muncul pertanyaan mengapa politisi suka menangani bencana dari pada mencegahnya. Mari kita bahas analisis ROI dalam dunia politik.
Return on Investment (ROI)
Dalam politik, istilah ROI adalah konsep untuk mengukur seberapa besar keuntungan politik, kekuasaan, dukungan, atau sumber daya yang mengalir. Ukuran ini untuk membandingkan dengan berapa besar biaya atau modal yang keluar dalam aktivitas politik.
Walaupun istilah ROI berasal dari dunia bisnis, sering berguna dalam analisis politik untuk melihat efektivitas strategi atau kebijakan. Fenomena pejabat sering mendatangi korban bencana alam memang memiliki beberapa motivasi, dan salah satunya analisa melalui konsep Return on Investment (ROI) politik, meskipun tidak selalu seluruhnya bermotif politik.
Bisa jadi kunjungan para pejabat ke korban bencana alam, semata tanggung jawab moral dan administratif. Sebagai pejabat publik, mereka memang punya kewajiban untuk memastikan bantuan tepat sasaran, mengecek kondisi lapangan, menunjukkan empati dan kehadiran negara. Kunjungan ke lokasi bencana memberikan exposure besar. Karena media meliput, foto dan video tersebar, dan menghasilkan keuntungan citra.
ROI Meningkatkan Popularitas dan Elektabilitas
Kedekatan dengan rakyat saat bencana memunculkan simpati publik, persepsi pemimpin responsif, kenaikan dukungan. Ini adalah keuntungan sebagai citra politik, membangun hubungan dengan pemilih. Kunjungan seperti ini bisa terbaca sebagai cara membangun loyalitas, memperkuat basis pemilih.
Kunjungan pejabat memerlukan biaya politik, energi, waktu, dan risiko kritik. Publisitas citra positif memunculkan kepercayaan publik sehingga mendatangkan keuntungan politik.
Jika keuntungan lebih besar dari biaya, maka ini dianggap ROI politik positif. Contoh ROI politiknya, setelah kunjungan, popularitas naik, masyarakat akan memberi anggapan pemimpin cepat tanggap, kemudian mendapat liputan media gratis, hasilnya adalah citra partai atau pejabat terlihat aktif.
Tidak semua pejabat melakukannya kunjungan pada korban bencana alam disebut dengan ROI. Motivasi pejabat datang ke lokasi bencana biasanya campuran, antara lain tanggung jawab negara, kewajiban moral dan etis, prosedur manajemen bencana. Jadi, tidak semua niatnya politis, tapi hasil politiknya hampir pasti ada, karena setiap aktivitas publik pejabat pasti berdampak pada persepsi masyarakat.
Jika kunjungan beserta aksi nyata maka persepsi masyarakat positif. Pejabat dianggap membantu. Sebaliknya, jika hanya foto-foto, pura-pura mengepel atau membawa karung beras, maka para pejabat tersebut panen popularitas. Publik saat ini mulai peka terhadap mana yang “kerja nyata” dan mana yang hanya “panggung”.
Prevention Paradox
Pola yang selalu berulang. Setiap BMKG rilis peringatan siaga atau awas dalam kasus cuaca ekstrem, pihak pemda hening, tidak ada peringatan evakuasi, bahkan sirine mati. Bencana kemudian terjadi seperti banjir atau longsor. Pejabat kemudian muncul pakai perahu karet, berbagi nasi bungkus, mie, pakaian, selimut, kemudian diliput media. pertanyaannya kenapa peringatan di awal sering terabaikan.
Menganalisis melalui teori kebijakan publik, yaitu The Preventtion Paradox. Teori ini menjelaskan, masalah utama dari pencegahan bencana adalah keberhasilan tidak terlihat, atau invisible success. Jika pemdanya sukses mencegah banjir, hasilnya adalah “tidak terjadi apa-apa”. Sungai mengalir seperti biasa, tidak ada drama, tidak ada berita, tidak ada panggung untuk pejabat, tidak ada tepuk tangan.
Karena prevention paradox, banyak program mitigasi gagal karena warga enggan pindah dari daerah rawan, pemerintah kesulitan mengalihkan anggaran ke pencegahan. Penyebabnya adalah tidak terlihat seperti bantuan. Masyarakat lebih mendukung anggaran untuk tanggap darurat daripada pencegahan. Padahal pencegahan adalah upaya menghemat biaya tanggap darurat bencana.
Bencana adalah Panggung
Penanggulangan adalah invisible failure. Alam tidak pernah berubah. Hujan deras, gunung meletus, gempa bumi, banjir bandang, sudah ada sejak manusia belum ada di bumi. Sehingga semua penanganan bencana pada dasarnya adalah akibat dari kegagalan sistemik dalam mengelola apa yang sudah terbiasa terjadi pada alam.
Dalam sistem pemerintahan demokrasi, popularitas adalah kunci kemenangan elektoral. Seorang pejabat yang masuk lumpur, menggandeng lansia, memanggul beras, menjabat tangan korban, atau membagikan sembako, semua menciptakan citra “pahlawan”. Media meliputnya secara gratis. Netizen bersorak, terpukau, kagum, dan elektabilitas naik.
Secara kalkulasi politik, mencegah bencana alam adalah sebuah kerja sunyi. Biayanya mahal, tidak ada tepuk tangan, tidak ada panggung, dan nol apresiasi.
Ketakutan akan False Alam dan Masalah Anggaran
Andaikata seorang bupati memerintahkan evakuasi karena peringatan BMKG, pasar ditutup, warga ungsikan, ternyata banjirnya tidak terjadi. Apa yang akan terjadi, pasti rakyat marah, karena rugi, ekonomi lumpuh, menganggap bupati lebay, bikin panik. Pemimpin yang agresif mencegah justru mendapat label penganggu ekonomi jika prediksi bencana meleset.
Akhirnya cara paling rasional pejabat memilih berjudi. Mereka bertaruh dengan probabilitas, kalau diam dan tidak banir, maka aman dan hemat. Kalau diam dan banjir, lalu minta maaf, menyampaikan kesedihan dan motivasi untuk bersabar menghadapi takdir dan cobaan, bagi-bagi bantuan sosial. Opsi ini jauh lebih aman bagi karier politik mereka daripada opsi evakuasi tapi salah.
Di APBD atau APBN ada pos belanja tidak terduga (BTT) atau dana siap pakai. Ironisnya dana jumbo ini baru bisa cair dengan mudah dan cepat setelah status tanggap darurat ditetapkan. Artinya bencana sudah terjadi. Kalau mau memakai dana besar untuk pencegahan di hari biasa. Prosesnya panjang, auditnya ribet dan rawan dituduh korupsi. Sistem kita menciptakan “Pahlawan Kesiangan”.
Jangan heran peringatan BMKG sering berakhir di grup WhatsApp saja tanpa aksi nyata. Sistem politik, insentif media, dan struktur anggaran kita memang terdesain untuk merespons, bukan untuk mengantisipasi.
Jadi siapa yang salah? Ya kita-kita juga. Sebagai rakyat yang punya hak suara, kita mudah sekali terlena dengan produk jurnalistik yang dramatis. Refleksi untuk kita, apakah kita sebagai pemilih lebih menghargai pemimpin yang hadir di saat kena bencana, atau pemimpin yang bekerja dalam sunyi, supaya kita tidak susah.
Allah memperingatkan dalam surat Sad ayat 26 :
يَٰدَاوُۥدُ إِنَّا جَعَلۡنَٰكَ خَلِيفَةٗ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَٱحۡكُم بَيۡنَ ٱلنَّاسِ بِٱلۡحَقِّ وَلَا تَتَّبِعِ ٱلۡهَوَىٰ فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِۚ إِنَّ ٱلَّذِينَ يَضِلُّونَ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ لَهُمۡ عَذَابٞ شَدِيدُۢ بِمَا نَسُواْ يَوۡمَ ٱلۡحِسَابِ
Artinya: “(Allah berfirman,) “Wahai Daud, sesungguhnya Kami menjadikanmu khalifah (penguasa) di bumi. Maka, berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan hak dan janganlah mengikuti hawa nafsu karena akan menyesatkan engkau dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari Perhitungan.” []








































