Mubadalah.id – Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) menyelenggarakan Halaqah Kubra pada 12–14 Desember 2025 di Hall Convention UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Kegiatan ini diikuti ratusan ulama perempuan, akademisi, dan aktivis dari berbagai daerah untuk membahas isu-isu strategis menjelang Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ke-3 pada 2027.
Acara Halaqah Kubra dibuka pada Jumat (12/12) pukul 08.00 WIB dan dihadiri tiga tokoh utama, yaitu Rektor UIN Sunan Kalijaga Prof. Noorhaidi Hasan, Gusti Kanjeng Ratu Hemas, dan Nyai Hj. Badriyah Fayumi. Kehadiran para tokoh tersebut menandai dimulainya rangkaian diskusi yang akan berlangsung selama tiga hari sebagai bagian dari konsolidasi gerakan keulamaan perempuan di Indonesia.
Dalam sambutannya, Prof. Noorhaidi Hasan menekankan bahwa Yogyakarta bukan sekadar lokasi, melainkan simbol perjalanan panjang gerakan perempuan Indonesia.
Ia mengingatkan audiens pada fakta sejarah yang sering luput di arus utama: 22 Desember 1928, kota ini pernah menjadi tuan rumah Kongres Perempuan Indonesia pertama yang mempertemukan sekitar 30 organisasi perempuan dari seluruh penjuru Nusantara.
“Di tahun 1928 saja, perempuan Indonesia sudah menunjukkan prestasi luar biasa. Mereka membincangkan isu-isu strategis, memperjuangkan kesetaraan di hadapan hukum, memperluas akses pendidikan bagi perempuan, serta menolak kawin paksa dan pernikahan anak. Mereka juga mengambil peran penting dalam perjuangan menuju kemerdekaan,” ujarnya.
Prof. Noorhaidi menyebut keberlanjutan perjuangan itu kini tampak dalam berbagai organisasi perempuan, termasuk gerakan keulamaan perempuan di lingkungan Islam.
Dalam konteks mayoritas penduduk muslim, pembacaan ulang teks agama menjadi sangat menentukan dalam upaya meruntuhkan bias interpretasi yang selama ini menguatkan struktur patriarki.
“Para ulama perempuan bersama aktivis dan dosen telah bekerja panjang menafsirkan ulang ayat dan hadis yang sering dijadikan legitimasi budaya patriarkal. Dengan adanya KUPI, kita patut bersyukur, karena Indonesia termasuk negara yang terdepan dalam memperjuangkan keadilan gender di masyarakat Islam,” tambahnya.
Data Partisipasi Perempuan
Dalam sesi pemaparannya, Prof. Noorhaidi tidak hanya berbicara soal historis dan doktrinal. Ia memaparkan beberapa data penting yang menjadi latar urgensi dialog publik kali ini.
Pertama, soal partisipasi perempuan dalam pembangunan. Angka global berada pada 48,7%, namun rata-rata negara Islam pada 2024 hanya mencapai 24,4%.
Dalam pemaparannya, ia juga menyampaikan perbandingan tingkat partisipasi perempuan dalam pembangunan di sejumlah negara mayoritas muslim.
Di Mesir, angka partisipasi tercatat sebesar 15 persen, sementara Tunisia berada pada kisaran 25 persen. Saudi Arabia menunjukkan angka yang lebih tinggi, yakni 35 persen, dan Qatar menjadi yang paling menonjol dengan partisipasi mencapai 51 persen.
Angka-angka ini, menurutnya, menunjukkan variasi yang dipengaruhi oleh kondisi ekonomi dan kebijakan masing-masing negara.
“Semakin maju ekonomi suatu negara, semakin tinggi partisipasi perempuan,” ujarnya.
Namun Indonesia, kata dia, menjadi anomali positif. Partisipasi perempuan dalam pembangunan justru mencapai 53%, lebih tinggi dari rata-rata global maupun rata-rata negara maju di dunia Islam.
“Barangkali ini merupakan buah kerja keras aktivis perempuan, organisasi perempuan, dan gerakan yang terus menyuarakan kesetaraan gender, sehingga perempuan terlibat di berbagai lapangan kehidupan,” ujarnya.
Dalam politik, Indonesia juga mencatat angka partisipasi perempuan 21%, melampaui banyak negara mayoritas muslim lainnya.
Pendidikan Tinggi dan Pernikahan Anak
Dua fakta lain yang ia soroti adalah pendidikan tinggi dan pernikahan usia anak. Di beberapa negara Islam konservatif, partisipasi perempuan dalam pendidikan tinggi justru meningkat pesat. Di Saudi Arabia, mahasiswa perempuan bahkan lebih banyak dibanding laki-laki.
“Ini menunjukkan bahwa anggapan negara konservatif tidak memberikan ruang pendidikan bagi perempuan tidak selalu benar,” katanya.
Data serupa terlihat di Yordania, Tunisia, Malaysia, Bangladesh, dan Indonesia. Masing-masing menunjukkan proporsi pendidikan tinggi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan.
Terkait isu pernikahan anak, ia menjelaskan bahwa rata-rata global menunjukkan 1 dari 5 perempuan, atau sekitar 20 persen, menikah pada usia anak. Namun, data dari sejumlah negara mayoritas muslim menunjukkan variasi yang tidak selalu lebih tinggi dari rata-rata dunia.
Irak mencatat angka 30 persen dan Iran sebesar 28 persen, sementara Yaman berada pada tingkat 17 persen. Di Mesir, persentase pernikahan anak mencapai 16 persen, dan Maroko sebesar 15 persen.
Adapun Indonesia mencatat angka lebih rendah, yakni 10,35 persen, menunjukkan perbedaan signifikan dibandingkan rata-rata global.
“Fakta-fakta ini menjelaskan bahwa persoalan gender tidak bisa kita lihat hanya dari doktrin atau teks. Faktor ekonomi, sosial, dan budaya juga mempengaruhi,” tukasnya. []





































