Mubadalah.id – Pernikahan kerap kita bayangkan sebagai ruang paling aman bagi perempuan. Tempat pulang, tempat bertumbuh, tempat kesetiaan terpelihara. Namun sejarah, dan kenyataan hari ini, berkali-kali menunjukkan bahwa relasi paling privat justru bisa menjadi ruang paling rawan ketika kuasa bekerja tanpa pagar.
Salah satu bentuk kerawanannya adalah kehadiran orang ketiga, yang hampir selalu meninggalkan luka paling dalam di tubuh, psikis dan martabat perempuan.
Setiap kali isu perselingkuhan mencuat, yang segera terseret ke ruang publik adalah perempuan. Gundik, ani-ani, simpanan, pelakor dan segala jenis sebutan dengan seluruh beban stigma sosial yang melekat. Sanksi sosial bekerja cepat dan brutal.
Padahal relasi semacam itu tidak pernah lahir di ruang hampa. Ia hanya mungkin terjadi ketika ada pihak yang memiliki kuasa lebih besar untuk membuka pintu, menyembunyikan relasi dan mengatur narasi. Dalam struktur sosial kita, kuasa itu hampir selalu berada di tangan laki-laki.
Narasi yang sering terpakai untuk menutup ketimpangan ini adalah narasi “pilihan bebas”. Perempuan ketiga dianggap masuk secara sadar, tahu risiko, dan karenanya layak menanggung akibat. Namun argumen ini gagal membaca relasi kuasa secara utuh.
Pilihan yang dibuat di bawah ketimpangan ekonomi, emosional, dan sosial bukanlah pilihan yang sepenuhnya bebas. Di sinilah kekerasan simbolik bekerja: relasi timpang dinormalisasi, sementara luka yang ditimbulkan dianggap konsekuensi wajar.
Karena itu, persoalannya bukan semata moral personal, melainkan perlindungan struktural. Pertanyaan kuncinya sederhana. Adakah instrumen hukum yang mampu membatasi kuasa tersebut dan memberi rasa aman bagi perempuan, khususnya istri sah? Di sinilah asas monogami menemukan relevansinya. Bukan sebagai ideal romantik, melainkan sebagai mekanisme keadilan.
Asas Monogami sebagai Proyek Politik Perlindungan Perempuan
Undang-undang Perkawinan 1974 sering terbaca sebagai produk administratif belaka. Padahal ia lahir dari situasi sosial yang genting. Sebelum undang-undang ini berlaku, praktik poligami berlaku secara longgar dan nyaris tanpa kontrol negara. Dampaknya sistemik: istri ditinggalkan tanpa perlindungan hukum, anak kehilangan kejelasan status, dan perempuan berada dalam posisi tawar yang sangat lemah.
Proses kelahiran UU ini sendiri bukan tanpa konflik. Sejak 1960-an, perdebatan tentang hukum perkawinan berlarut-larut di antara kelompok agama, aktivis perempuan, dan pemerintah. Titik krusialnya justru terjadi ketika isu ini masuk ke jantung kekuasaan. Peran Ibu Tien Soeharto tidak dapat terlepaskan dari konteks ini. Bukan sekadar sebagai “istri presiden”, melainkan sebagai aktor yang mampu menghubungkan aspirasi organisasi perempuan dengan keputusan negara.
Bagi Bu Tien dan jejaring perempuan pada masa itu, hukum keluarga bukan urusan domestik semata. Ia adalah fondasi stabilitas sosial. Dorongan agar perkawinan tercatat dan berasaskan monogami merupakan upaya sadar untuk menempatkan perempuan sebagai subjek hukum, bukan sekadar pelengkap relasi. Negara, dalam hal ini, diminta hadir bukan untuk mengatur cinta, tetapi untuk membatasi penyalahgunaan kuasa dalam relasi intim.
Dari Gundik Kolonial ke Gundik Modern
Fenomena gundik bukan hal baru. Dalam sejarah kolonial, gundik lahir dari ketimpangan ekstrem. Perempuan pribumi berada di bawah kuasa ekonomi, hukum, dan sosial laki-laki Eropa. Sebagian masuk karena keterpaksaan, sebagian lain karena strategi bertahan hidup. Namun apa pun motifnya, posisi mereka tetap rapuh. Tidak terakui, mudah tersingkirkan, dan selalu menanggung stigma.
Yang berubah di era modern bukan strukturnya, melainkan panggungnya. Relasi semacam ini kini tampil lebih terbuka, bahkan kadang terpamerkan sebagai simbol keberhasilan ekonomi dan gaya hidup. Namun perubahan visual ini tidak otomatis menghapus ketimpangan dasarnya. Beban moral tetap jatuh ke perempuan, sementara ruang toleransi sosial terhadap laki-laki nyaris tak terganggu.
Pendekatan mubadalah membantu kita melihat bahwa masalahnya bukan pada “perempuan ketiga” semata, melainkan pada sistem relasi yang membiarkan satu pihak memiliki ruang moral yang elastis. Sementara pihak lain menanggung seluruh konsekuensinya. Tanpa pagar hukum, ketimpangan ini akan terus direproduksi, dengan nama dan wajah yang berbeda.
Monogami: Bukan Moral Privat, tapi Pagar Struktural
Di sinilah asas monogami bekerja secara nyata. Kewajiban pencatatan perkawinan, syarat ketat poligami, persetujuan istri, dan izin pengadilan bukan sekadar formalitas hukum. Ia adalah mekanisme pembatas kuasa. Ia memperkuat posisi istri sah, sekaligus mencegah perempuan lain terseret ke dalam relasi yang merugikan diri sendiri.
Kritik terhadap UU Perkawinan 1974 tentu sah, terutama pada pasal-pasal yang masih bias gender. Namun menafikan peran asas monogami sama artinya dengan membiarkan relasi timpang berjalan tanpa pagar. Poligami bersyarat (walau dengan segala problematikanya) setidaknya menggeser praktik liar ke ruang yang lebih terkendali dan dapat terawasi.
Karena itu, warisan perjuangan ini tidak berhenti sebagai catatan sejarah. Ia terus bekerja sebagai pagar hukum yang, meski belum sempurna, tetap menjadi salah satu instrumen paling penting dalam menjaga keadilan bagi perempuan. Sejalan dengan pandangan sebagian ulama, poligami bukanlah jalan tol, melainkan jalan sempit yang hanya dapat dilewati dengan standar keadilan yang nyaris mustahil.
Dan justru di situlah poinnya. Asas monogami bukan ancaman bagi agama, melainkan pengingat bahwa keadilan bukan urusan niat baik semata, melainkan soal struktur yang mengikat semua pihak.
Penutup
Pada akhirnya, asas monogami bukan sekadar soal aturan atau moralitas privat, melainkan upaya kolektif untuk menjaga relasi agar tidak tumbuh dari ketimpangan yang berulang. Dalam semangat mubadalah, ia mengingatkan bahwa hubungan intim semestinya terbangun dengan saling menjaga dan saling bertanggung jawab. Bukan dengan menukar kebahagiaan satu pihak dengan luka pihak lain. Sebab relasi yang adil bukan yang paling banyak menuntut pengorbanan, melainkan yang paling serius mencegah luka.
Barangkali karena itu, kisah relasi timpang selalu berakhir dengan pola yang sama: indah di awal, luka di ujung. Seperti pengakuan lirih dalam lagu Anang, “Separuh jiwaku pergi, memang indah semua, tapi berakhir luka.” Luka itu bukan lahir dari cinta yang kurang, melainkan dari relasi yang dibiarkan berjalan tanpa pagar keadilan. []



















































