Mubadalah.id – Beberapa bulan yang lalu, saya bertemu seseorang penyandang disabilitas di Pengadilan Agama Sukoharjo. Penyandang disabilitas tersebut bernama Dodo (nama samaran). Ia sedang memproses perkara perceraian. Dodo menceritakan dinamika rumah tangganya dan akhirnya tak kuasa menahan masalah rumah tangga.
Istrinya meninggalkannya setelah melahirkan anak mereka. Dodo yang sehari-hari bekerja sebagai pembuang sampah bercerita tentang kehidupan dan pola pengasuhan anaknya. Istrinya tidak pernah kembali untuk memberikan kasih sayang kepada anaknya yang sedang tumbuh.
Dengan berat hati, ia melangkah serta memutuskan ingin mengakhiri pernikahan yang sudah tidak lagi harmonis. Dodo salah satu penyandang disabilitas yang termasuk kategori masyarakat tidak mampu (miskin). Faktanya, saat ke pengadilan ia sudah membawa surat keterangan tidak mampu (SKTM) dari kepala desa. Ia sebenarnya berharap memperoleh biaya gratis dari Pengadilan Agama saat memproses perceraiannya.
Akan tetapi harapannya pupus seketika. Sejak pemerintah menerbitkan Intruksi Presiden No. 1 Tahun 2025 Tentang Efisiensi Belanja dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. Dampaknya kian terasa terhadap kebijakan internal Pengadilan Agama, yaitu membatasi kuota Prodeo (gratis bagi masyarakat miskin).
Diskresi Peraturan
Pembatasan kuota prodeo bagi masyarakat miskin tersebut pada akhirnya terpengaruhi atas tindakan Presiden Prabowo yang serampangan dan inkonsistensi dalam mengelola kebijakan. Pada saat yang sama, sebenarnya Inpres No. 1 Tahun 2025 tersebut bertentangan dengan Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2014 Tentang Pedoman Pemberian Layanan Hukum Bagi Masyarakat Tidak Mampu di Pengadilan.
Kita dapat mencermati diskresi peraturan yang inkonstitusional itu. Pasal 3 Perma No. 1 Tahun 2014 menjelaskan “Tujuan Layanan Hukum bagi masyarakat tidak mampu di Pengadilan adalah untuk meringankan beban biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi di pengadilan. Meningkatkan akses terhadap keadilan bagi masyarakat tidak mampu menjangkau gedung akibat keterbatasan biaya, fisik atau geografis.”
Perma No. 1 Tahun 2014 sebenarnya memberikan ruang dan harapan dalam mencari keadilan bagi masyarakat tidak mampu. Terutama seperti kasus yang Dodo alami sebagai seseorang penyandang disabilitas. Namun pembatasan layanan gratis ini secara langsung tersingkir oleh kebijakan negara atas dalih efisiensi yang justru tidak berpihak terhadap rakyat. Negara seolah tidak memberikan ruang aman dalam penegakan prinsip supremasi hukum, salah satunya adalah perlindungan hak warga (Law as Protection of Rights).
Hukum Harus Melindungi
Camilla Lundberg dan Eva Simonsen pernah menulis Disability in Court: Intersectionality and Rule of Law (2015) yang termuat dalam jurnal Scandinavian Journal of Disability Research. Camilla Lundberg dan Eva Simonsen mengungkapkan bahwa supremasi hukum semestinya mewakili kerangka kerja mendasar berupa aturan dan hak, di mana tidak ada warga negara, termasuk pemerintah yang berada di atas hukum.
Hukum harus melindungi hak-hak fundamental, keadilan yang dapat diakses oleh semua orang. Sebab perlindungan hukum harus menyiratkan, bahwa rakyat perlu dilindungi dari pelanggaran atau tindakan kesewenang-wenangan oleh pemerintah atau otoritas lain.
Penjelasan dalam penelitian Camilla Lundberg dan Eva Simonsen secara langsung ingin menunjukan bahwa dalam aspek hukum yang dihadapi penyandang disabilitas masih mengalami diskriminasi sosial. Tidak hanya pada masalah aksesibilitas, dalam hal regulasi juga masih menunjukan diskresi dan ketimpangan antar peraturan.
Di Indonesia, memang terlalu banyak regulasi tentang penyandang disabilitas, namun minim sekali implementasi oleh pemangku kebijakan. Kondisi demikian yang kini terlihat dan semakin parah saat rezim Presiden Prabowo memimpin dengan merombak paramater arah kebijakan strategis nasional.
Kebijakan Oligarki
Pada praktiknya di lapangan, kebijakan Presiden Prabowo menerbitkan Perpres tentang efisiensi justru menjadi bencana bagi kaum miskin. Seperti yang teralami Dodo yang tak dapat mengakses biaya gratis bagi masyarakat miskin.
Kebijakan pemangkasan anggaran pada berbagai sektor di kementerian sebenarnya hanya menguntungkan kelompok oligarki yang berada di lingkaran Prabowo. Mereka mengumpulkan dana untuk keperluan program kerja yang tidak jelas bagi keberlangsungan kehidupan dan kesejahteraan rakyat secara ekonomi, politik, sosial, dan hukum.
Seperti kebijakan efisiensi pada lembaga Kementerian Hukum, juga mengalami dampak pemangkasan yang signifikan. Kementerian hukum selalu bekerjasama dengan berbagai Organisasi Bantuan Hukum (OBH) swasta untuk memberikan layanan bantuan hukum baik secara litigasi maupun non-litigasi secara gratis.
Realisasinya, 50 persen anggaran pendananan untuk OBH dalam menangani perkara dalam satu tahun ini mengalami pemangkasan lebih dari 50 persen. Pada tahun ini saja, anggaran untuk OBH hanya memperoleh 14 persen saja dari nilai tahun sebelumnya. Kebijakan efisiensi tersebut jelas-jelas menimbulkan ketidakmerataan layanan bantuan hukum bagi masyarakat miskin di Indonesia.
Kemunduran Kebijakan
Pada tahun pertama kepemimpinan Presiden Prabowo, kita justru merasakan kemunduran kebijakan, terutama pada sektor pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan hukum. Dalam sektor hukum misalnya, kita seolah melupakan gagasan yang tersampaikan T. Mulya Lubis dalam buku Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural (1986). Perkembangan bantuan hukum di Indonesia pada tahun 1970-an menjadi arah perkembangan baru dalam mengutamakan rakyat agar memahami hukum dan memberikan kesejahteraan sosial bagi rakyat miskin.
Di satu sisi, gerakan bantuan hukum membuka ruang selain masyarakat supaya tidak buta hukum, juga mengharuskan mengedukasi pentingnya menjaga hubungan dengan nilai-nilai moral yang berimplikasi nilai kemuliaan (nobility) dan kesatriaan (chivalry).
Perkembangan bantuan hukum di Indonesia pada 1980-an, mengalami fase peningkatan bahwa bantuan hukum tidak sekadar memberikan pelayanan semata, melainkan bagaimana bantuan hukum juga harus mengentaskan kemiskinan secara struktural yang teralami oleh masyarakat Indonesia.
T. Mulya Lubis menjelaskan “bantuan hukum untuk bisa efektif haruslah menjadi suatu gerakan sosial yang bertujuan tidak saja pada konsientisasi sosial, politik, ekonomi dan budaya, tetapi justru harus menciptakan power resources untuk menghadapi Pusat yang menindas. Penciptaan power resources di pinggiran adalah tujuan dari bantuan hukum struktural.”
Menyoal Bantuan Hukum
Gerakan sosial yang berimplikasi pada edukasi dan pelatihan pelayanan bantuan hukum sebagai gagasan T. Mulya Lubis patut tersebar sebagai gagasan antitesis atas program kerja Presiden Prabowo. Kita juga patut merenungkan pentingnya bantuan hukum untuk rakyat miskin. Seperti ide Adnan Buyung Nasution dalam buku Bantuan Hukum di Indonesia (1981).
Adnan menjelaskan bantuan hukum sama halnya tuntutan dari rasa peri-kemanusian yang meliputi: membangun suatu sistem hukum nasional, pelaksanaan yang lebih efektif daripada peraturan-peraturan kesejahteraan sosial untuk si miskin, menumbuhkan rasa tanggungjawab yang lebih besar dari pejabat-pejabat pemerintah atau birokrasi kepada masyarakat, menumbuhkan partisipasi masyarakat yang lebih luas dalam proses pemerintah, dan untuk memperkuat profesi hukum.
Kesadaran itulah yang semestinya pemerintah kerjakan, bukan malah memangkas berbagai anggaran untuk masyarakat miskin. Sebab jika kita tarik dari kasus Dodo, efisiensi justru menyengsarakan penyandang disabilitas yang berhadapan dengan hukum. Jika kebijakan efisiensi ini masih bertahan, kita sebenarnya sedang menyaksikan tubuh-tubuh rakyat yang mulai rapuh setelah mendengar penjelasan berkali-kali tentang delusi negara kuat. []


















































