Mubadalah.id – Seminggu yang lalu saya membaca sebuah berita yang di unggah sekitar tahun 2018 lalu oleh DetikNews. Berita tersebut menceritakan seorang laki-laki yang bernama Eko Saputra ditangkap oleh polisi setelah menikam seorang perempuan yang berinisial NR. Pelaku tega menikam korban dikarenakan korban, atau pacarnya menolak untuk berhubungan intim. Ini perbuatan nyata dari kekerasan dalam pacaran. (KDP).
Pengalaman tersebut menggambarkan tubuh perempuan sebagai objek seks dan benar-benar dikontrol oleh laki-laki, ketika perempuan memilih untuk mengontrol tubuhnya sendiri dia akan dilukai dan diancam seolah-olah tubuhnya bukan miliknya.
Kejadian tersebut menambah daftar panjang fakta dari sekian ribu fakta yang ada mengenai kekerasan dalam pacaran (KDP), karena mengingat relasi pacaran yang selalu menjadi legitimasi seseorang mempunyai hak atas tubuh pasangannya. Ketika tubuh perempuan dikontrol dan dibatasi mereka menganggap sebuah hal kewajaran.
Tercatat dalam catatan Tahunan Komisi Nasional Perempuan (Komnas Perempuan) 2017, disebutkan bahwa 19% kekerasan di ranah rumah tangga atau relasi personal adalah kekerasan dalam pacaran, yang menempati peringkat ketiga dengan jumlah 1.873 kasus.
Angka tertinggi kategori pelaku kekerasan seksual dalam ranah relasi personal merupakan kekerasan dalam pacaran dengan jumlah pelapor sebesar 1.528 kasus. Jumlah kasus yang nyata tercermin dalam fakta nyata yang terjadi di lingkup masyarakat. Sehingga Kasus dan data yang ada tersebut membuktikan bahwa kekerasan dalam pacaran adalah permasalahan yang besar dan serius yang harus segera kita selesaikan.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) dating violence adalah sebuah relasi kuasa dimana seseorang mempunyai kuasa atas tubuh pasangannya, sehingga bisa berperilaku kasar, agresif dan membatasi pasangannya. Kekerasan dalam pacaran (KDP) erat kaitannya dengan gender, meskipun laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi korban dan pelaku, namun faktanya perempuan lebih rentan menjadi korban, karena kita hidup dalam masyarakat yang masih melekat dengan budaya patriarki.
Budaya patriarki merupakan budaya dengan purbasangka bahwa laki-laki lebih utama (androsentrik) dari perempuan dalam segala aspek, baik itu sosial, politik ataupun ekonomi. Tentunya corak budaya patriarki itu melemahkan perempuan, sehingga perempuan diperdaya oleh laki-laki. Perempuan kehilangan kemanusiaannya, Karena hak-haknya sebagai manusia dicedrai, salah satunya hak melindungi dirinya, hak untuk menentukan nasib sendiri, dan hak-hak lainnya.
Sesuatu dikategorikan kekerasan apabila ada unsur pemaksaan yang menyebabkan salah satu pihak merasa dirugikan. Contohnya seperti perempuan atau laki-laki yang harus kehilangan banyak pengalamannya karena dibatasi geraknya oleh pasangannya atau bahkan perempuan atau laki-laki yang dilarang chattingan oleh pacarnya dengan lawan jenisnya dengan alasan kecemburuan.
Untuk menghindari kekerasan dalam pacaran ini kita harus menerapkan konsep relasi sehat dengan menjadikan kedua belah pihak sebagai subjek yang setara dalam relasi dan penguasa atas tubuhnya masing-masing. Kesetaraan dalam relasi lelaki dan perempuan bisa dicapai dengan cara menerapkan konsep kesalingan.
Konsep kesalingan tersebut meliputi : saling mendukung, saling membantu, saling mengerti dan saling menghormati agar terhindar dari relasi kuasa. Jangan biarkan waktu muda kita dihabiskan oleh kekangan yang menghambat perkembangan diri pribadi.
Seringkali kekerasan dalam pacaran (KDP) dianggap hanya sebatas kekerasan yang berbentuk kontak fisik, padahal cakupannya luas dan banyak jenisnya. Untuk itu mari kita fahami mengenai jenis-jenis kekerasan dalam pacaran :
Pertama, Kekerasan fisik, Kekerasan fisik merupakan pemaksaan yang dilakukan oleh pasangan dengan menggunakan kontak fisik, misalnya seperti: memukul, melempar barang kepada pasangan, mendorong, menggigit, menggunakan senjata untuk menyerang pasangan, dan lain-lain. Kekerasan jenis ini mayoritas kebanyakan korbannya adalah perempuan, dikarenakan stereotype perempuan itu lemah, tidak berdaya sehingga posisinya dibawah kuasa laki-laki dalam pacaran.
Kedua, Kekerasan emosional, Kekerasan emosional adalah pemaksaan secara verbal yang berhubungan dengan psikis. Contohnya seperti: mengabaikan perasaan pasangan, menghina prinsip pasangan, mengisolasi pasangan dari lingkungan (membatasi), melarang pasangan untuk bepergian, mengancam dan lain-lain. Kekerasan jenis ini yang seringkali tidak dikenali oleh mayarakat, karena menganggap ini sebuah hal kewajaran dalam relasi pacaran.
Ketiga, kekerasan seksual, kekerasan seksual adalah pemaksaan kepada pasangan yang berhubungan dengan seksual. Misalnya seperti: memaksa mencium atau memeluk pasangan (dan sejenisnya), dan memaksa pasangan untuk berhubungan seksual.
Keempat, Kekerasan ekonomi, seperti: melarang pasangan untuk bekerja, dalam hal ini yang sering menjadi korban adalah perempuan karena banyak yang beranggapan bahwa bekerja identik dengan laki-laki. Contoh kekerasan lainnya yaitu memanfaatkan uang pasangan, dalam hal ini yang sering menjadi korban adalah laki-laki karena banyak anggapan masyarakat bahwa laki-laki mempunyai tanggung jawab atas ekonomi pasangannya.
Seharunya relasi pacaran tidak menjadikan seseorang kehilangan kontrol atas tubuhnya dan kebebasan atas hidupnya, karena relasi pacaran hanya sebatas komitmen perasaan tidak lebih. Kekerasan dalam pacaran merupakan isu yang sangat penting untuk diselesaikan segera, karena menyangkut masa depan seseorang.
Sangat banyak perempuan atau laki-laki menghentikan prosese, hobby, karir dan cita-citanya karena dibatasi oleh pacarnya. Saya tekankan laki-laki dan perempuan sama-sama berpotensi menjadi korban atau pelaku kekerasan dalam pacaran (KDP) tergantung siapa yang dilemahkan dan diperdaya.
KDP ini adalah masalah sosial, maka semua elemen harus bekerjasama untuk menyelesaikan. Jangan sampai kita biarkan banyak anak muda yang terjebak dalam hubungan toxic yang bisa menghambat perkembangannya. Jadi menurut saya perkembangan remaja dimulai dari menghindari dia dari relasi yang toxic salah satunya relasi pacaran. Bukan hanya tubuh yang harus sehat, relasi pacaranpun harus sehat [].