Mubadalah.id – Di awal tahun, kita semua dibuat shock dengan pemberitaan seorang santri yang membakar juniornya sendiri karena korban dituduh telah mencuri uang. Peristiwa tersebut terjadi di salah satu pesantren di Jawa Timur. Sebagai orang tua yang memiliki anak sedang menempuh pendidikan di pondok pesantren tentu ada perasaan cemas juga, bagaimana rasanya ketika anakmu mengalami perundungan?
Melalui tulisan ini, saya ingin berbagi pengalaman bagaimana ketika anak kami, yang kini berusia 13 tahun menjadi korban perundungan dari teman satu kelasnya. Bagaimana dia mampu menyelesaikan masalah, dengan pelibatan orang dewasa tanpa harus saling menyakiti. Peran guru dan orang tua tentu sangat penting sekali di sini.
Kronologinya, sekitar dua bulan yang lalu saya menerima telpon. Di ujung telpon terdengar suara anak kami yang terisak dengan nada sedih dan panik. “Mamah, kakak ingin cerita. Kapan sambangan ke pondok?” Saya paham mengapa dia tak ingin langsung bercerita di telpon, karena ia menggunakan fasilitas telpon umum di pesantren yang dibuka oleh pengurus setiap satu minggu sekali.
Mendengarkan Cerita Anak
Saya dan suami terbiasa merespon persoalan apapun dalam kehidupan kami dengan cepat. Agar masalah bisa segera teratasi, dan tidak melebar ke mana-mana. Usai mendengar pertanyaan anak kami di ujung telpon itu, langsung saya menjawab, besok akan datang mengunjunginya di jam sekolah.
Singkat cerita, kami bertemu dan mendengarkan ceritanya. Tanpa tahu apa kesalahannya, tiba-tiba teman satu bangkunya pindah ke kursi bagian belakang. Saya sebut saja namanya Siti. Karena merasa tak nyaman duduk di belakang, Siti memaksa kakak bertukar tempat duduk. Dia yang di depan, dan kakak di belakang.
Karena merasa tak punya salah, dan kakak juga mempertahankan haknya atas posisi tempat duduk di depan, tentu saja kakak menolak bertukar tempat. Siti marah, melempar dan membuang tas kakak, menendang kursi serta meja hingga bergelimpangan. Kakak saat itu katanya hanya diam. Tidak marah ataupun menangis. Tapi dia pergi melaporkannya pada wali kelas.
Pelibatan Orang Dewasa
Menurut saya, langkah yang kakak ambil sebagai korban perundungan sudah tepat. Tidak merespon dengan emosi, tetapi mencoba mencari jalan keluar dengan langsung melibatkan orang dewasa. Meski kata kakak, ia merasa sedih karena kehilangan sahabat yang sejak awal pembagian kelas di sekolah sudah dekat. Lalu aku mendorong kakak untuk meminta maaf, dan tetap berbuat baik dengan Siti. Mungkin, saya bilang sama kakak, Siti sedang ada masalah di keluarganya dan dia melampiaskannya di sekolah.
Selain pelibatan wali kelas, kasus di atas juga langsung ditangani pihak BK di sekolahnya. Jalan keluar yang wali kelas ambil, posisi duduk di kelas diputar kembali. Kakak dan Siti tetap menempati posisi duduk di depan, tapi tidak lagi menjadi teman satu bangku, dan ada jarak di antara tempat duduk mereka.
Menilik pengalaman anak kami di atas, tentu tidak bisa kita samakan dengan maraknya kasus perundungan di sekolah ataupun pondok pesantren. Karena setiap orang dan tempat punya persoalan yang berbeda. Tetapi dari sini kita bisa belajar tentang tiga hal, yang bisa kita terapkan ketika menemui masalah yang sama.
Bekali Anak dengan Soft Skill
Pertama, peran guru dan orang tua menjadi kunci dalam penyelesaian masalah. Meski demikian, ketika di sekolah biarkan guru yang punya otoritas untuk menyelesaikan. Tugas orang tua hanya memantau dari jauh perkembangan kasus itu, dan terus memberi kepercayaan pada anak, jika dia mampu untuk menghadapinya.
Kedua, dalam hal komunikasi kita harus membiasakan anak bercerita. Jika ia tak banyak bercerita, kita yang harus aktif bertanya bagaimana perasaanya ketika tinggal jauh dari orang tua dan keluarga? Bagaimana punya teman baru? Dan bagaimana ia menghadapi kehidupan yang baru? Apakah ia suka atau tidak? Sambil terus kita menguatkan hatinya, jika memilih menempuh pendidikan di pesantren adalah keputusan bersama untuk kebaikan masa depan anak.
Ketiga, hal yang paling penting lainnya menurut saya adalah keberanian, strategi komunikasi, dan tahu bagaimana caranya menyelesaikan masalah. Soft Skill ini bisa kita latih dengan pengalaman berorganisasi. Tak heran, anak kami menyukai organisasi. Dia aktif di Pramuka dan Paskibra di sekolah sebelumnya, dan berapa kali ditunjuk menjadi ketua kelas ketika masih di bangku Madrasah Ibtidaiyah.
Anak kami perempuan, dan saya bangga dia telah menunjukkan keberanian melawan perundungan oleh teman sebayanya. Kini, kami merasa lebih tenang. Meski ancaman perundungan dan kekerasan selalu mengintai, tetapi dengan pondasi baik yang kita berikan pada anak-anak sejak usia dini, kami yakin ia akan baik-baik saja melangkah meniti jalan masa depannya sendiri. []