Mubadalah.id – Dalam sebagian pandangan keagamaan, kerapkali menganggap bahwa perempuan itu makhluk yang kurangan akal, sehingga kesaksian mereka dalam agama menjadi separuh dari laki-laki, maka hal tersebut menurut perspektif mubadalah tidak mutlak. Karena hal tersebut bisa dijelaskan secara simbolik, kontekstual, dan parsial.
Isu kesaksian perempuan dalam ibadah ritual, perdata perdagangan, pidana, politik, persusuan, keluarga, kepemilikan, ada perdebatan di antara ulama fikih, yang tidak melulu merujuk pada pernyataan “kesaksian dua banding satu”.
Sebagaimana dijelaskan dalam Ilmu Hadis, kesaksian satu perempuan dalam hal mendengar dan meriwayatkan Hadis, diterima sama persis dengan satu laki-laki.
Banyak pernyataan ulama yang menegaskan bahwa hampir tidak ditemukan perempuan yang dituduh bohong atau salah meriwayatkan Hadis, Sementara banyak sekali laki-laki yang ditolak periwayatannya karena kebohongan dan kekurangan akal mereka dalam menghafal teks Hadis.
Pandangan Imam al-Dzahabi
Imam al-Dzahabi, Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Abdullah, (w. 748 H/1348 M), ahli Hadis yang cukup populer, penulis kitab Mizan al-I’tidal fi Naqd al-Rijal tentang para perawi Hadis, menulis biografi lebih dari 4000 perawi Hadis, terdiri atas laki-laki dan perempuan.
Dalam konteks perawi perempuan, ia menyatakan: “Aku tidak mengetahui dari para perawi perempuan yang dituduh (bohong, bid’ah, atau salah hafalan), dan tidak ada satu pun yang ditolak (periwayatannya).”
Pernyataan yang serupa, tentang penerimaan seluruh ulama terhadap periwayatan perempuan, tanpa terpengaruh oleh narasi “setengah akal”. Juga bisa kita temukan dalam Nail al-Authar karya Imam al-Syaukani (1759-1834 M). Dan kitab ‘Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud karya Muhammad al-Azhim Abadi (1857-1911 M).
Abu Syuqqah menegaskan bahwa naqisat din bukan berarti secara esensi perempuan adalah kurang agama.
Ini hanya pernyataan simbolik saja dari kurangnya aktivitas perempuan terkait shalat dan puasa, yang perempuan tinggalkan pada saat menstruasi. Seperti Nabi Saw jelaskan, meninggalkan shalat dan puasa saat menstruasi juga telah Islam perintahkan.
Adalah aneh, seseorang yang Islam perintahkan untuk meninggalkan shalat dan puasa saat menstruasi. Pada saat yang sama kurang agama, karena melaksanakan perintah Tuhan.
Jika persoalannya pada pahala dari aktivitas ibadah, seperti Abu Syuqqah jelaskan. Maka perempuan bisa melakukan banyak aktivitas lain untuk mengumpulkan pahala pada saat menstruasi.
Baik aktivitas ibadah ritual, seperti berzikir dan membaca doa, maupun ibadah sosial, seperti menolong orang, melayani keluarga, dan menulis. Kemudian mengembangkan ilmu pengetahuan, memberdayakan masyarakat, dan banyak yang lain. []