Mubadalah.id – Di banyak keluarga hari ini, kamera ponsel seperti bagian alami dari kehidupan. Ketika anak mulai berjalan, tertawa keras, salah menyebut kata, atau menunjukkan tingkah lucu, refleks pertama kita bukan lagi menikmati momen itu sepenuhnya melainkan mengambil ponsel dan merekamnya.
Tanpa banyak jeda, rekaman itu berpindah ke ruang publik digital dan menjadi bagian dari cerita yang tidak hanya dilihat keluarga, tetapi juga orang asing yang mungkin tidak kita kenal.
Bagi banyak orang tua, berbagi momen anak terasa wajar. Itu kita anggap bentuk kebanggaan, cara merawat memori, atau bahkan simbol kehadiran keluarga yang “utuh” di linimasa. Apalagi algoritma media sosial memang terancang untuk memberi apresiasi. Likes, komentar lucu, dan respon positif. Lama-kelamaan, kita tanpa sadar menjadikan anak bukan hanya subjek cinta melainkan konten.
Namun dunia digital hari ini jauh lebih kompleks dibanding 10 tahun lalu. Foto yang terlihat tidak berbahaya kini bisa menjadi data biometrik. Rekaman suara anak bisa digunakan teknologi voice cloning. Informasi kecil seperti lokasi sekolah atau kebiasaan harian bisa menjadi potongan puzzle yang berbahaya jika jatuh ke tangan orang yang salah. Karena itu, mungkin sudah waktunya kita berhenti sejenak sebelum mengunggah privasi anak.
Fenomena Global: Dari Kampanye hingga Aturan Negara
Beberapa negara kini mulai mengambil langkah serius terkait isu ini.
Di Irlandia, lembaga perlindungan data meluncurkan kampanye publik bertajuk Pause Before You Post seruan sederhana agar orang tua memikirkan dampak jangka panjang sebelum mengunggah foto anak.
Di Prancis, isu ini sudah masuk ranah hukum. Aturan baru memungkinkan anak menuntut penghapusan foto masa kecil mereka, bahkan terhadap orang tuanya sendiri. Pesannya jelas: anak bukan objek dokumentasi tanpa batas hanya karena belum bisa berkata “aku tidak nyaman.”
Di Australia dan Inggris, lembaga keamanan digital memperingatkan bahwa sebagian besar foto yang beredar di situs eksploitasi anak berasal dari unggahan orang tua. Bukan kamera tersembunyi atau pelaku langsung. Temuan itu membuat pemerintah memperkuat kampanye literasi digital tentang keamanan visual anak.
Sementara di Amerika Serikat, aturan COPPA diperbarui agar platform digital tidak hanya mengatur keamanan anak pada aplikasi, tetapi juga meninjau ulang bagaimana data anak beredar di ruang digital.
Ini menunjukkan bahwa fenomena sharenting bukan sekadar tren parenting modern, tetapi persoalan serius yang sedang dipikirkan banyak negara.
Indonesia: Diskusi yang Masih Berjalan
Di Indonesia, pembahasan tentang privasi anak masih bergerak pada level imbauan moral. Lembaga seperti UNICEF Indonesia sudah mengingatkan orang tua untuk tidak sembarangan mengunggah foto anak. Terutama yang menampilkan lokasi, pakaian sekolah, atau tubuh anak yang minim perlindungan.
Namun secara budaya, kita masih memiliki kecenderungan menganggap anak sebagai representasi diri. Keberhasilan, kebanggaan, dan identitas keluarga. Kita jarang bertanya apakah anak nanti ingin foto masa kecilnya ada di internet? Apakah ia setuju menjadi bagian dari konten harian orang tuanya?
Pertanyaan-pertanyaan itu mulai muncul seiring anak-anak yang tumbuh dalam era digital kini beranjak remaja. Di beberapa negara, anak mengungkapkan rasa malu, frustrasi, bahkan marah ketika menemukan foto masa kecilnya tersebar luas tanpa kontrol.
Risiko yang Tidak Selalu Terlihat
Yang membuat isu ini penting bukan hanya soal komentar negatif atau cyberbullying. Risikonya lebih luas:
Pertama, identitas digital permanen: anak bisa memasuki sekolah atau dunia kerja dengan rekam jejak yang tidak pernah mereka pilih.
Kedua, teknologi manipulasi visual: wajah anak dapat digunakan untuk deepfake atau konten berbahaya.
Ketiga, kejahatan digital: informasi kecil seperti alamat atau rutinitas bisa dimanfaatkan orang tak bertanggung jawab.
Keempat, eksploitasi komersial: konten anak bisa menjadi bagian dari iklan terselubung atau monetisasi tanpa kontrol yang jelas.
Dengan teknologi yang bergerak sangat cepat, satu foto bisa menghasilkan kemungkinan yang tidak kita bayangkan hari ini.
Refleksi: Apakah Anak Sudah Kita Libatkan?
Pada akhirnya, diskusi ini bukan semata-mata melarang berbagi foto anak. Banyak orang tua ingin mendokumentasikan tumbuh kembang mereka, dan itu wajar. Namun perubahannya mungkin ada pada pertanyaan yang menyertai tindakan:
Apakah unggahan ini menjaga martabat anak?
Apakah ini sesuatu yang kelak ia rela tampil sebagai bagian dari dirinya?
Apakah saya membagikan ini karena anak membutuhkannya atau karena saya ingin diapresiasi?
Kadang, yang dibutuhkan bukan larangan, tetapi kesadaran: bahwa anak berhak atas privasi, identitas, dan ruang yang aman termasuk di internet.
Momen bersama anak memang berharga. Mereka tumbuh cepat, dan kita ingin menyimpan setiap detiknya. Namun menyimpan tidak selalu berarti mempublikasikan. Banyak kenangan justru lebih bermakna ketika tidak terbagikan ke ruang yang tak kita kenali batasnya.
Mungkin cinta di era digital punya bentuk baru: bukan memperlihatkan sebanyak-banyaknya, tetapi melindungi sedalam-dalamnya. Karena suatu saat, anak kita akan tumbuh, melihat jejak digitalnya, dan berharap bahwa orang tuanya sudah lebih dulu berpikir panjang.
Dan ketika hari itu datang, semoga jawaban kita sederhana: “Aku melindungimu even when you didn’t know you needed protection.” []










































