Lelaki dan perempuan diciptakan Tuhan setara, masyarakatlah yang membuat kesetaraan itu berbeda, budaya dalam masyarakat selalu menasbihkan seorang perempuan sebagai makhluk yang lemah. Dalam kodrat tertentu lelaki dan perempuan tidak dapat dipertukarkan namun dalam harkat dan martabat sebagai manusia lelaki dan perempuan bisa dipertukarkan.
Norma/ketentuan tentang “pantas” dan “tidak pantas” pun berkembang dalam masyarakat. Contohnya stigma laki-laki “pantas” menjadi pemimpin perempuan dan perempuan “pantas” dipimpin sering merugikan salah satu pihak. Dan pihak yang dirugikan kebetulan adalah perempuan.
Banyak mitos dalam masyarakat yang menjadi penyebab ketidakadilan gender. Perempuan dianggap selalu bertindak berdasarkan perasaan dan laki-laki lebih rasional.
Dalam rumah tangga Perempuan wajib melaksanakan tugas-tugas domestik. Perempuan diidentikkan dengan dapur, sumur dan kasur yang memiliki tugas memasak dan berkutat di dapur, mencuci dan melayani suami di kasur. Kebanyakan mitos yang berkembang di masyarakat lebih menguntungkan kaum laki-laki dan menggambarkan dominasi laki-laki.
Unger (1979:30) bahkan mengulas perbedaan emosional dan intelektual antara laki-laki dan perempuan dipengaruhi oleh perbedaan biologis dan komposisi kimia dalam tubuhnya menyebabkan laki-laki lebih agresif, lebih independen, lebih obyektif, lebih aktif, lebih kompetetitif, lebih tidak mudah goyah menghadapi krisis, lebih terampil berbisnis, lebih percaya diri, dan beberapa kelebihan laki-laki lainnya, walaupun tidak semua yang di tulis Unger ini benar. Sebab banyak juga perempuan lebih survive dibanding laki-laki.
Ibu Nur merupakan contoh perempuan yang bisa terus bertahan di tengah badai. Potret perempuan pekerja yang harus menjalani kehidupan berdasarkan tingkah laku dan norma umum yang berlaku di masyarakat. Dimana masyarakat menganggap perempuan adalah manusia kelas dua setelah laki-laki.
Mayoritas masyarakat menstigma urusan domestik merupakan kewajiban mutlak seorang perempuan walaupun dia juga berperan menjadi tulang punggung keluarga yang harus menafkahi keluarganya.
Ibu Nur adalah salah satu dari para wanita pencari nafkah yang menarik untuk diulas konsep pemahamannya terhadap pembagian peran (mubadalah) dalam rumah tangga untuk memetakan tugas dan tanggung jawab serta peran perempuan dan laki-laki dalam masyarakat.
Tanggung jawab domestik dan ikut dalam memenuhi nafkah keluarga dapat melahirkan ketidakadilan gender, subordinasi dan beban ganda pada satu pihak gender yang tentu saja perempuan.
Ketercukupan kehidupan sehari-hari mulai dari biaya hidup, makan dan biaya sekolah anak menjadi tanggung jawab Ibu Nur. sementara suaminya yang bekerja sebagai buruh mengharuskan gaji yang diberikannya harus “cukup” padahal nilainya sangat kecil. Kadang terlihat matanya sembab dikarenakan beban kehidupan yang dihadapinya, sementara sang suami terlihat santai-santai saja.
Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 pasal 31 ayat (3) menyebutkan bahwa suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Sementara di pasal 34 berbunyi (1) suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya dan ayat (2) istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Undang-undang ini pun tidak berpihak kepada perempuan, dimana bisa ditafsirkan bahwa tugas suami memberi nafkah sesuai kemampuannya namun istri harus mampu mengatur sekecil apapun penghasilan suami sebaik-baiknya.
Kehidupan Ibu Nur merupakan implementasi dari celah hukum undang-undang perkawinan ini. Ketika suami merasa telah memberikan penghasilan kepada istrinya maka pada saat itu tugasnya sebagai suami telah tertunaikan, sementara kebutuhan hidup semakin besar.
Hal ini menyebabkan Ibu Nur bekerja lebih keras untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya sehingga tugas suami menafkahi menjadi tugas Ibu Nur sebagai istri sekaligus untuk melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga.
Peran Kepala Keluarga pun menjadi peran Ibu Nur namun tugas domestik tetap juga dilakonkan olehnya. Tentu saja masih banyak Ibu Nur yang lain di negeri ini, yang perlu diperjuangkan hak-hak kesetaraannya.[]