Mubadalah.id – Pacaran di era sekarang sudah menjadi hal yang umum, terutama di kalangan anak muda. Khusus bagi perempuan, pacaran kerap kali dianggap sebagai ruang untuk mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orang lain.
Namun, sayangnya relasi ini tak jarang justru menjadi pintu masuk kekerasan yang berujung pada luka, trauma, bahkan kematian. Ironisnya, dalam banyak kasus Kekerasan dalam Pacaran (KDP), perempuan sering kali menjadi korban.
Misalnya kasus yang baru-baru ini ramai di media sosial, seorang perempuan asal Cianjur dibunuh oleh pacaranya, Muhammad Fauzan Saepurohman.
Melansir dari detik.com, korban sempat cekcok dengan pelaku karena ia dipaksa untuk menjadi Pekerja Seks Komersial (PSK). Perselisihan ini terjadi saat keduanya pulang dari kawasan puncak. Pelaku merasa sakit hati karena sempat ditoyor oleh korban saat bertengkar. Tak lama kemudian, ia membunuh korban dalam keadaan tanpa busana, lalu membuang jasadnya ke sungai.
Kasus lain datang dari Gorontalo. Seorang oknum polisi di Gorontalo Utara berinisial PY diduga menganiaya pacarnya, TP, hingga babak belur. Pemicunya sepele yaitu korban menolak meminjamkan handphone-nya.
Kekerasan seperti ini menunjukkan bahwa relasi pacaran tersebut tak selalu sehat, dan membahayakan perempuan. Sebab dalam relasi seperti itu, sering kali pihak laki-laki mendominasi perempuan. Sehingga ia merasa berhak untuk memperlakukan pasangannya sesuai keinginannya, meskipun harus dengan kekerasan dan pembunuhan.
Data Kekerasan Komnas Perempuan
Dua kasus di atas menambah data kekerasan KDP terhadap perempuan. Jelas ini sangat memprihatinkan. Sebab dalam data Komnas Perempuan tercatat bahwa selama 2024 terdapat 445.502 kasus kekerasan terhadap perempuan. Data ini meningkat hampir 10% daripada tahun sebelumnya.
Ini mencerminkan bahwa kekerasan berbasis gender masih menjadi persoalan serius, termasuk dalam hubungan yang tampak “suka sama suka” seperti pacaran.
Sayangnya, banyak perempuan tidak menyadari bahwa mereka berada dalam hubungan yang tidak sehat, atau lebih tepatnya relasi yang toxic. Ketika cinta berubah menjadi kontrol, manipulasi, dan kekerasan, maka itu bukan lagi hubungan yang layak ia pertahankan, melainkan harus segera perempuan akhiri.
Islam sendiri menegaskan bahwa kekerasan dalam bentuk apa pun adalah haram. Tidak ada pembenaran dalam ajaran agama untuk menyakiti pasangan, apalagi menzalimi perempuan. Bahkan dari sudut pandang hukum negara, penganiayaan sebagaimana dalam Pasal 351 jo 356 KUHP sebagai tindakan pidana.
Kekerasan dalam pacaran bukan sekadar tindakan kriminal, melainkan bentuk pelanggaran hak asasi manusia yang mencerminkan ketimpangan relasi kuasa dalam masyarakat patriarkal. Saat korban enggan melapor karena takut, malu, atau khawatir disalahkan, maka di situlah sistem sosial telah gagal melindungi mereka.
Relasi Sehat dan Setara
Menghadapi realitas ini, penting bagi kita, baik individu, keluarga, sekolah, maupun institusi negara untuk membangun kesadaran bersama tentang pentingnya relasi yang sehat dan setara.
Pendidikan seksualitas dan relasi yang berkeadilan perlu kita perkenalkan sejak dini, agar generasi muda memahami bahwa cinta tidak boleh ada kekerasan.
Kita tidak bisa terus membiarkan kekerasan dalam pacaran menjadi “harga yang wajar” dalam sebuah hubungan. Perempuan bukan objek yang bisa dimiliki, dikendalikan, apalagi disakiti. Mereka adalah manusia utuh yang punya hak untuk dicintai tanpa rasa takut.
Selain itu, stigma terhadap korban kekerasan harus dihapus. Mereka bukan aib, tetapi pihak yang perlu dilindungi. []