Alquran ternyata juga memuat kisah tentang keluarga yang diuji dengan pasangannya. Ada suami yang beriman, sementara istrinya sendiri berpaling. Nabi Luth misalnya. Sebaliknya, ada istri yang taat sementara suaminya durjana. Asiyah dan Firaun. Ada pula yang diuji dengan kesendiriannya, sebagai single parent, tanpa pasangan di sisinya. Maryam Ibunda Nabi Isa.
Lalu, apa ada rumah tangga yang dikisahkan pasangannya tergoda selingkuh? Dalam Alquran, tidak akan ditemukan kisah para Nabi atau tokoh besar yang diuji dengan itu. Kalau pun ada adalah kisah digodanya Nabi Yusuf oleh Zulaikha dan fitnah yang sempat menimpa Aisyah, istri Rasulullah. Tuduhan terhadap Aisyah langsung diklarifikasi oleh Allah sendiri melalui Alquran. Itu artinya selingkuh bukan permasalahan yang menimpa orang-orang besar. Namun, sepertinya Allah tahu bahwa masalah ini akan menjadi godaan yang menimpa rumah tangga umat manusia.
Menjawab permasalahan tersebut, Alquran dalam Surat An-Nisa ayat 128-130 bisa menjadi salah satu rujukannya.
“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. An-Nisa : 128)
Menurut ayat di atas, dalam terjemahan bebas, adalah bercerita tentang seorang istri yang khawatir suaminya berpaling dan bersikap cuek (nusyuz dalam bahasa Alquran). Berpalingnya seorang suami sampai tidak menghiraukan istrinya, bisa saja bukan hanya karena perempuan lain. Pada masa sekarang ini, bisa juga dimaknai pasangan yang terlalu sibuk dengan pekerjaan, pergaulan sosial, atau bahkan gadgetnya.
Apa yang harus dilakukan jika itu terjadi? Allah langsung mengajarkan untuk mengadakan perdamaian. Berdamai ini diikuti kata selanjutnya yaitu mengadakan perbaikan dan memelihara diri. Artinya perdamaian bukan hanya masalah kompromi dengan keadaan dan meninggalkan perselisihan, tetapi juga kedua belah pihak harus melakukan koreksi untuk sama-sama memperbaiki dan memelihara diri.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. An-Nisa : 129)
Pada ayat selanjutnya, Alquran kemudian menyinggung masalah poligami. Ketika seorang lelaki tergoda perempuan lain dan menginginkan poligami, Allah mengingatkan bahwa kamu tidak akan bisa berlaku adil walaupun sangat menginginkan poligami. Padahal adil menjadi syarat bagi poligami.
Ayat ini juga melarang untuk terlalu cenderung kepada (perempuan lain) yang dicintai, sampai membiarkan istrinya sendiri terkatung-katung. Artinya poligami bukan solusi yang ditawarkan ketika lelaki tergoda perempuan lain. Mengadakan perbaikan dan memelihara diri adalah solusi lain yang ditawarkan.
“Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana.” (QS. An-Nisa : 130)
Bagaimana kalau akhirnya perselisihan tidak bisa dihindari? Sang suami tetap dengan sikapnya untuk berpaling dan tidak menghiraukan istrinya, bahkan tetap bersikeras dengan keinginan poligami? Ayat 130 menjadi solusi alternatif. Bercerai.
Ayat tentang cerai ini ada setelah menyinggung sikap nusyuz suami dan keinginannya untuk poligami. Ketika jalan ishlah dan memperbaiki diri tidak bisa dipenuhi, maka cerai menjadi pilihan. Bukan lagi bersabar dan mengalah seperti yang banyak dianjurkan sebagian orang. Bahkan Allah memperkuat dengan kalimat “…maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masing dari limpahan karunia-Nya.”
Banyak perempuan yang memilih bertahan selain karena alasan anak-anak adalah ketakutan akan kehilangan sokongan finansial. Terutama bagi perempuan yang tidak bekerja. Dalam ayat 130 di atas, Allah menjanjikan hal yang sama seperti kepada pemuda yang takut menikah karena masalah finansial. Ketika cerai menjadi pilihan, Allah memberikan jaminan akan memberikan kecukupan.
Perceraian adalah sesuatu yang halal tapi dibenci Allah. Tentu saja ada step by step yang harus ditempuh. Kembali dengan memperbaiki komitmen pernikahan sebagai pasangan adalah anjuran, tetapi ketika hanya akan menyakiti salah satu pihak, bahkan lebih banyak mendatangkan mudharat daripada manfaat, maka cerai bisa menjadi alternatif.
Rezeki dan karunia Allah itu bisa jadi bukan hanya berbentuk uang. Bisa berupa kebahagiaan terbebas dari tekanan psikolologis, mendapat ruang baru untuk lebih mandiri, mendapat pekerjaan dan lingkungan lain yang membahagiakan, juga sampai kepada dipertemukannya cinta dan jodoh lain yang lebih baik.
Kita tidak pernah tahu di mana cinta kita akan berlabuh atau pun berakhir. Tugas kita adalah mencintai orang yang berhak dicintai sebaik-baiknya. Ketika cinta pada akhirnya harus membebaskan dan memasrahkan, maka biarkan tangan Allah bekerja. Dia akan selalu mengirimkan orang terbaik untuk menjaga hambanya yang layak dicintai. []