• Login
  • Register
Selasa, 20 Mei 2025
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
Dukung kami dengan donasi melalui
Bank Syariah Indonesia 7004-0536-58
a.n. Yayasan Fahmina
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
No Result
View All Result
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
Keadilan dan Kesetaraan Gender - Mubadalah
No Result
View All Result
Home Khazanah Sastra

Mengemas Bahasa Mesra Tanpa Harus Merasa Bersalah

Zahra Amin Zahra Amin
18/09/2019
in Sastra
0
bahasa mesra

Novel Wigati : Lintang Manik Woro Karya Khilma Anis

135
VIEWS
Share on FacebookShare on TwitterShare on Whatsapp

Seringkali setiap kali membaca atau menulis cerita fiksi, lalu ditemukan kata-kata mesra, romantis yang bikin hati baper dan larut dalam kisah cintanya, tetiba ada rasa bersalah. Kemudian muncul banyak pertanyaan. Dosa tidak ya?, dianggap zina tidak ya?. Karena kultur pesantren yang kuat membuat kita acapkali membuat standar ganda. Oke deh dalam adegan novel populer lain boleh bebas dan liar, tapi kita jangan, biar sifat kesantrian tidak hilang.

Tetapi setelah membaca Novel Wigati; Lintang Manik Woro karya penulis Khilma Anis, yang memiliki basis pesantren kuat, anggapan saya yang keliru itu terbantahkan. Khilma mampu mengemas bahasa mesra tanpa harus merasa bersalah.

Sikap romantis yang ditunjukkan tokoh utama Hidayat Jati, atau dalam novel akrab disapa Kang Jati terhadap Manik begitu menyentuh, tanpa harus membuat kita mengaduh. Begitu lembut hingga membuat pembaca manggut-manggut. Sangat elegan tanpa membuat harga diri perempuan terabaikan.

Meskipun novel Wigati ini merupakan karya lawas Khilma sebelum Hati Suhita yang melegenda di kalangan pesantren itu, namun menurut saya cerita cinta yang dibangun Khilma punya satu ciri khas yang sama.

Bahwa perasaan suka, kikuk dan grogi di depan orang yang kita sukai, getar degup jantung, denyar jiwa, angan yang melayang, merupakan hal lumrah yang dialami setiap manusia, baik lelaki maupun perempuan. Khilma seolah menegaskan. Tak pernah ada yang salah dengan cinta. Hanya manusia saja yang kerap membuatnya menjadi sulit dan nampak rumit.

Baca Juga:

Islam Memuliakan Perempuan Belajar dari Pemikiran Neng Dara Affiah

Buku Esok Jilbab Kita Rayakan, Kalis Mardiasih Membongkar Narasi Jilbab

Review Buku The Qur’anic Dilemma: A Hermeneutical Investigation of Al-Khidr

Navigasi Parenting di Era Digital

Selain eksplorasi tentang rasa, dalam novel tersebut ada satu kalimat yang saya garisbawahi, diambil dari dialog panjang Kang Jati dengan Manik. “Gusti Allah itu romantis sekali. Dia mengabulkan pada saat kita sudah kelelahan.” Lalu pada kalimat lain disambung dengan “Bahwa usaha manusia, sekeras apapun tidak akan berarti apa-apa kalau Gusti Allah belum kerso”.

Selanjutnya dalam kalimat kedua, penjelasan tentang kata “nriman”. Yakni artinya bukan pasrah sambil mengeluh. Nriman adalah pasrah yang penuh syukur. Mensyukuri yang sudah terjadi dan percaya bahwa yang akan terjadi di depan sudah ditata Gusti Allah dengan apik. Kalau sudah Gusti Allah yang noto, mesti apik.

Membaca barisan kalimat itu saya seperti tertampar berkali-kali. Terlebih dengan kondisi yang sedang saya hadapi saat ini, atau siapapun pembaca yang sedang punya masalah. Mungkin iya, menyerahkan semua pada Sang Pemilik Kehidupan, di mana hidup dan mati kita dalam genggamanNya, akan membuat hati lebih lega. Meski segala upaya juga harus terus dicoba.

Novel yang berkisah tentang pesantren, keris dan dunai batin perempuan Jawa ini mengusung judul Wigati, tetapi bagi saya kisah cinta Kang Jati dan Manik lebih dramatis dan mendapatkan tempat di hati pembaca. Kang Jati sebagai pusaran rasa diantara dua perempuan, Wigati dan Manik. Yang satu sudah terjerat panah asmara, sementara yang lain didesak kehendak orang tua. Sebuah pilihan sulit, dan semoga ketika cerita ini berlanjut tidak menjadi cinta segi tiga atau poligami. Sebagaimana kisah percintaan ala film drama di Indonesia.

Karena mengingati Kang Jati, saya seperti melihat sosok Parang Jati dalam novel Bilangan Fu karya Ayu Utami. Keduanya sama-sama bernama dan dipanggil Jati. Bahkan karakter yang dibangun pun tak beda jauh. Sama-sama plin-plan, mudah goyah dalam urusan perasaan, terutama terhadap perempuan.

Tetapi kalau soal pengetahuan budaya dan sejarah Jawa, keduanya punya level sama. Bedanya, Hidayat Jati masuk dari ilmu “Keris”, sementara Parang Jati di Bilangan Fu, bicara dari “Candi”. Kedua sosok tokoh lelaki tersebut telah menunjukkan sesuatu. Bahwa bagi penulis perempuan, lelaki yang berpengetahuan luas, terutama tentang sejarah dan budaya negeri sendiri itu ternyata lebih seksi dan menarik. Tak kehilangan identitas, meski teknologi dan peradaban terus memburu tanpa batas.[]

Tags: Novel WigatiResensi BukuResensi NovelReview Buku
Zahra Amin

Zahra Amin

Zahra Amin Perempuan penyuka senja, penikmat kopi, pembaca buku, dan menggemari sastra, isu perempuan serta keluarga. Kini, bekerja di Media Mubadalah dan tinggal di Indramayu.

Terkait Posts

Pekerja Rumah Tangga

Ibu, Aku, dan Putriku: Generasi Pekerja Rumah Tangga

11 Mei 2025
Tidak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta bagi Arivia

11 Mei 2025
Tak Ada Cinta

Tidak Ada Cinta Bagi Ali

4 Mei 2025
Kartini Tanpa Kebaya

Kartini Tanpa Kebaya

27 April 2025
Hujan

Laki-laki yang Menjelma Hujan

13 April 2025
Negara tanpa Ibu

Negara tanpa Ibu

23 Maret 2025
Please login to join discussion
No Result
View All Result

TERPOPULER

  • Bangga Punya Ulama Perempuan

    Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Rieke Diah Pitaloka Soroti Krisis Bangsa dan Serukan Kebangkitan Ulama Perempuan dari Cirebon

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan

    0 shares
    Share 0 Tweet 0

TERBARU

  • Peran Aisyiyah dalam Memperjuangkan Kesetaraan dan Kemanusiaan Perempuan
  • KB dalam Pandangan Riffat Hassan
  • Ironi Peluang Kerja bagi Penyandang Disabilitas: Kesenjangan Menjadi Tantangan Bersama
  • KB Menurut Pandangan Fazlur Rahman
  • Saya Bangga Punya Ulama Perempuan!

Komentar Terbaru

  • Asma binti Hamad dan Hilangnya Harapan Hidup pada Mengapa Tuhan Tak Bergeming dalam Pembantaian di Palestina?
  • Usaha, Privilege, dan Kehendak Tuhan pada Mengenalkan Palestina pada Anak
  • Salsabila Septi pada Memaknai Perjalanan Hidup di Usia 25 tahun; Antara Kegagalan, Kesalahan dan Optimisme
  • Zahra Amin pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Nolimits313 pada Perbincangan Soal Jilbab
  • Tentang
  • Redaksi
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
Kontak kami:
[email protected]

© 2023 MUBADALAH.ID

Selamat Datang!

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In

Add New Playlist

No Result
View All Result
  • Home
  • Aktual
  • Kolom
  • Khazanah
  • Rujukan
  • Tokoh
  • Monumen
  • Zawiyah
  • Kolom Buya Husein
  • Login
  • Sign Up

© 2023 MUBADALAH.ID

Go to mobile version