Orang tua mana yang tidak menginginkan anaknya tumbuh dengan rasa percaya diri yang tinggi, dan bisa hidup disiplin. Jikapun ada, tak semua anak yang dilahirkan dari Rahim yang sama, dan tumbuh dalam lingkungan yang sama, akan mmepunyai kepribadian yang sama pula. Karena proses kehidupan yang dihadapi setiap anak itu berbeda.
Sebagaimana pengalaman yang penulis rasakan sendiri, dengan dua orang anak yang meski tinggal dalam satu rumah, dan lahir dari orang tua yang sama, namun mempunyai sifat yang bertolak belakang. Yang pertama cenderung lebih percaya diri, tegas dan pemberani. Sementara yang kedua berkebalikannya.
Penulis menyadari sepenuhnya jika tidak ada miniatur keluarga yang ideal. Hanya saja masing-masing dari tiap orang atau pasangan, akan berusaha agar rumah tangga yang dijalani memberikan rasa damai dan bahagia. Meski untuk mewujudkan itu, harus dilalui dengan banyak drama dan dinamika, terlebih di masa pandemi ini.
Susah makan dan tidur tepat waktu. Susah mandi, Susah bangun pagi, terutama untuk shalat subuh. Dan sederet kesusahan lain ketika menghadapi anak-anak di usia rentang 5 sampai dengan 12 tahun. Butuh kesabaran ekstra dan penjelasan sederhana yang bisa dipahami oleh anak-anak, ketika melakukan tik tok tanya jawab dan mereka komplain dengan perintah orangtuanya.
Tak jarang teriakan akan terdengar, entah dari siapa yang memulai, maka emosi yang meluap-luap tanpa kendali pun memuncak. Anak tersakiti, orang tua juga merasa tak berdaya. Ada komunikasi yang tidak selesai antara orang tua serta anak. Begitu pula yang kerap terjadi dengan penulis.
Sehingga ketika menemukan buku “Rumahku Sekolahku : Panduan Islami untuk Mencerdaskan Anak dalam Lingkungan Keluarga” di rak buku perpustakaan kantor, langsung saja saya ambil dan membaca halaman demi halaman bukunya.
Ada banyak hal yang penulis temui dari buku yang ditulis oleh Syarifudin al Mandari ini. Tentang bagaimana menempa kekuatan anak untuk lebih yakin akan kemampuan dirinya sendiri, yang itu dapat di mulai dari rumah. Rumah, harus menjaga suasana senang dan tenang bagi kegiatan anak agar bisa menemukan sesuatu yang baru dalam hidupnya.
Hal ini menurut penulis sejalan dengan tema Hari Anak Nasional tahun 2020, yakni #anakterlindungi dan #gembiradirumah. Karena itu sebisa mungkin sebagai orang tua agar menjauhi tindakan melarang anak-anak secara berlebihan.
Sering melarang artinya sama saja dengan membatasi anak. Akibatnya, anak akan merasa terkungkung dan tidak percaya diri pada kemampuan dan penemuannya sendiri. Demikian pula memanjakan anak secara berlebihan bisa berakibat sama buruknya.
Membiasakan untuk membiarkan anak menyelesaikan masalahnya dalam hal-hal sederhana, misalnya ketika seorang anak hendak duduk di kursi, jangan langsung mendudukannya, tetapi arahkanlah ia untuk naik dan memanjat kursinya.
Demikian pula jika anak terpeleset dan jatuh, jika kondisinya tidak parah, arahkanlah agar dia dapat bangkit kembali. Lalu sertailah dengan dialog yang ringan, misalnya “Nah, kalau adik tidak hati-hati bisa jatuh. Tidak apa-apa, tapi lain kali harus hati-hati ya!” atau kalimat lain yang dapat membesarkan hatinya.
Sedangkan terkait kedisplinan anak, menurut Syarifudin Al Mandari ada dua jenis pola kedisplinan anak. Pertama, disiplin yang menjadi sikap jiwanya. Mereka merasa senang dengan hidup disiplin. Kebiasaan disiplin lebih mempermudah pekerjaannya ketika dewasa nanti. Kedisplinan menjadi seni hidup, sehingga tidak mengungkung keseharian anak.
Disiplin jenis ini merupakan pola hidup yang membantunya bisa hidup disiplin di mana saja. Bahkan hal ini dapat menjadi pola yang sangat baik utuk menanamkan nilai-nilai kejujuran, keberanian dan keadilan. Demikian pula kecerdasaannya, termasuk ketelitiannya akan sangat dipengaruhi oleh pola hidup disiplin yang dimilikinya.
Kedua, disiplin sebagai sebuah tekanan dari orang lain (bukan kehendak dirinya sendiri). Disiplin dianggap sebagai bagian dari pekerjaan yang memberatkan dan mengikat setiap perilakunya. Disiplin adalah sikap orang tua, guru atau orang dewasa lain yang dilekatkan pada diri si anak.
Jadi, mengajarkan keteladanan antara lain dengan membuat kesepakatan dengan anak-anak menyangkut bagaimana jadwal kegiatan di rumah, mulai dari pagi hingga pagi lagi. Sarana paling efektif untuk itu adalah shalat lima waktu sebagai kebiasaan yang dipatuhi seluruh anggota keluarga setiap hari, maka dengan begitu akan melahirkan siklus hidup kesehariaan anak yang teratur. Hal ini juga dapat berpengaruh pada pola pendisiplinan anak secara alamiah tanpa tekanan. []