Mubadalah.id – Akhir-akhir ini, pandangan dunia, bukan hanya muslim, sedang tertuju ke daerah Gaza dan lebih khususnya ke kawasan Rafah. Apa penyebabnya? yakni terjadinya kasus genosida yang terjadi ke warga Palestina. Dengan adanya kasus HAM ini, maka tidak heran kecaman disuarakan oleh banyak warga dunia, termasuk di Indonesia.
Aspek mainstream yang sering kita angkat pada kasus ini adalah; peperangan, pembunuhan bayi, perusakan bangunan, dan rekonsiliasi atau upaya perdamaian. Sebagai bukti, tema-tema tersebut akan sangat mudah kita temukan di berbagai platform sosial media, termasuk dalam berita-berita Nasional.
Penulis melihat adanya dimensi lain yang menarik untuk kita angkat dengan tanpa menjadikan tulisan ini penuh dengan luapan emosi atas kasus di Palestina. Isu yang saya maksud adalah peran perempuan dalam militer Israel, yakni berfokus pada sosok perempuan bernama Ella Waweya.
Peran Perempuan dalam Peperangan
Bukan hal baru bahwa perempuan memiliki peran yang penting dalam sebuah peperangan. Pada zaman Rasulullah, tepatnya pada perang Khandaq, terdapat dua sahabat perempuan bernama Shafiyyah binti Abdul Muthalib dan Rufaidah binti Al-Anshariyyah.
Shafiyyah merupakan perempuan pertama yang berhasil membunuh kaum musyrik dengan cara dipukul dan dipenggal kepalanya. Sedangkan Rufaidah berperan di bagian pengobatan pasukan saat itu.
Hal tersebut menunjukkan bahwa sejak Abad ke-7 H., perempuan sudah mempunyai peran yang lebih dari sekedar menjadi pembawa pesan, penyedia kebutuhan logistik, maupun bagian kesehatan para tentara. Mereka bisa untuk membunuh bahkan memenggal kepala pasukan musuh.
Terlepas bagaimana kejadian yang sebenarnya, namun akhir-akhir ini terdapat kasus yang mirip—untuk tidak menyebut genosida—pada kasus Israel dan Palestina. Meski nuansanya berbeda di mana saat itu para sahabat wanita Nabi berada pada garis yang benar untuk mempertahankan diri dan membela Agama Islam sedangkan pada kasus perempuan di militer Israel lebih kepada kasus genosida pada warga Palestina namun ada hal-hal yang bisa kita soroti secara positif.
Terlepas dari benar salahnya posisi di kubu Israel setidaknya penulis melihat adanya pelajaran berharga tentang sosok perempuan di medan perang.
Mengenal Ella Waweya dalam Militansi Israel
Ella Waweya merupakan perempuan muslim dari etnis Arab yang tinggal di utara Israel. Berdasarkan data yang bersumber dari VIVA. co.id. Ia adalah perempuan pertama yang berhasil mendapatkan pangkat walikota di militer Israel. Sekarang ia menjadi perempuan Arab pertama yang menduduki jabatan Mayor dan sekaligus menjabat sebagai wakil juru bicara pasukan pertahanan Israel.
Ella sejak kecil sudah ingin menjadi warga Israel dan ia mendapatkan kewargaan Israel pada usia 16 tahun. Jiwa-jiwa nasionalisme milik Ella ini terbukti besar, karena sedari kecil ia sudah ingin menjadi jurnalis dan mengabdi kepada negaranya. Dan pada periode-periode selanjutnya, ia berhasil menjadi pelayan Nasional di bagian Unit Gawat Darurat rumah sakit Israel.
Kalaupun kita membaca secara luas tentang keterlibatan muslim dengan anggota militer Israel, kita akan menemukan bahwa hal tersebut berkaitan dengan mayoritas dan minoritas yang berada pada kawasan Israel. Muslim di Israel merupakan kaum minoritas dibanding Yahudi dan sedikit banyak akan mempengaruhi pilihan mereka untuk mengambil posisi.
Ella Waweya Sebuah Contoh Reposisi Peran Gender
Terlepas dari bagaimana sikap Ella pada konflik di Palestina dan Israel, penulis akan mengulas tentang reposisi yang ia miliki di kawasan konflik. Sebagai seorang perempuan Ella terbukti mempunyai kepribadian yang teguh, meski penuh dengan cemoohan yang berada di lingkungannya. Keteguhan ini yang bernilai positif dalam menghadapi stigma negatif atas muslim Arab di Israel.
Poin selanjutnya yakni tentang bagaimana Ella mampu ikut berperan dalam posisi sentral peperangan. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan apa yang khalayak umum pahami bahwa peran perempuan di medan perang hanya di posisi-posisi yang pasif, semisal tenaga medis. Ella membuktikan bahwa ia bisa menjadi Mayor di kubu Israel.
Ella juga terbukti orang yang pintar dan pandai bertutur kata. Maka tidak heran, ia dijadikan sebagai juru bicara bagi Israel. Kenyataan tersebut membuktikan bahwa standar kemampuan yang laki-laki maupun perempuan miliki adalah sama. Hal tersebut lebih tergantung sejauh mana mereka mau memperbaiki diri.
Sebagai penutup, penulis melihat besarnya potensi yang perempuan miliki di sektor-sektor konflik. Kita kenal di masa lalu Indonesia memiliki pahlawan-pahlawan semisal Cut Meutia yang merupakan pemimpin Gerilya di Aceh dan Cut Nyak Dien yang menjadi sosok pahlawan saat Aceh berperang melawan kolonial Belanda.
Realitas tersebut seharusnya memberikan pelajaran bahwa posisi perempuan yang sebelumnya pasif pada isu-isu konflik ternyata di era sekarang bisa menjadi lebih aktif. Perempuan tidaklah inferior jika dihadapkan pada kasus agresi dan militansi. Meski secara fisik mereka kalah, namun peperangan dan konflik tidak hanya berkutat pada peperangan fisik semata.
Fenomena ini juga menegaskan adanya ruang bagi laki-laki dan perempuan untuk saling bersinergi secara lebih intens pada sektor-sektor militer, karena terbukti perempuan tidaklah kurang jika dinilai dari kemampuannya dalam bersiasat. Mungkin ada beberapa pengecualian dalam koridor posisi lemah milik perempuan, namun hemat penulis pengecualian tersebut tidaklah banyak. []