Mubadalah.id – Perkembangan Islam di Lasem turut mendapatkan sentuhan dari Nyai Ageng Maloka. Sosoknya merupakan adipati (pemimpin) perempuan di Kadipaten Lasem yang mulai menjabat sekitar tahun 1479. Dia memimpin Lasem menggantikan Adipati Wiranagara, suaminya, yang meninggal pada tahun itu.
Sejarah SNyai Ageng Maloka
Nyai Ageng Maloka merupakan putri Sunan Ampel, yang memiliki peran besar dalam perkembangan Islam di Lasem. Sebagaimana dijelaskan Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo, bahwa dari pernikahan Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila putri Arya Teja, Bupati Tuban, dikarunai lima anak, yaitu Nyai Patimah bergelar Nyai Gedeng Panyuran, Nyai Wilis alias Nyai Pengulu, Nyai Taluki bergelar Nyai Gedeng Maloka, Mahdum Ibrahim bergelar Sunan Bonang, dan Raden Qasim bergelar Sunan Drajat. Jadi, Nyai Ageng Maloka atau Nyai Taluki adalah anak ketiga dari Sunan Ampel, dan merupakan kakak dari Sunan Bonang dan Sunan Drajat.
Saya belum tahu pasti kapan beliau. Namun, jika mengacu dari tahun lahir adiknya, Sunan Bonang, yang sebagaimana dijelaskan Agus Sunyoto dengan mengutip perhitungan dari B.J.O. Schrieke dalam Het Book van Bonang (1916), bahwa Sunan Bonang diperkirakan lahir sekitar tahun 1465 M dan tidak bisa lebih awal dari tahun itu. Maka, Nyai Ageng Maloka seharusnya sudah lahir sebelum tahun 1465 M.
Dan M. Akrom Unjiya dalam Lasem Negeri Dampoawang menjelaskan bahwa, Nyai Ageng Maloka wafat pada tahun 1490 M, dan dimakamkan di komplek Taman Sitaresmi, Gedhong Caruban. Sebuah taman di kawasan Caruban yang dibangun atas perintah Nyai Ageng Maloka. Setelah kematian suami dan putranya yang masih balita, serta kematian putri sulungnya, Putri Solekah yang menikah dengan Raden Patah, Nyai Ageng Maloka merasa sangat berduka, sehingga taman itu menjadi tempat mencari ketenangan untuk pelipur duka baginya.
Sebagai putri seorang ulama terkemuka, Nyai Ageng Maloka sudah barang tentu mendapatkan pendidikan Islam yang baik, dan itu turut membentuk pribadinya sehingga memiliki perhatian dalam penyebaran dan perkembangan Islam di Lasem. Dalam upaya mengembangkan dakwah Islam di Lasem, Nyai Ageng Maloka berjasa dalam menghadirkan Sunan Bonang.
Relasi Nyai Ageng Maloka dan Sunan Bonang
Agus Sunyoto dalam Atlas Wali Songo menjelaskan bahwa dakwah Sunan Bonang di Kediri kurang berhasil. Hal ini disebabkan oleh sikapnya yang agak keras dalam mendakwahkan Islam pada masyarakat Kediri. Sunan Bonang kemudian pergi ke Demak atas panggilan Raden Patah untuk menjadi Imam Masjid Demak. Selanjutnya, dia meninggalkan jabatan Imam Masjid Demak, dan memenuhi panggilan Nyai Ageng Maloka ke Lasem.
Beliau meminta Sunan Bonang untuk merawat makam putri Bi Nang Ti dari Champa, yang masih terhitung nenek mereka, di Puthuk Regol. Sunan Bonang juga diminta merawat makam Pangeran Wirabajra dan Pangeran Wiranagara, mendiang ayah mertua dan suami Nyai Ageng Maloka. Naskah Carita Lasem menuturkan kalau Sunan Bonang merawat makam neneknya dari Champa dengan baik. Bahkan, sebuah batu di dekat makam diratakan untuk dijadikan tempat sujud.
Menurut Agus Sunyoto, tugas Sunan Bonang yang diberikan oleh Nyai antara lain merawat makam di Puthuk Regol yang melahirkan berbagai cerita legenda tentang petilasan pasujudan Sunan Bonang di bukit Watu Layar di timur Kota Lasem, yaitu tempat yang dikenal dengan nama Desa Bonang.
Keputusan beliau memanggil Sunan Bonang sudah barang tentu memberi pengaruh baik terhadap dakwah dan perkembangan Islam di Lasem. Sunan Bonang sendiri juga telah belajar dari pengalaman sewaktu melakukan dakwah di Kediri, sehingga dakwahnya kali ini semakin baik. Agus Sunyoto menjelaskan, berdasarkan naskah Carita Lasem, bahwa pada tahun 1402 Saka (1480 M), Sunan Bonang tinggal di bagian belakang dalem Kadipaten Lasem yang merupakan kediaman Nyai Ageng Maloka.
Ini sejalan dengan penjelasan M. Akrom Unjiya. Ia menjelaskan bahwa tidak kurang setahun menjadi adipati, Nyai Ageng Maloka memindahkan Kadipaten Lasem dari Bonang Binangun ke Cologawen, yaitu tepat di seberang jalan depan istana lama Kriyan. Kemudian, istana Kadipaten Bonang Binangun dikuasakan kepada Sunan Bonang untuk keperluan pendidikan dan dakwah Islam.
Kebijakan Nyai Ageng Maloka, yang memberi ruang bagi Sunan Bonang guna menyebarkan dakwah sehingga mendorong perkembangan Islam di Lasem lebih maju dan pesat di kawasan itu.
Menurut M. Akrom Unjiya, bahwa salah satu jejak (kemajuan) penyebaran Islam di masa Nyai Ageng Maloka dapat dilihat dengan keberadaan masjid tua di daerah Gedongmulyo, yaitu adanya Masjid Tiban. Keberadaan masjid ini menunjukkan bahwa pada masa itu perkembangan Islam di Lasem telah meluas dari yang awalnya di Bonang Binangun telah sampai ke kawasan Masjid Tiban.
Meski bukan sebagai eksekutor dakwah, namun Nyai Ageng Maloka turut berjasa dalam perkembangan Islam di Lasem. Sebagai seorang adipati, dia mampu menciptakan ruang dakwah bagi Sunan Bonang, sehingga dapat memajukan Islam. Hal ini menunjukkan kalau Nyai Ageng Maloka punya peranan penting dalam kemajuan karir dakwah Sunan Bonang dan perkembangan Islam di Lasem. []