Mubadalah.id – Pada tanggal 21 Mei 2025, saya mengikuti Focus Group Discussion (FGD) tentang inklusivitas yang diselenggarakan oleh Media Link. Acara ini dihadiri oleh 25 peserta dari berbagai kalangan pers dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) di beberapa kampus di Cirebon.
Pada sesi pembukaan, Pak Ahmad Faisol, Direktur Media Link, menegaskan pentingnya nilai-nilai inklusivitas yang harus dimiliki dan diaplikasikan oleh anak muda sebagai generasi penerus bangsa yang akan membangun Indonesia Emas 2045.
Menurutnya, nilai inklusivitas menjadi sangat krusial terutama ketika kelak mereka menjadi pemimpin yang mengambil keputusan, karena keputusan tersebut harus memperhatikan keberagaman dan inklusivitas.
Lalu, apa sebenarnya inklusivitas itu? Mengutip dari RRI.co.id, inklusivitas adalah sikap menghargai dan mengakui keberadaan perbedaan dan keberagaman. Serta memberikan ruang aman dan nyaman bagi mereka yang berbeda untuk berekspresi. Kebalikan dari inklusivitas adalah eksklusivitas, yakni sikap tertutup terhadap orang lain yang berbeda.
Sebelum Masuk SUPI
Dalam kehidupan sehari-hari, sikap eksklusif masih banyak ditemukan, di mana seseorang menilai orang lain hanya dari penampilan luar tanpa berusaha mengenal lebih jauh. Saya pun pernah mengalaminya.
Sebelum bergabung dengan Institut Studi Islam Fahmina (ISIF) dan Program Sarjana Ulama Perempuan Indonesia (SUPI), saya cenderung intoleran. Terutama terhadap orang yang berbeda keyakinan. Hal ini karena dipengaruhi pola asuh dan pendidikan yang saya terima, yang mayoritas beragama Islam dengan pemahaman yang kuat.
Saya ingat betul wejangan dari ibu saya yang mengatakan agar saya tidak terlalu dekat dengan orang Kristen agar tidak “terbawa” keyakinan mereka. Wejangan itu membuat saya takut berinteraksi dengan orang berbeda agama, ketakutan ini bertahan sampai semester satu di kampus.
Namun, ketakutan itu hilang ketika saya mengikuti studi lapangan untuk mata kuliah Kewarganegaraan dan HAM, yang mengharuskan saya mengunjungi komunitas Ahmadiyah dan Sunda Wiwitan.
Saya mendapati mereka sangat ramah dan baik, tanpa ada niat buruk seperti yang saya duga sebelumnya. Pengalaman itu membuat saya malu mengingat dulu saya pernah bersikap diskriminatif tanpa mengenal mereka terlebih dahulu.
Lembaga Pendidikan masih Eksklusif
Dalam sesi FGD juga menyampaikan bahwa dunia pendidikan, khususnya di jenjang sekolah menengah dan perguruan tinggi, sikap eksklusivitas masih sangat tinggi. Hal ini karena masih kuatnya paham radikalisme dan intoleransi di kalangan pelajar dan mahasiswa.
Hal ini bis akita lihat dari hasil survei yang dilakukan oleh INFID bersama Fakultas Psikologi Universitas Indonesia yang menunjukkan bahwa sebanyak 43,6% responden setuju tidak mengucapkannya selamat kepada pemeluk lain, 37,9% setuju semua aspek mengikuti kehidupan aturan islam dan 26,1% setuju berteman dengan sesama agama Islam membawa berkah, daripada non-Muslim.
Hal tersebut menunjukkan bahwa walaupun ada indikasi positif terhadap inklusivitas dalam keberagaman suku dan budaya, sikap eksklusif masih kerap muncul dalam konteks agama.
Konteks sosial tersebut bisa kita lihat dari bagaimana negara masih tidak adil pada para penghayat kepercayaan. Seperti penganut Sunda Wiwitan misalnya. Mereka sering mengalami diskriminasi, terutama di lingkungan sekolah dan dalam pengurusan administrasi kependudukan.
Mengutip dari Nuonline.id, salah seorang penganut Sunda Wiwitan, Giwan, menceritakan pengalamannya mendapat perlakuan berbeda dan bullying karena berbeda agama dengan teman-teman sekelasnya yang mayoritas Muslim.
Putusan MK
Di sisi lain, pengurusan dokumen resmi seperti KTP kerap menyulitkan mereka karena kolom agama dibiarkan kosong. Padahal, secara hukum negara sudah memberikan perlindungan kepada penghayat kepercayaan melalui putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016 yang menyatakan:
Pertama, pentingnya jaminan hak kebebasan berkeyakinan dan beragama bagi semua orang, termasuk Penghayat Kepercayaan.
Kedua, menolak pembedaan yang diskriminatif antara agama dan kepercayaan dalam Undang-Undang Kependudukan. Sehingga penghayat kepercayaan juga berhak mendapatkan pelayanan dan pencatatan di kependudukan.
Ketiga, memastikan setiap warga negara memiliki hak yang sama untuk memeluk agama atau meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.
Putusan ini menegaskan bahwa semua orang harus negara jamin hak kebebasan berkeyakinan dan beragama. Juga, termasuk penghayat kepercayaan, serta menolak segala bentuk diskriminasi dalam pencatatan kependudukan. Dengan demikian, setiap warga negara berhak memeluk agama atau kepercayaan serta menyatakan pikiran sesuai dengan hati nuraninya.
Sejalan dengan itu, sebagai bangsa yang multikultural, sangat penting bagi kita semua untuk menumbuhkan dan mengamalkan nilai-nilai inklusivitas dalam kehidupan sehari-hari. Kita dapat mulainya dari hal sederhana seperti membuka ruang dialog dengan orang yang berbeda dan menghargai perbedaan. Serta menghilangkan stigma negatif terhadap orang yang berbeda dengan kita.
Karena seperti yang Gus Dur sampaikan bahwa “Indonesia ada karena keberagaman”. []