Mubadalah.id – Dalam tradisi keilmuan klasik Islam, amat sering atau bahkan selalu dijumpai perbedaan ulama dalam menyebut sesuatu untuk mengungkapkan suatu maksud. Padahal, maksud mereka sama.
Ketika saya belajar di pesantren, seorang kiai saya mengatakan dengan mengutip ucapan ulama klasik: Laa masyahhata fil isthilah. Secara harfiah, ungkapan ini berarti “istilah atau bahasa tidak pelit.”
Lalu, kiai mengatakan, “Tidak seyogianya seseorang melarang orang lain menggunakan suatu istilah tertentu untuk memberi makna sesuatu jika ia menjelaskan maksudnya.”
Terlepas dari penjelasan tersebut, entah karena apa, orang-orang yang menolak bahasa dan konsep asing sepertinya tidak menyadari atau tidak mau menyadari bahwa siapa pun mengetahui bahwa bangsa atau negara “asing” bisa juga berarti bangsa. Atau negara Rusia dan Tiongkok yang komunis, atau Jepang yang Shinto, Thailand yang Buddha, India yang Hindu, dan sebagainya.
Mereka juga sering kali lupa atau melupakan bahwa sistem kehidupan kebangsaan dan kenegaraan kita hari ini telah mengadopsi. Sekaligus menerima secara konsensus istilah-istilah dan konsep-konsep asing.
Beberapa di antaranya adalah soal pembagian kekuasaan (legislatif, eksekutif, dan yudikatif), demokrasi, presidensial atau parlementer, dan sebagainya.
Begitu juga Bhinneka Tunggal Ika. Istilah tersebut berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti “berbeda-beda, tetapi tetap satu.” Bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam telah lama memanfaatkan konsep-konsep ini untuk menata kehidupan bersama mereka sampai hari ini.
Negara kita juga telah menjalin kerja sama dengan negara-negara asing, terutama Amerika, Eropa, Tiongkok, Korea, Jepang, dan lain-lain. Baik secara politik, ekonomi, ilmu pengetahuan, teknologi, dan sebagainya.
Sikap menolak segala hal yang berbau asing atau produk pemikiran asing merupakan sikap yang sama sekali tidak ilmiah sekaligus tidak islami. Sikap tersebut merupakan cara pandang yang mengerdilkan diri sendiri dan menutup kemahaluasan rahmat Tuhan. []