Mubadalah.id – Bagi yang gemar mempelajari psikologi mungkin tak asing lagi dengan Sigmund Freud, pendiri aliran psikoanalisis asal Austria yang mengembangkan teori bahwa prilaku manusia didasari oleh hasrat seksual (eros) yang disublimasi ke dalam bentuk lain. Berdasarkan teori tersebut Freud berpandangan bahwa tidak ada cinta murni, semua cinta selalu berujung pada pemenuhan hasrat seksual.
Satu-satunya cinta murni hanyalah cinta ibu kepada anaknya. Katanya: “Pada ibu dan anaklah dikatakan cinta murni, karena cinta seorang lelaki terhadap seorang perempuan dan begitu pula sebaliknya, walau bagaimana halusnya susunan kata yang diucapkan, maksudnya hanya satu, yaitu nafsu birahi.”
Tapi kali ini yang akan kita bahas bukanlah teori-teori psikoseksual Sigmund Freud yang menjadi perdebatan banyak ilmuwan dan manjadi kontroversi dalam dunia keilmuan, melainkan sesuatu yang dianggap oleh Freud sebagai cinta murni—cinta ibu kepada anaknyalah yang akan kita bahas dalam tulisan ini.
Tak hanya Freud, seorang psikologi-sosial asal Jerman, Erich Fromm yang menggemari karya-karya Freud juga menyatakan kalau cinta ibu adalah cinta tanpa syarat. Ibu mencintai anak-anaknya bukan karena untuk kepuasan bagi dirinya melainkan seluruhnya untuk kebahagiaan anak-anaknya. Ibu tak meminta balasan apa pun pada anak-anaknya. Ia mencintai anak-anaknya tanpa pamrih dan memberikan seluruh perhatian dan kasih sayangnya untuk kebahagiaan anaknya.
Hal ini berbeda dengan cinta ayah yang bersyarat. Cinta ayah bergantung pada prestasi dan prilaku baik anak-anaknya. Ayah akan mencintai seorang anak yang paling menyerupainya, yang diharapkan bisa mewariskan harta, moral, integritas dan karakter kepribadiannya pada kehidupan sosial.
Fromm juga menegaskan pendapatnya, menurutnya cinta ibu adalah ampunan dan kasih yang tak akan hilang karena perbuatan dosa dan tak akan bisa diraih karena perbuatan baik. Sedangkan cinta ayah adalah keadilan yang bisa hilang karena perbuatan dosa anak namun bisa kembali dengan bertobat dan memperbarui kepatuhan.
Cinta ibu memelihara dan mendewasakan anaknya yang berarti ia harus mengalami keterpisahan demi kemandirian dan kebahagiaan anaknya. Berbeda dari cinta lainnya yang cenderung untuk saling bersatu. Dalam semua kajian mengenai eksistensi manusia, keterpisahan adalah satu hal yang menyakitkan dan sangat dihindari agar mendapatkan kenyaman, ketentraman, ketenangam dan kebahagiaan di kehidupan
Namun dalam cinta keibuan, seorang ibu harus rela merasakan keterpisahan dengan anaknya saat anaknya telah beranjak dewasa. Ibu harus rela berpisah dengan anaknya demi kebahagiaan, kemandirian dan kedewasaan anaknnya dalam menjalani kehidupan.
Tak hanya manusia kasus semacam ini juga terjadi pada binatang, seekor kucing yang baru melahirkan akan merawat anaknya hingga memiliki usia yang cukup besar. Ibu kucing akan menyususi anaknya sampai sang anak bisa mencari makanan sendiri. Setelah sang anak telah dewasa, ibu kucing tersebut lantas tak akan lagi menyusui anaknya, bahkan ia akan meninggalkan anaknya agar si anak kucing bisa mandiri dan menghidupi dirinya sendiri.
Puncak dari cinta keibuan adalah keterpisahan untuk satu tujuan yaitu kedewasaan. Ibu mengalami kesakitan demi kesakitan ketika mencintai, mulai dari saat melahirkan sampai berujung pada keterpisahan. Bahkan setelah anaknya menikah sebagian besar kasih sayang anaknya akan dicurahkan kepada kekasihnya dari pada ibunya, meskipun ibu adalah orang yang telah merawatnya hingga dewasa.
Ibu rela mengobarkan nyawa saat melahirkannya, ia memberikan kehidupan bagi anaknya, merawat, menumbuhkan dan mendewasakannya hingga akhirnya anaknya bisa hidup secara mandiri. Ia rela tidak makan asalkan anaknya makan, ia rela melakukan apa saja demi kebahagiaan anaknya. Meskipun dari situ ia tak memperoleh kebahagiaan apa pun selain dari pada kebahagiaan untuk melihat anaknya bahagia.
Cinta ibu yang tanpa syarat pernah aku alami sendiri di kehidupan. Suatu hari aku pernah gagal dalam mencapai sesuatu dan ibuku berpesan demikian padaku “Nak kalau nanti kamu tidak menjadi apa-apa ibu tidak masalah, melihatmu saja ibu sudah bahagia”. Mendengar itu hatiku benar-benar terenyuh bercampur perasaan sedih dan terharu. Pasalnya tidak mungkin ada orang yang bisa berbicara demikian, semua orang pasti ingin mendapatkan imbalan atas perjuangannya membesarkan anak.
Tapi dengan penuh kasih dan ketabahan seorang ibu bisa selalu menerima anaknya dalam segala kondisi bahkan ketika anaknya tak memenuhi harapannya, ibu tetap mencintainya dan tetap bangga terhadap anaknya. Hanya cinta ibu yang memiliki kemampuan untuk memberikan segalanya dan tidak menghendaki apa-apa kecuali kebahagiaan orang yang dicintainya.
Ini menjadi sebab, kenapa di dalam Islam keberadaan seorang ibu sangat dihargai dan ditempatkan pada posisi tinggi. Dalam salah satu hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, Rasulullah pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang kepada siapa saja dia harus berbakti. Lalu Rasulullah menjawab menjawab nama ibu sebanyak tiga kali sementara ayah hanya satu kali.
Sayiddina Ali bin Abi Tholib berkata: “Jangan pernah kamu menggunakan kefasihan bicaramu (mendebat) di hadapan ibumu yang telah mengajarkanmu bicara.”
Ibu memiliki posisi yang tinggi di kehidupan. Ibu adalah orang yang telah membesarkan kita hingga kita bisa tumbuh dewasa menjadi manusia, ia merawat kita sampai kita bisa merawat diri kita sendiri. Meskipun ia tak meminta imbalan apapun dari kita tapi sebagai seorang anak kita berkewajiban untuk membahagiakannya.
Ibu telah merasakan banyak kesakitan selama hidupnya dalam membesarkan kita, kini giliran kita yang berjuang untuk mengobati rasa sakitnya ketika kita telah dewasa, meskipun hal itu hanya kita wujudkan sebatas kehadiran kita di hadapannya. []