Tak kusangka ternyata menjadi perempuan adalah anugerah luar biasa yang didalamnya memuat sifat-sifat ketuhanan: Ya, lemah lembut, merawat dan kuat
Mubadalah.id – Kalimat tersebut spontan muncul di kepala saya setelah menamatkan beberapa tulisan Kalis Mardiasih tentang betapa perempuan memegang tonggak utama perekonomian keluarga. Saya rasa hal ini memang lumrah dalam budaya kita (yooo sebut teman-teman budaya apaaaa… Budaya Patriarki) dimana sudah menjadi konstruk yang langgeng bahwa perempuan harus cekatan, harus tangguh, harus bisa kerja, pinter nabung dan tidak boros.
Hal demikian sebenarnya sah-sah saja, sepintas memang terdengar baik. Tapi jika seabreg keharusan tersebut terus menerus dibebankan pada perempuan, (tidak mengharuskan laki-laki). Saya rasa Wallahu a’lam bishowab, Alahumarhamna bil Qur’an….
Tanpa melupakan dan menganggap rendah makhluk manapun, saya rasa laki-laki juga merasakan hal yang sama ketika harus hidup dengan embel-embel tidak boleh cengeng, tidak boleh lemah, harus kuat, tidak boleh kemayu, harus jadi pemimpin. Beban-beban dan label-label ini seolah mengendap dalam pikiran kita sejak dini hingga hari ini. (Gusti nu agung pola pikir patriarki teh tumbang atuhlaaahh)
Melihat banyak cuplikan film, video, tulisan, iklan bahkan realita yang ada, saya rasa perempuan begitu banyak menghadapi tantangan tatkala ia ingin melakukan sesuatu. (Mohon maaf yang sering bilang perempuan ribet agak difilter dulu sebab menjalani peran ini tidaklah mudah).
Bayangkan, kamu yang masih kuliah barangkali, tatkala kamu ingin menemui seorang dosen untuk agenda bimbingan skripsi, betapa banyak rintangan yang harus kamu hadapi (mandi, bersih-bersih, merapikan tempat tidur, berdandan: sebab kucel dikatakan jelek, dandan: dikata lelet, bahkan tidak jarang sepaket dengan menyalahkan perempuan yang tampil alakadarnya dengan alibi TIDAK MENARIK).
Lalu salah perempuan apa? ia hanya melakukan perannya. Belum lagi untuk yang sudah kerja, bayangkan deadline kerjaan di depan mata, meeting harus siap seketika sedangkan kamu haid dan mengalami gejala menstruasi, duduk tak nyaman, berdiri pegal, selonjoran dibilang pemalas, murung dikatakan baperan.
Herannya meski perempuan sering diremehkan ia selalu diberi kerjaan vital semisal bertanggungjawab terhadap keuangan yang laporannya harus rinci sedemikian gila, memegang kearsipan yang wajib ‘thok’ menghamba pada ketelitian nan bejuliwet. Ok, itu hanya sepintas beberapa gambaran dilingkungan kerja profesional.
Mari kita melihat kembali pada para perempuan di kampung, petani sekaligus tulang punggung keluarga. Mereka dengan sangat cekatan bangun pagi hari, memasak sebelum mandi subuh (ya ini ada) menyiapkan makanan untuk anak dan suami, belum kopi dan uang jajan anak sekolah. Bersih-bersih rumah, memastikan perabotan tidak ada yang kotor dan semua anggota keluarga menyambut pagi dengan indah. Kalau saja ditampung entah berapa liter keringat yang dihasilkan padahal hari baru saja dimulai. (Jangan sebut para suami yang cuek, jelas itu sangat membebani).
Usai beberes itu kemudian pergi ke sawah, itupun niatnya kuli bukan kerja di lahan pribadi, mereka tak jarang berjalan saat matahari masih malu malu menampakkan diri, membawa senter dan tak menutup kemungkinan hewan mematikan mengintai: seperti ular sawah di kegelapan. Bekerja saban hari, memanen padi dengan modal arit dan baju panjang kucel seadanya, demi efektivitas kerja dan proteksi dari sengat matahari. Lalu diberi upah 50-60 ribu rupiah perhari. Itupun harus kembali memutar otak sebab untuk biaya sehari-hari anak dan suami. Meski demikian, keluh kesah rasanya jarang mereka tunjukan pada pasangan. Sungguh luar biasa!
Perempuan mewarisi sifat lemah lembut dan perkasanya Tuhan, ia bisa sangat halus bisa juga pula kuat. Bisa sangat penyayang dan butuh pula ruang untuk disayang (dalam hal ini kasih sayang adalah kebutuhan bersama: laki-laki dan perempuan) ia juga punya semangat merawat apa yang ia miliki, ibu-ibu yang petani sangat dominan dalam merawat bumi, tanah lumpur yang menurut sebagian orang sangat menjijikkan baginya adalah ladang berkah kehidupan.
Tapi masalahnya hingga kini, meskipun perempuan babak belur berjuang mati-matian tetap saja ia disepelekan dengan tetap dianggap tidak punya kemampuan semisal kerjanya hanya di sawah. Padahal perjuangannya jelas panjang sekali.
Prof. Quraish Shihab pernah bilang “perempuan memang harus berdaulat secara ekonomi, sebab perempuan semisal punya uang ia akan melakukan hal untuk kepentingan orang banyak. Meskipun laki-laki juga tak menutup kemungkinan tapi kebanyakan dari mereka justru mementingkan keinginan pribadi saja, perempuan harus terus didukung dan diberi pengertian.”
Hal ini juga tidak terkecuali di lingkungan organisasi, seringkali tatkala dana kegiatan tidak mencukupi, siapa yang selalu ditunjuk menjadi bagian pencari dana, marketing produk dan segenap kegiatan yang menghasilkan rupiah. Jelasss perempuan selalu dilibatkan.
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati menyebutkan, kontribusi perempuan bagi perekonomian global cukup besar. Bahkan, data McKinsey menunjukkan apabila sebuah perekonomian memberikan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk bisa berkontribusi, maka perekonomian global akan mendapatkan manfaat sebesar USD12 triliun pada 2025. Pendek kata, perempuan sangat perlu merdeka secara ekonomi. Ialah agar ia terhindar dari intimidasi kekerasan karena kemiskinan juga berpeluang memberi manfaat besar untuk masyarakat sosial. []