Mubadalah.id – Saya mau cerita yang agak panjang tentang seseorang bernama Tata. Tapi sebelum bercerita soal Tata, saya awali dulu dengan cerita tentang Jaringan GUSDURian. Jaringan GUSDURian ini dibentuk, dibangun, dan dikelola oleh kakak saya, Alissa Wahid, selepas kepergian Bapak. Jaringan GUSDURian dibangun untuk mengumpulkan para sahabat dan pecinta Gus Dur dalam sebuah ikatan komunitas yang bertujuan untuk menyebarluaskan dan terus menghidupkan ajaran-ajaran dan nilai-nilai utama Gus Dur.
Jaringan GUSDURian tidak berpolitik elektoral, alias gak ikut-ikutan pro sana-sini dalam konteks pemilihan dan atau perebutan jabatan. Tapi Jaringan GUSDURian sangat berpolitik. Politiknya adalah politik kemanusiaan, politik keadilan, politik persaudaraan, politik HAM, politik kesetaraan, dan semua politik-politik lain yang sesuai dengan nilai-nilai yang telah dicontohkan Gus Dur semasa hidupnya.
Hampir semua orang yang tahu Jaringan GUSDURian pasti juga tahu betapa kuatnya komitmen Jaringan GUSDURian dalam membangun dan menjaga toleransi di Indonesia. Nggak hanya teriak-teriak di medsos tentang kasus-kasus intoleransi, tapi secara riil teman-teman GUSDURian melakukan pendampingan dan advokasi bagi para korban intoleransi, dan berusaha mengadvokasi agar ada kebijakan yang lebih manusiawi bagi para korban ini. Termasuk korban-korban yang sering kali banyak orang yang teriak toleransi tutup mata atas ketidakadilan yang menimpa mereka, seperti kelompok Ahmadiyah dan Syiah.
Sebagai pecinta Gus Dur, di Jaringan GUSDURian kami senantiasa belajar mengenai lika-liku pemikiran dan berbagai tindakan Gus Dur saat masih sugeng. Karena spektrum perjuangan Gus Dur sangat luas, maka kami juga belajar untuk memperluas spektrum kami. Mungkin sebagian orang hanya mengenal Gus Dur sebagai pembela kaum minoritas. Bapak Toleransi, kata orang-orang. Tapi lebih jauh dan lebih dalam dari itu, Gus Dur adalah pejuang kemanusiaan, pejuang demokrasi, dan pejuang HAM. Bahkan masih banyak lagi spektrum Gus Dur selain ketiga hal ini; tapi saat ini saya hanya ingin menekankan tiga hal ini saja.
Kuatnya pegangan nilai Gus Dur atas ketiga hal ini mendorong kami menelaah berbagai tindakan Gus Dur, di mana saya berkesimpulan bahwa segala tindakan dan kebijakan yang diambil wajib menghormati ketiga prinsip ini, dan tidak boleh ada pelanggaran terhadapnya. Kalau bicara wawasan kebangsaan, maka Gus Dur menorehkan kerangka berpikir bahwa wawasan kebangsaan adalah memastikan bahwa negara dan bangsa berjalan untuk tujuan kemaslahatan bersama, tidak hanya untuk kelompok tertentu saja; dan dalam usaha mencapai tujuan ini, setiap warga negara wajib diakui, dihormati, dan dijunjung tinggi kemanusiaannya, hak-hak asasinya, kemerdekaannya, dan keterlibatannya dalam proses demokrasi.
Setidaknya ini adalah pemahaman saya yang sengaja saya bikin concise supaya tidak terlalu panjang. Berdasarkan pemahaman ini, tentu kita (paling tidak saya) patut berasumsi bahwa di Jaringan GUSDURian kami saling belajar dan mengajarkan wawasan kebangsaan, sehingga wawasan kebangsaan kami menjadi kuat. Jadi kerja-kerja Jaringan GUSDURian tidak hanya di wilayah intoleransi dan radikalisme saja, tapi juga hal-hal lain yang terkait pelanggaran HAM dan demokrasi, seperti pendampingan masyarakat adat yang digusur paksa, isu lingkungan hidup, isu hukum, isu pendidikan, isu budaya, dan lain sebagainya.
*****
Itu tadi latar belakangnya. Sekarang saya mau mulai cerita tentang Tata. Tata adalah seorang GUSDURian. Dulu ia adalah asisten pribadi mbak Alissa. Dia berasal dari keluarga seorang Kiai. Jadi kalau urusan qunut aja sih (yang kayanya segitu pentingnya sampai harus ditanyain di TWK) gak udah ditanya lagi deh. Sejak muda Tata aktif di NU.
Secara kultural, praktik-praktik ke-NU-an sudah mendarah daging buatnya. Komitmennya terhadap toleransi dan kebebasan beragama sangat kuat, yang akhirnya membawa dia pada Jaringan GUSDURian, di mana dia secara aktif membantu merintis dan membesarkan Jaringan GUSDURian. Didikan langsung mbak Alissa. Jadi kalau soal wawasan kebangsaan udah nggak perlu diragukan lagi.
Tahun 2017 Tata bergabung dengan KPK dan menjadi staf Humas di sana. Saya bangga sekali padanya. Dia sangat berdedikasi sekali dalam tugasnya. Kerap dia harus begadang, karena dia memang harus siap setiap saat, kalau-kalau ada OTT atau hal lainnya yang butuh dia untuk menyiapkan konferensi pers dengan segera. Tahun 2019, di tengah gempuran terhadap KPK yang luar biasa keras, saya minta dia untuk datang ke rumah. Mau saya ajarkan TRE, sebuah teknik pelepasan ketegangan dan stres dari tubuh. Dan dia pun datang bersama dengan Humer, anak GUSDURian juga.
Setelah selesai satu sesi, saya kasih waktu 30 menit untuk istirahat. Ndilalah dalam 5 menit dia sudah tertidur pulas di sofa saya, saking kecapekannya. Saya biarkan dia tertidur di sofa. Begitu bangun, yang dia pikirkan langsung soal kerjaannya di KPK. Padahal itu hari Sabtu. Akhirnya dia bergegas pergi untuk kembali ke kantor untuk standby. Walaupun tugasnya sangat menuntut kerja keras dan melelahkan baik secara fisik maupun mental, dia hampir nggak pernah mengeluh. Aura yang saya dapatkan dari dia adalah aura bakti pada negara, dan rasa bangga telah menjadi bagian dari sebuah perjuangan besar memberantas korupsi.
Beberapa hari lalu saya tanya gimana kondisinya. Dia bilang dia dikabarkan termasuk di antara 75 orang yang akan disingkirkan lewat Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Saya kaget sekali. Kok bisa? Bagaimana mungkin ada anak GUSDURian yang dipertanyakan wawasan kebangsaannya? Dia bilang nggak tahu alasan spesifiknya, tapi dia menduga karena tidak setuju dengan kebijakan pemerintah terhadap revisi UU KPK. Posisi yang sama dengan yang saya ambil. Juga yang diambil oleh Ibu saya, mbak Alissa, dan Nay. Iya, kami semua tidak setuju dengan revisi UU KPK, dan secara terbuka pernah menyatakan itu.
Jadi, sebenarnya ini tes apa? Kalau wawasan kebangsaan diukur dengan setuju atau tidak setuju revisi UU KPK, maka kami ini tidak berwawasan kebangsaan rupanya. Atau jangan-jangan judul “Tes Wawasan Kebangsaan” itu hanya kedok saja untuk sebuah tujuan lain? Saya sih langsung kepikiran tujuannya adalah untuk menyisir dan menyingkirkan pegawai-pegawai yang berpotensi nggak setuju dengan pimpinan KPK yang sekarang, dengan alasan tidak lulus tes. Nggak ada hubungannya dengan wawasan kebangsaan blas. Apalagi kalau lihat soal-soalnya yang “Ya ampun apa-apaan sih ini? Kenapa ada pertanyaan-pertanyaan ambigu, rasis, seksis, melanggar HAM dan melanggar prinsip demokrasi gini?”
Konon katanya pembenaran untuk melakukan TWK ini adalah untuk mengusir kadrun-kadrun yang bercokol di KPK. Paling tidak itulah narasi yang digaungkan para buzzer, dan ditelan serta diamini oleh para pengikutnya di salah satu kelompok terpolarisasi, yang dengan sengaja diajak untuk tidak menelaah substansi.
Sampai di sini pasti banyak yang mulai sebel baca cerita ini. Saya tahu banyak teman-teman saya yang mempertanyakan kenapa saya sampai segitunya amat sama KPK. Mereka nggak berani nanya langsung sih, beraninya cuma numpang nitip tanya ke teman lain. Iya bener, saya emang segitunya banget. Because it’s personal for me. Bapaklah yang dulu menandatangani surat keputusan pembentukan Tim Gabungan Penanggulangan Tindak Pidana Korupsi, yang di jaman mbak Mega kemudian berubah menjadi KPK.
KPK adalah salah satu peninggalan perjuangan Bapak untuk terwujudnya pemerintahan yang bersih dan bangsa yang terbebas dari korupsi. Bapak pun di dalam berbagai kesempatan menyampaikan dukungannya untuk KPK, dan menekankan pentingnya independensi KPK. Saya kuliah S2 fokusnya pun tentang antikorupsi.
Sejarah saya bersama KPK itu panjang, sejak upaya pelemahan KPK yang pertama kali lewat kasus Cicak Buaya 1, lalu lanjut upaya DPR buat revisi UU KPK di tahun 2012, kasus rekening gendut BG tahun 2015, kasus simulator SIM, hingga ke usaha pelemahan KPK lewat pemilihan capim yang sangat nggak layak, dan dilanjutkan dengan revisi UU KPK terakhir. Di tiap fase usaha pelemahan itu, saya selalu ada buat bantu nggalang dukungan publik. Untuk menjaga peninggalan Bapak. Karena saya tidak rela peninggalan Bapak dikoyak-koyak oleh mereka yang rakus dan tamak.
Jadi usaha pelemahan KPK itu sudah sering. Terlalu sering, bahkan. Aktor-aktornya juga itu-itu aja. Paling nggak dari kelompok yang itu-itu lagi. Metodenya aja yang beda. Dulu mereka bergaya seakan-akan dapat dukungan publik lewat demo bayaran. Sekarang, mereka memanfaatkan polarisasi dan ketakutan akan radikalisme yang begitu menghantui.
Ketakutan dipupuk sedemikian rupa hingga subur banget dengan menyusupkan narasi-narasi talibanisme. Ketakutan itu yang kemudian dijadikan justifikasi untuk “bersih-bersih” di KPK. Dibilangnya bersih-bersih kadrun. Padahal sebenernya bukan kadrun yang dibersihin, tapi justru orang-orang penting yang berkomitmen, berintegritas, dan berdedikasi yang selama ini jadi ujung tombak KPK buat pemberantasan korupsi. Salah satunya adalah Tata.
Tata jelas bukan kadrun. Jelas bukan orang yang mudah disusupi ajaran-ajaran radikal. Sampai saat ini komitmennya terhadap toleransi dan kebebasan beragama masih sama kuatnya seperti dulu. Lalu karena apa? Kinerjanya? Jelas nggak tuh. Saya kenal atasannya, dan dia hepi sekali dengan kinerja Tata. Soal wawasan kebangsaannya? Oh, jelas tidak. Alasannya, lihat lagi ke atas soal Jaringan GUSDURian. Yang paling masuk akal adalah karena alasan seperti yang dia kemukakan sendiri, yaitu tidak setuju revisi UU KPK, sehingga dianggap membahayakan. Mungkin karena alasan itu dia dipandang bakal nyusahin usaha-usaha oligarki buat makin menggerogoti dan mreteli KPK.
Yang bikin sedih dari narasi talibanisme yang sebegitu kuatnya itu adalah orang udah nggak lagi bernalar dalam menelaah substansi. Yang mereka lihat cuma “yang penting KPK bersih dari kadrun”, lalu nggak mau lihat kalau banyak orang-orang yang nggak mungkin jadi kadrun ikutan dibersihkan. Karena sejarah saya yang cukup panjang dengan KPK, saya kenal beberapa orang dari 75 orang yang dinonaktifkan itu. Mereka adalah orang-orang terhormat, bukan karena jabatannya atau uangnya, tapi karena komitmen, dedikasi, dan integritasnya.
Ada lho orang-orang yang bahkan bukan Muslim yang disingkirkan juga. Dalam skema kekadrunan, mereka ada di mana? Ah iya, saya lupa, buzzer-buzzer udah nyiapin jawaban buat pertanyaan itu. Paling jawabnya ya mereka nggak lolos TWK. Liat lagi deh ke atas, TWK-nya nggak valid, nggak layak buat ngukur tingkat wawasan kebangsaan seseorang, karena banyak pertanyaannya yang bahkan nggak berwawasan kebangsaan. Kalau mau tahu pertanyaan-pertanyaannya, liat Instagram saya ya? Saya pelan-pelan lagi bikin video bedah pertanyaan-pertanyaan TWK. Dari situ akan kelihatan deh betapa ngawurnya tes ini.
Belum lagi orang-orang dari latar belakang NU yang sangat kuat, seperti Pak Harun Al Rasyid yang kemarin itu memimpin OTT Bupati Nganjuk. Pak Harun ini punya pesantren lho. Beliau bahkan membuat sebuah buku, Fikih Korupsi: Analisis Politik Uang di Indonesia dalam Perspektif Maqashid al-Syari’ah. Beberapa waktu lalu merilis buku baru judulnya Fikih Persaingan Usaha dan Moralitas Antikorupsi.
Bayangin dedikasinya, berusaha menggunakan fikih dan ajaran agama untuk mengajarkan masyarakat atas pentingnya menjalankan prinsip antikorupsi dalam kehidupan sehari-hari. Beliau sempat mendaftar menjadi pimpinan KPK, dan pas nyalon itu beliau mendapat rekomendasi dari PBNU. Terus yang kaya gini nggak lolos TWK? Berarti yang ngaco ya tesnya.
Ada lagi Pak Sujanarko, yang tahun 2015 lalu menerima penghargaan Satyalancana Wira Karya dari Presiden Jokowi sebagai tanda kehormatan karena darma baktinya yang besar kepada nusa bangsa. Lha kalau beliau kadrun, masa bisa lolos screening timnya Pak Jokowi? Mau bilang kecolongan? Yakin kamu mau nuduh timnya Pak Jokowi bisa kecolongan? Yakin mau merendahkan kemampuan intelejensi mereka? Hati-hati lho nanti ninuninu. Lagipula Pak Sujanarko ini sempat mendaftar calon pimpinan KPK juga tahun 2019 lalu, dan beliau sudah menjalani tes pula selama proses pemilihan. Trus ujug-ujug tes yang sekarang nggak lolos? Padahal bedanya antara tahun 2019 sama sekarang itu cuma pimpinan KPK-nya aja lho. Uhuk…
Masih banyak orang-orang lain yang saya kenal seperti Pak Giri, Mas Nanang, Mas Yudi, dan lain-lainnya yang selama ini yang saya tahu hidupnya cuma dipakai buat berbakti sama KPK dan untuk pemberantasan korupsi. Saya sih nggak berharap muluk-muluk orang-orang akan berbondong-bondong memuji mereka. Mereka juga gak butuh dipuji kok. Tapi kalau kepada orang-orang yang seperti itu kita dengan mudahnya menutup mata dari semua kerja keras dan prestasi mereka hanya demi menyematkan label kadrun pada mereka, hanya demi mengijinkan oligarki “bersih-bersihin” orang-orang seperti mereka, ah betapa tidak berterima kasihnya kita pada orang-orang yang sejatinya begitu besar jasanya buat bangsa ini.
Kalau kita memudahkan jalan bagi kelompok rakus untuk memanipulasi emosi dan pikiran kita melalui narasi-narasi jahat, maka sebentar lagi tidak akan ada lagi orang-orang berani seperti 75 orang ini. Orang akan takut, orang akan memilih untuk nurut atasan walaupun atasannya ngawur dan korup, dan terpaksa terjebak dalam sistem yang sangat korup, supaya tidak di TWK-kan dan disingkirkan. Dan perlahan-lahan kita akan kembali seperti masa sebelum 1998, di mana ketakutan adalah mood dominan di negeri ini. Dan untuk mengubahnya dibutuhkan 32 tahun lagi.
Sebelum itu terjadi, kita masih bisa bertindak. Masih bisa melawan. Mulai dari melepaskan diri dari polarisasi. Membebaskan diri dari jeratan manipulasi emosi dan pikiran. Perlahan-lahan melihat substansi, dan tidak lagi tutup mata pada upaya-upaya oligarki merangsek semua lini. Berani mengkonfrontasi diri sendiri. Persenjatai diri dengan nalar berpikir yang terbebas dari bias dan logical fallacy. Biarkan buzzer-buzzer menciptakan narasi-narasi keji, asalkan kita tidak mengijinkan diri kita dipengaruhi.
Pembebasan, salah satu dari 9 nilai utama Gus Dur sungguh mendesak kita adopsi.
Sebentar lagi akan bermunculan narasi yang menegasikan tulisan ini, dengan kembali berusaha memanipulasi emosi dan pikiranmu dengan berbagai narasi-narasi yang membangkitkan ketakutan dan kebencian. Kamu tidak perlu setuju dengan tulisan ini. Tapi kalau kamu peduli dengan kesehatan nalarmu, mulailah membebaskan dirimu dari pengaruh narasi-narasi toxic itu, yang tidak mengijinkanmu menggunakan akal sehat di luar yang mereka sodorkan. Ijinkan dirimu berpikir jernih, terbebas dari pengaruh apa pun selain nilai-nilai yang kamu percayai. Rebut kembali kekuatanmu dari jerat dalang narasi.
Ini cerita tentang Tata. Tata yang sangat kuat, sehingga tidak terpengaruh radikalisasi. Juga tidak terpengaruh polarisasi. Begitu kuatnya dia hingga dia menjadi ancaman, karena integritasnya tidak mampu digoyang oleh pemilik kuasa. Saya sangat bangga dengannya. Sebangga saat dia berhasil lolos menjadi pegawai KPK, dan sama bangganya saat ini melihat dia keluar dari KPK dengan kepala tegak berdiri karena telah memperjuangkan apa yang dia percaya dengan semua yang dia punya. Walau disingkirkan, dia pergi dari sana secara terhormat. Terima kasih Tata, atas inspirasi kekuatannya. []